![]() |
Ibadah Haji Di Ka'bah Baitullah |
Ibadah Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Kewajiban ini hanya ditujukan kepada orang yang telah dianggap mampu dalam pandangan syara’.
Sehingga
setiap orang yang telah menunaikan Haji ke Baitullah akan disematkan gelar Haji
bagi laki-laki dan Hajjah bagi perempuan.
Kalau
kita membaca berbagai berita aktual belakangan ini banyak tersebar tulisan dan
berita yang mengatakan bahwa gelar Haji merupakan pemberian dari pemerintah
Kolonial Belanda.
Argumen
yang ditawarkan adalah hal demikian sengaja diberikan untuk mengawasi siapa
saja yang telah menunaikan haji ke Mekah. Penyematan tersebut penting karena untuk
dikenali dan diawasi mengingat saat itu muncul pemberontakan terhadap
pemerintah Belanda yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang telah menunaikan
ibadah haji.
Maka
dari itu, untuk memudahkan Belanda mengenali dan mencegah kaum Muslim yang
pulang haji dari mekkah melakukan pemberontakan, maka disematkanlah gelar haji di
depan nama mereka.
Di
samping itu, tradisi penyematan gelar Haji ini disinyalir hanya terdapat di negara
Indonesia. Benarkah demikian?
Gelar Haji Sebagai Penanda
Menurut
Syamsul Bakri, Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas
Said Surakarta, beliau membenarkan penyematan gelar Haji hanya ada di
Indonesia. Meskipun gelar Haji telah banyak ditemukan di negara lain, tetapi
dalam sejarahnya hanya ada di Indonesia.
Syamsul
Bakri menjelaskan pula bahwa dahulu orang-orang pribumi yang menunaikan ibadah
haji diduga terpapar paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak
kolonialisme selain komunis.
Ada
dua paham lawan kolonialisme pada saat itu, yakni kelompok kiri yang dikenal
dengan komunis, serta Pan-Islamisme.
Pan-Islamisme
mendokrin dan mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu agar dapat
terbebas dari kolonialisme dan imperialisme kaum Barat.
Pemahaman
ini bermuara dan menyebar dari Tanah Suci, tempat umat Muslim menunaikan ibadah
haji.
Syamsul
Bakri menyatakan hal ini terjadi dan sangat dikhawatirkan karena dulu orang berhaji
tidak hanya sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana mereka juga
menyempatkan diri untuk ngaji, bekerja, dan ada interaksi dari berbagai negara.
Menguatnya
paham Pan-Islamisme saat itu, sehingga pemerintah kolonial yang merasa takut
akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
Gelar
Haji pemberian Belanda tersebut juga bukan merupakan gelar penghormatan. Melainkan,
untuk berjaga-jaga dan antisipati jika mereka mempengaruhi masyarakat untuk
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Awal Mula Pada Abad ke-20
Asep
Kambali selaku sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, menuturkan
bahwa gelar Haji merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran
paham Pan-Islamisme dari ibadah haji yang merebak pada awal abad ke-20.
Beliau
menjelaskan sejak 1916, pemerintah Belanda menyematkan gelar Haji di depan nama
setiap penduduk muslim yang ada di wilayah Hindi Belanda dengan tujuan agar
mudah diawasi keberadaan dan aktivitasnya.
Pada
saat itu, semangat kemerdekaan terus digaungkan oleh para tokoh Islam, terutama
mereka yang telah kembali dari melaksanakan ibadah haji.
Asep
Kambali mencontohkan beberapa tokoh yang berhasil menyuarakan perlawanan
kolonialisme setelah usai berhaji.
Di
antaranya, KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pada 1912, KH. Hasyim Asyari
pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, KH. Samanhudi pendiri Sarekat Dagang
Islam (SDI) pada 1905, dan HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam (SI) 1912.
Asep
Kambali menjelaskan bahwa berdirinya organisasi-organisasi Islam ini
mengkhawatirkan pihak Belanda karena tokoh yang pulang dari ibadah haji
dianggap sebagai seorang yang suci.
Pasalnya,
menurut Asep Kambali, para jamah Haji yang dianggap sebagai orang suci itu akan
lebih didengar oleh penduduk awam yang berada di wilayah Hindia Belanda.
Sedangkan sebelumnya tidak ada kiyai yang bergelar dengan Haji.
Bantahan Terhadap Penyematan Gelar Haji Warisan Kolonial
Pihak
yang kontra terhadap permasalahan tadi dengan tegas mengatakan bahwa jawaban
dari pernyataan di atas adalah tidak benar penyematan gelar haji adalah warisan
kolonial.
Bahkan,
kesimpulannya tersebut dapat dikategorikan gegabah dan terlampau disederhanakan.
Kesimpulan sejarah semacam inilah yang sering muncul kepermukaan di tengah masyarakat
Indonesia yang pada umumnya awam sejarah.
Kemudian
muncullah rumor seperti di atas yang jika dicari sumber akuratnya sangat sulit sekali,
karena seringkali hanya bertumpu pada dugaan-dugaan yang kemudian menyebar
menjadi cerita yang disampaikan dan diwariskan dari mulut ke mulut.
Mengenai
“Asal-Usul Gelar Haji” pernah dimuat pada situs nu.or.id. Dalam situs tersebut mengutip
pendapat Agus Sunyoto yang menyebut adanya “Ordonansi Haji” pada tahun 1916
yang mewajibkan penggunaan gelar haji untuk mengawasi para haji, karena umumnya
sering menjadi pemimpin perlawanan di Indonesia.
Kemudian
pendapat ini dicopas oleh situs-situs lain dan menyebar secara massif ke
mana-mana sehingga dianggap hal tersebut sebagai sebuah kebenaran.
Dr. Tiar
Anwar Bachtiar yang merupakan Doktor Sejarah Universitas Indonesia, membantah
bahwasanya gelar Haji tersebut merupakan warisan Belanda dengan memaparkan tiga
kelemahan pendapat di atas.
Kelemahan
pertama pendapat di atas adalah mengutip “Ordonansi Haji 1916”. Persoalannya
bukan pada pengutipan atau penyebutan, melainkan pada keberadaan ordonansinya
itu sendiri.
Sepanjang
periode Hindia Belanda (1800-1942) peraturan (ordonansi) mengenai haji terbit
pada tahun 1825 tentang pembatasan kuota jamaah haji, 1859 tentang aturan
pelaksanaan haji, dan 1922 yang berisi aturan tentang pelayanan haji yang lebih
baik. Tidak ditemukan sama sekali ada ordonansi haji tahun 1916.
Kalaupun
ada bukan ordonansi, melainkan pelarangan menunaikan ibadah haji oleh
pemerintah terkait tengah belangsungnya Perang Dunia I yang dikeluarkan sejak
tahun 1915, walaupun dalam praktiknya jamaah haji Indonesia tetap banyak yang
berangkat meski jumlahnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Pelarangan
ini juga tidak ada kaitan dengan masalah ideologis atau gelar, melainkan
terkait masalah keamanan perjalanan haji. (Saleh Putuhena, Historiografi Haji
Indonesia, 2007: 170-173; Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,
1996: 92-98).
Kelemahan
Kedua, tidak benar bahwa gelar haji baru dipakai sejak tahun 1916. Bahkan,
pernyataan ini menunjukkan keteledoran sejarah yang fatal. Berbagai fakta yang
jumlahnya tidak terhitung banyak sekali yang menunjukkan bahwa gelar Haji sudah
dipakai sejak lama di Indonesia bahkan sejak sebelum Zaman Kolonial Belanda.
Salah
satunya yang dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam
(2013: 33-34). Ia menyebutkan bahwa pada tahun 1674, anak Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten naik haji. Ia merupakan anak raja di Jawa yang pertama
kali naik haji.
Sepulang
dari Mekah tahun 1675, ia kemudian disebut sebagai “Sultan Haji”. Sebelumnya,
beberapa bangsawan Banten sudah berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651.
Sepulang dari Mekah, mereka menyematkan gelar Haji di depan namanya, yaitu Haji
Jayasantana dan Haji Wangsaraja, lalu Haji Fatah.
Fakta
ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar Hajisudah populer di Indonesia, dan sama
sekali bukan buatan Belanda. Bila pada abad ke-17 saja gelar Haji sudah
populer, apalagi abad-abad selanjutnya. Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun
1911, pendirinya sudah populer disebut Haji, yaitu Hadji Oemar Said (HOS)
Tjokroaminoto.
Kelemahan
Ketiga, mengenai gelar haji ini justru sikap Belanda malah ingin
menghapuskannya, hanya saja mereka tidak sanggup melakukan itu. Hal ini
terlihat jelas dari Ordonansi Haji tahun 1859.
Salah
satu ketentuan dalam ordonansi ini adalah bahwa sepulang dari Mekah mereka
harus menempuh ujian mengenai masalah Mekah dan Islam. Hanya apabila mereka
lulus ujian ini, barulah mereka dianggap berhak untuk mempergunakan gelar haji
di depan nama mereka.
Ujian
ini maksudnya untuk mengurangi pengaruh orang-orang haji yang tidak disenangi
pemerintah terhadap masyarakat. Sebab, di masyarakat umum, mereka yang pernah
pergi haji dan menggunakan gelar haji mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi
dari masyarakat.
Agar
mereka tidak berpengaruh lagi atau minimal dapat mengurangi pengaruh mereka,
maka penggunaan gelar Haji justru ingin dihilangkan oleh Belanda. (Deliar Noer,
Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1993: 32).
Alasan
ketiga ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa pada masa lalu, terutama
pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 posisi mereka yang pernah menunaikan
ibadah haji ke Mekkah sangat penting dan strategis.
Mereka
yang melaksanakan ibadah haji pada masa itu, disebabkan faktor geografis,
menyebabkan perjalanan haji menjadi perjalanan yang sangat penting. Perjalanan
haji bukan hanya sekedar menjadi perjalanan spiritual belaka seperti yang kita
saksikan akhir-akhir ini setelah transportasi udara massal mudah diakses.
Perjalan
haji pada masa itu adalah juga perjalanan mencari ilmu dan membangun relasi
internasional. Mereka pada umumnya bermukim di Mekah atau Jeddah dalam waktu
yang cukup lama sebelum atau sesudah melaksanakan ibadah haji.
Selama
mereka berada di sana, sebagian besar menggunakannya untuk belajar dan
membangun relasi internasional.Selama mereka belajar dan membangun jaringan di
Tanah Suci, terbangunlah kesadaran tentang kondisi tanah air mereka yang sedang
terjajah sama seperti di belahan dunia Islam yang lain.
Oleh
sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kolonial Belanda banyak tokoh
yang sepulang haji tampil menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang memapu
mempengaruhi masyakarat untuk melawan pemerintah Belanda.
Salah
satu yang cukup penting adalah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Sumatera
Barat yang sekaligus menjadi motor perlawanan terhadap Belanda, yaitu kaum
Padri.
Cristian
Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau
1784-1847 (2008: 198-202) menjelaskan bahwa munculnya para pemimpin Padri dan
pengaruh mereka terhadap masyarakat tidak terlepas dari pengaruh yang
didapatkan dari kawasan Hijaz sepulang haji.
Pengaruh
ini bahkan semakin kuat hingga mampu menggerakkan masyarakat untuk angkat
senjata melawan Belanda pada Perang Padri (1833-1838).
Pengaruh
gerakan para haji ini semakin menguat memasuki abad ke-20. Hasil belajar di
Mekah dari guru-guru mereka dan kenalan mereka sedunia, menginspirasi para haji
ini untuk membuat suatu terobosan gerakan baru selain gerakan militer seperti
para pendahulu mereka.
Pendekatan
baru yang dimaksud adalah pendekatan politik dengan cara mendirikan
organisasi-organisasi gerakan yang cukup efektif untuk mendapat dukungan rakyat
secara langsung.
Mula-mula
Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905; lalu Hadji
Oemar Said Tjokroaminota memperluas cakupan politiknya dengan mendirikan
Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911.
Setahun
berikutnya 1912 Haji Ahmad Dahlan yang pernah tinggal cukup lama di Mekah
mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berfokus pada pendidikan dan kegiatan
sosial untuk membentengi umat dari pemurtadan.
Tahun
1923 di Bandung Haji Muhammad Yunus dan Haji Muhammad Zam-zam mendirikan
Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim mendirikan Persyarekatan Ulama di
Majalengka, dan contoh-contoh lain yang jumlahnya cukup banyak.
Gara-gara
haji ini juga, para pengasuh pesantren akhirnya menempuh jalan para aktivis
Islam dengan mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926.
Munculnya
gerakan-gerakan Islam tersebut semakin menekan posisi politik Belanda di tanah
jajahannya ini. Oleh sebab itu, Belanda berusaha untuk menekannya supaya tidak
berbahaya.
Masuk
akal bila tahun Ordonansi Haji tahun 1859 membatasi dan cenderung melarang
penggunaan gelar Haji, karena masyarakat memang sangat menghormati gelar ini
sejak lama. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa gelar “haji” bukan pemberian
Belanda, melainkan budaya yang sudah melekat lama di kalangan kaum Muslim di
Indonesia.
Demikianlah
pro kontra terhadap penyematan gelar Haji. Oleh karena itu terlepas dari ini
semua tidak sampai membuat kita memandang negatif terhadap orang lain dan
selalu senantiasa bersikap rendah diri. Wallâhu A’lam.
Posting Komentar