aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Muslimah Wajib Tahu! Hukum Memakai Inai Bisa Sunnah, Makruh, bahkan Haram

Tangan muslimah berhias inai merah dengan detail rumit, menggambarkan praktik yang perlu dipahami hukumnya antara sunnah, makruh, hingga haram. 

Oleh: Tgk. Muhammad Abdullah

I nai (henna) adalah pewarna alami yang sering digunakan untuk menghias tangan, kuku, atau rambut. 

Dalam Islam, inai memiliki sejarah panjang dan digunakan oleh para sahabat serta istri-istri Rasulullah saw. 

Namun, karena penggunaannya bisa dikaitkan dengan niat berhias, maka hukum memakai inai tergantung pada konteks dan niat pemakainya.

Dalam fikih, segala bentuk perhiasan dan wewangian yang dikenakan oleh perempuan diatur dengan jelas, terutama dalam konteks ihram, ihdad (masa berkabung), dan interaksi dengan non-mahram.

Tren Inai dalam Tradisi Muslimah

Inai atau henna bukan hanya simbol kecantikan, tapi juga bagian dari tradisi dan budaya yang kuat di kalangan Muslimah. 

Pemakaian inai sudah dikenal sejak zaman dahulu khususnya dalam acara pernikahan dan momen-momen istimewa. 

Namun, dalam praktik beragama, muncul pertanyaan penting yakni bagaimana hukum memakai inai bagi perempuan menurut Islam?

Apakah inai selalu diperbolehkan? Apakah ada kondisi di mana memakai inai justru dilarang? 

Artikel ini akan menjelaskan hukum memakai inai bagi perempuan secara mendalam, berdasarkan kondisi syar’i dan pendapat ulama, sehingga kamu bisa tetap tampil anggun tanpa melanggar syariat. 

Baca juga: ketentuan wanita berdandan dan memakai parfum dalam Islam

Pertanyaan

  1. Bagaimana hukum memakai inai bagi seorang perempuan?
  2. Apakah perempuan boleh memakai inai saat tidak sedang berihram?
  3. Kapan hukum memakai inai menjadi sunnah bagi perempuan?
  4. Mengapa memakai inai saat tidak bersuami hukumnya makruh?
  5. Apakah perempuan yang berihram boleh memakai inai?
  6. Bagaimana cara memakai inai yang disunnahkan saat berihram?
  7. Apakah memakai inai saat ihram wajib membayar fidyah?
  8. Apa hukum memakai inai bagi perempuan yang sedang ihdad (berkabung)?
  9. Mengapa memakai inai saat ihram bisa dianggap makruh?
  10. Bolehkah memakai inai jika lupa sebelum ihram dan bukan untuk berhias?
  11. Apakah inai termasuk dalam kategori wewangian yang dilarang saat ihram?
  12. Apa perbedaan hukum memakai inai bagi istri dan non-istri?
  13. Kenapa inai dapat membantu mengurangi daya tarik saat berihram?

Jawaban

Hukum Memakai Inai bagi Perempuan: Dua Kondisi Utama

1. Perempuan yang Tidak Sedang Berihram (Ghairu Muridah al-Ihram)

Dalam kondisi normal (tidak sedang berihram untuk haji atau umrah), hukum memakai inai berbeda tergantung pada status pernikahan perempuan tersebut:

a. Jika Ia Sudah Bersuami

Hukumnya Sunnah

Alasan disunnahkannya karena inai menjadi bagian dari berhias untuk suami, yang merupakan amalan berpahala dalam rumah tangga. 

Rasulullah saw. menganjurkan istri untuk berhias agar menjaga keharmonisan rumah tangga.

Baca juga: Benarkah penyematan gelar haji warisan kolonial? 

b. Jika Ia Belum atau Tidak Bersuami

Hukumnya Makruh

Inai dalam hal ini dinilai sebagai bentuk berhias tanpa kebutuhan syar’i. 

Oleh karena itu, ulama memakruhkannya untuk mencegah timbulnya fitnah dan menjaga kehormatan diri.

2. Perempuan yang Ingin Berihram (Muridah al-Ihram)

a. Sebelum Memasuki Masa Ihram

Hukumnya Sunnah

Bagi perempuan yang hendak berihram, disunnahkan untuk memakai inai di tangan dan wajah. 

Tapi caranya bukan sekadar coretan, melainkan meratakannya ke seluruh tangan, seperti yang diriwayatkan dari para sahabat wanita di masa Nabi.

Mengapa disunnahkan?

Karena saat berihram, perempuan wajib membuka wajah dan telapak tangan di hadapan orang lain. 

Inai menjadi penutup warna asli kulit, sehingga mengurangi daya tarik dan menjaga hijab visual selama ibadah.

b. Setelah Masuk Masa Ihram

Hukumnya Makruh

Setelah ihram dimulai, memakai inai dinilai sebagai tasyabbuh bil mutazayyinat (berhias seperti wanita yang ingin tampil), padahal ihram menuntut kondisi sederhana. 

Namun, karena inai bukan termasuk parfum atau wewangian, maka tidak dikenakan fidyah jika dipakai.

Baca juga: Hukum memakai celana panjang dan kulot bagi wanita 

Bagaimana Jika Lupa Memakai Inai Sebelum Ihram?

Jika seorang perempuan lupa memakai inai sebelum berihram, lalu ingin memakainya saat sudah dalam ihram, maka:

Diperbolehkan dan dimaafkan, selama tujuannya bukan untuk berhias, tetapi untuk menutup aurat atau menjaga dari potensi fitnah.

Ulama memandang hal ini sebagai udzur yang dimaklumi dan tidak berdosa.

Hukum Inai Bagi Perempuan yang Sedang Ihdad (Berkabung)

Dalam kondisi ihdad yakni masa berkabung karena suami wafat selama 4 bulan 10 hari, hukumnya haram bagi perempuan untuk memakai inai.

Mengapa?

Karena masa ihdad menuntut tidak berhias, dan inai merupakan bentuk berhias yang jelas. 

Ulama sepakat bahwa wanita dalam masa ihdad harus menjaga sikap kesedihan dan menahan diri dari segala bentuk perhiasan atau keindahan diri.

Kapan Memakai Inai Menjadi Sunnah?

Penggunaan inai disunnahkan bagi perempuan yang telah bersuami, selama ia tidak sedang dalam keadaan berihram. 

Tujuannya adalah sebagai bentuk berhias untuk suami, sebagaimana dianjurkan dalam banyak riwayat.

Baca juga; 4 kriteria penting agar tidak diremehkan oleh pasangan

Bagi perempuan yang akan berihram, memakai inai juga disunnahkan sebelum masuk masa ihram. 

Sebab saat ihram, wajah dan telapak tangan wanita terbuka, dan inai dapat menutupi warna kulit sehingga mengurangi daya tarik langsung di hadapan orang asing.

Catatan Penting

cara memakai inai yang disunnahkan adalah dengan meratakannya ke seluruh tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan, dan menggunakan warna selain hitam.

Kapan Inai Menjadi Makruh?

Jika seorang perempuan sudah masuk masa ihram, maka memakai inai dihukumi makruh. 

Hal ini karena memakai inai dianggap sebagai bentuk berhias, sedangkan ihram menuntut kesederhanaan dan menjauhi aktivitas yang mengarah pada perhiasan diri.

Namun, jika ia lupa memakai inai sebelum ihram, dan baru memakainya setelahnya tanpa niat berhias, maka tidak makruh dan dibolehkan, karena tujuannya untuk menghindari fitnah atau kerusakan.

Simak juga: Ini alasan kenapa semua wanita lebih cantik dari istrimu

Kapan Inai Menjadi Haram?

Di sinilah banyak Muslimah terkejut. Memakai inai bisa haram dalam beberapa kondisi berikut:

  1. Jika hanya mewarnai ujung jari saja (التطريف).
  2. Jika menggambar pola atau motif di tangan (التنقيش).
  3. Jika memakai inai warna hitam (التسويد).

Dalam tiga bentuk ini, hukumnya haram bagi:

  1. Perempuan yang belum menikah.
  2. Perempuan yang sudah menikah namun tanpa izin suaminya.

Pendapat Para Ulama

Para ulama madzhab Syafi’i telah menjelaskan rincian ini secara mendalam yaitu;

Imam Ibnu Ruf’ah menyatakan bahwa haramnya memakai inai di ujung jari hanya berlaku jika menggunakan warna hitam. Jika menggunakan warna selain hitam, maka tidak haram.

Imam 'Abbadi menambahkan bahwa menggambar motif dengan inai memiliki hukum yang sama seperti mewarnai ujung jari yaitu haram bila berwarna hitam, dan boleh bila selain hitam.

Ini menunjukkan betapa detailnya syariat dalam mengatur hal-hal yang tampak kecil, tetapi memiliki dampak besar terhadap kesucian, kehormatan, dan batasan interaksi gender dalam masyarakat Muslim.

Baca juga: Wanita gemuk jangan minder! Ini keistimewaannya menurut ulama

Ringkasan Hukum Memakai Inai bagi Perempuan

Penjelasan Singkatnya yaitu:

  1. Bersuami (tidak berihram) sunnah untuk berhias bagi suami
  2. Tidak bersuami (tidak berihram) makruh berhias tanpa kebutuhan
  3. Hendak berihram (belum masuk ihram) sunnah agar kulit tersamarkan saat wajib membuka wajah/tangan
  4. Sudah berihram makruh termasuk berhias dalam ihram, tapi tidak berdosa
  5. Lupa pakai inai sebelum ihram dimaafkan dan diperbolehkan jika bukan niat berhias
  6. Dalam masa ihdad (berkabung) haram dan dilarang berhias selama masa berkabung

Referensi

1. Tuhaftul Muhtaj jilid 4 hal 59

(و) يُسَنُّ (أَنْ تُخَضِّبَ) الْمَرْأَةُ غَيْرُ الْمُحِدَّةِ (لِلْإِحْرَامِ يَدَهَا) أَيْ كُلَّ يَدٍ مِنْهَا إلَى كُوعِهَا بِالْحِنَّاءِ تَعْمِيمًا وَكَذَلِكَ وَجْهُهَا وَلَوْ خَلِيَّةً شَابَّةً؛ لِأَنَّهَا تَحْتَاجُ لِكَشْفِهِمَا وَذَلِكَ يَسْتُرُ لَوْنَهُمَا وَيُكْرَهُ لَهَا بِهِ بَعْدَ الْإِحْرَامِ؛ لِأَنَّهُ زِينَةٌ وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِطِيبٍ نَعَمْ إنْ تَرَكَتْهُ قَبْلُ عَمْدًا أَوْ نِسْيَانًا اُحْتُمِلَ أَنْ تَفْعَلَهُ بَعْدَهُ خَشْيَةَ الْمَفْسَدَةِ لَا لِلزِّينَةِ وَأَمَّا الْمُحِدَّةُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهَا وَكَذَا الرَّجُلُ إلَّا لِضَرُورَةٍ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَبِهِ رَدَدْت فِي مُؤَلَّفٍ مَبْسُوطٍ عَلَى جَمْعٍ يَمَنِيِّينَ أَطَالُوا الِاعْتِرَاضَ عَلَى الْمُصَنِّفِ وَالِاسْتِدْلَالَ لِلْحِلِّ فِي مُؤَلَّفَاتٍ حَتَّى ادَّعَى بَعْضُهُمْ فِيهَا الِاجْتِهَادَ وَلِذَا سَمَّيْته شَنَّ الْغَارَةِ عَلَى مَنْ أَظْهَر مَعَرَّةَ تَقَوُّلِهِ فِي الْحِنَّاءِ وَعَوَارَهُ وَالْخُنْثَى كَالرَّجُلِ وَيُسَنُّ لِغَيْرِ الْمُحْرِمَةِ أَيْضًا إنْ كَانَتْ حَلِيلَةً وَإِلَّا كُرِهَ وَلَا يُسَنُّ لَهَا نَقْشٌ وَتَسْوِيدٌ وَتَطْرِيفٌ وَتَحْمِيرُ وَجْنَةٍ بَلْ يَحْرُمُ وَاحِدٌ مِنْ هَذِهِ عَلَى خَلِيَّةٍ وَمَنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهَا حَلِيلُهَا.

2. Hasyiah Syarwani jilid 4 hal 59

(قوله: واحتمل إلخ) أي بلا كراهة (قوله: وكذا الرجل إلخ) في فتاوى السيوطي في باب اللباس خضاب الشعر من الرأس واللحية بالحناء جائز للرجل بل سنة صرح به النووي في شرح المهذب نقلا عن اتفاق أصحابنا وأما خضاب اليدين والرجلين بالحناء فمستحب للمرأة المتزوجة وحرام على الرجال انتهى وقضية التقييد باليدين والرجلين عدم حرمة خضاب غيرهما لكن ينبغي استثناء ما في معنى اليدين والرجلين كالعنق والوجه فليراجع سم.

3. Nihatul Muhtaj jilid 3 hal 271

(و) يسن (أن) (تخضب المرأة) غير المحدة (للإحرام) أي لإرادته (يدها) أي كل يد منها إلى الكوع فقط بالحناء ولو خلية وشابة لقول ابن عمر - رضي الله عنهما -: إن ذلك من السنة، ولأنهما قد ينكشفان، وتمسح وجهها بشيء منه؛ لأنها مأمورة بكشفه فتستر بشرته بلون الحناء، ومحل الاستحباب بالحناء إذا كان تعميما دون التطريف والنقش والتسويد أما بعد الإحرام فيكره لها ذلك لما فيه من الزينة وإزالة الشعث، لكن لا فدية فيه؛ لأنه ليس بطيب وخرج الرجل والخنثى فيحرم عليهما ذلك إلا لضرورة والمحدة فيحرم عليها أيضا. ويسن لغير المحرمة أيضا لكنه للمحرمة آكد. نعم يكره للخلية من زوج أو سيد.

4. Mughni al-Muhtaj jilid 2 hal 235-236

(و) يسن (أن تخضب المرأة) غير المحدة (للإحرام يديها) أي كل يد منها إلى الكوع فقط بالحناء خلية كانت أو مزوجة، شابة أو عجوزا؛ لما روي عن ابن عمر - رضي الله تعالى عنهما - أن ذلك من السنة، ولأنهما قد ينكشفان وتمسح وجهها بشيء منه لأنها تؤمر بكشفه فتستتر بشرته بلون الحناء، وإنما يستحب بالحناء تعميما دون التطريف والتنقيش والتسويد. أما بعد الإحرام فيكره لها ذلك ما فيه من الزينة وإزالة الشعث، ولا فدية فيه على المذهب لأنه ليس بطيب على المشهور، وخرج بالمرأة الرجل والخنثى فيحرم عليهما ذلك إلا لضرورة، وبغير المحدة المحدة فيحرم عليها أيضا، ويندب لغير المحرمة أيضا وإن أفهمت عبارته اختصاص الندب بالمحرمة لكنه للمحرمة آكد. نعم يكره للخلية من زوج أو سيد.

5. Syarah Kabir jilid 7 hal 252

وفى الفصل مسألة أخرى وهي أن المرأة يستحب لها أن تخضب بالحناء يديها إلى الكوعين قبل الاحرام روى «أن من السنة أن تمسح المرأة يديها للاحرام بالحناء وتمسح وجهها أيضا بشئ

من الحناء» لانا نأمرها في الاحرام بنوع تكشف فلتستر لون البشرة بلون الحناء ولا يختص أصل

الاستحباب بحالة الاحرام بل هو محبوب في غيرها من الاحوال  «روى أن امرأة بايعت رسول الله ﷺ فاخرجت يدها فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم» أين الحناء " نعم في حالة الاحرام «لا فرق بين ذات الزوج الخلية وفى سائر الاحوال يكره الخضاب للخلية قاله في الشامل وحيث يستحب فانما يستحب تعميم اليد بالخضاب دون التنقيش والتسويد والتطريف فقد روى أن النبي ﷺ» نهى عن التطريف " وهو أن تخضب أطراف الاصابع

ويكره لها أن تختضب بعد الاحرام لما فيه من الزينة وازالة الشعث ولو فعلت ففيه كلام نذكره في الباب الثالث عند ذكر خضاب الرجل شعر لحيته ورأسه ان شاء الله تعالي.

6. Hasyiah Syarwani jilid 4 hal 59

(قوله: وذلك يستر لونهما) الغرض حصول الستر في الجملة وإلا فنظرها مع ذلك حرام كما هو ظاهر إلا أن يكون هناك جرم ساتر فلا حرمة كما هو ظاهر أيضا سم.

7. Al-Majmu' Syarah Muhazzab jilid 1 hal 294-295

(فرع)

أما خضاب اليدين والرجلين بالحناء فمستحب للمتزوجة من النساء: للأحاديث المشهورة فيه وهو حرام على الرجال إلا لحاجة التداوي ونحوه: ومن الدلائل على تحريمه قوله صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح لعن الله المتشبهين بالنساء من الرجال ويدل عليه الحديث الصحيح عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يتزعفر الرجل رواه البخاري ومسلم وما ذاك إلا للونه لا لريحه فإن ريح الطيب للرجال محبوب والحناء في هذا كالزعفران وفي كتاب الأدب من سنن أبي داود عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أتي بمخنث قد خضب يديه ورجليه بالحناء فقال ما بال هذا فقيل يا رسول الله يتشبه بالنساء فأمر به فنفي إلى النقيع فقالوا يا رسول الله ألا نقتله فقال إني نهيت عن قتل المصلين لكن إسناده فيه مجهول والنقيع بالنون: وسعيد هذا الحديث في أول كتاب الصلاة حيث ذكره المصنف إن شاء الله تعالى: وقد أوضح الامام الحافظ أبو موسى الاصبهاني هذه.

8. Fathul 'Aziz Syarah Kabir jilid 7 hal 252-254 

وفى الفصل مسألة أخرى وهي أن المرأة يستحب لها أن تخضب بالحناء يديها إلى الكوعين قبل الاحرام روى «أن من السنة أن تمسح المرأة يديها للاحرام بالحناء وتمسح وجهها أيضا بشئ

من الحناء» لانا نأمرها في الاحرام بنوع تكشف فلتستر لون البشرة بلون الحناء ولا يختص أصل

الاستحباب بحالة الاحرام بل هو محبوب في غيرها من الاحوال «روى أن امرأة بايعت رسول الله ﷺ فاخرجت يدها فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم» أين الحناء " نعم في حالة الاحرام «لا فرق بين ذات الزوج الخلية وفى سائر الاحوال يكره الخضاب للخلية قاله في الشامل وحيث يستحب فانما يستحب تعميم اليد بالخضاب دون التنقيش والتسويد والتطريف فقد روى أن النبي ﷺ» نهى عن التطريف " وهو أن تخضب أطراف الاصابع

9. Kifayatun Nabih Syarah Tanbih jilid 7 hal 143

وقد استحب الشافعي لها - أيضا - أن تخضب للإحرام وجهها ويديها، سواء كان لها زوج أو لم يكن؛ لما روي عن ابن عمر أنه قال: "من السنة أن تدلك المرأة يديها بالحناء".

والمعنى فيه: أنه يصير ساترا لبشرتها؛ إذ قد تمس حاجتها إلى كفها، [وكذا استحب لها خضاب وجهها به]، ويكره لها التطرف، ولا يكره إلى الكوع.

10. Hasyiah Syarwani jilid 4 hal 59

(قوله: ولا يسن لها نقش إلخ) عبارة الكردي على بافضل وأما النقش والتسويد وخضب أطراف الأصابع فمكروه حيث كان لها حليل وأذن لها فيه وإلا حرم حيث لم تعلم رضاه ويجري ذلك في التنميص كما في الأسنى وكلام الشارح حج في الزواجر يفيد كراهته مطلقا ويجري التفصيل المذكور في وشر الأسنان أي تحديدها وفي الوصل اهـ.

11. Hasyiah Syarwani jilid 4 hal 59

(قوله: وتطريف) قال ابن الرفعة والمراد بالتطريف المحرم تطريف الأصابع بالحناء مع السواد أما بالحناء وحده فلا شك في جوازه شرح العباب وكذا ينبغي أن يقال في النقش سم.

12. Ghurarul bahiyyah Syarah bahjah wardiyyah jilid 2 hal 315

(قَوْلُهُ وَالتَّطْرِيفُ) قَالَ فِي شَرْحِ الْعُبَابِ قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وَالْمُرَادُ بِالتَّطْرِيفِ الْمُحَرَّمِ تَطْرِيفُ الْأَصَابِعِ بِالْحِنَّاءِ مَعَ السَّوَادِ أَمَّا بِالْحِنَّاءِ وَحْدَهُ فَلَا شَكَّ فِي جَوَازِهِ اهـ فَقَوْلُهُ: هُنَا بِالسَّوَادِ رَاجِعٌ لِلتَّطْرِيفِ أَيْضًا قَالَ الْمُحَشِّي فِي حَاشِيَةِ التُّحْفَةِ وَكَذَا يَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ فِي النَّقْشِ.

Posting Komentar

Posting Komentar