Biografi Imam Syafi’i |
I mam Syafi’i adalah salah satu ulama besar dalam sejarah Islam.
Namanya harum di dunia keilmuan Islam karena kontribusinya dalam membentuk fondasi mazhab Syafi’i, salah satu dari empat mazhab utama dalam fiqih Sunni.
Dengan kecerdasannya yang luar biasa, kepribadian yang luhur, serta komitmennya terhadap ilmu, Imam Syafi’i menjadi simbol kejayaan keilmuan Islam klasik yang abadi sepanjang zaman.
Latar Belakang dan Nasab Imam Syafi’i
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Qurasyi Al-Makki.
Ia dilahirkan pada tahun 150 H (767 M) di Gaza, Palestina, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H (820 M).
Imam Syafi’i berasal dari keturunan Quraisy, nasabnya bertemu dengan Rasulullah saw. pada garis keturunan yang sama, yaitu kepada Abdu Manaf.
Imam Syafi’i adalah anak yatim sejak kecil. Ia dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi ekonomi yang serba terbatas.
Pada usia muda, ibunya membawanya ke Mekkah agar dekat dengan pusat keilmuan Islam dan memiliki akses lebih luas untuk belajar.
Meski miskin, ibunya adalah wanita salehah yang sangat mencintai ilmu, sehingga rela berkorban demi masa depan putranya.
Kejeniusan Imam Syafi’i Sejak Kecil
Sejak usia belia, Imam Syafi’i telah menunjukkan bakat luar biasa dalam menuntut ilmu.
Ia menghafal Al-Qur’an secara lengkap pada usia 7 tahun, sebuah prestasi langka bahkan di kalangan anak-anak pada masa itu.
Tidak hanya itu, di usia 10 tahun ia telah hafal kitab Muwaththa’ karya Imam Malik—salah satu kitab hadis dan fiqih yang paling otoritatif di zamannya.
Kefasihannya dalam bahasa Arab juga tidak kalah mencengangkan.
Ia pernah tinggal di tengah suku Hudzail, suku yang terkenal dengan kefasihan bahasanya, untuk mendalami balaghah (retorika Arab) dan syair-syair klasik.
Hal ini menjadikan Imam Syafi’i tidak hanya seorang ahli fiqih, tetapi juga seorang sastrawan yang mampu menulis syair-syair yang indah dan bernas.
Perjalanan Ilmiah Imam Syafi’i
Belajar di Mekkah dan Madinah
Imam Syafi’i mulai menimba ilmu kepada para ulama Mekkah, di antaranya:
- Muslim bin Khalid al-Zanji, mufti Mekkah saat itu.
- Sufyan bin ‘Uyainah, ahli hadis terkemuka.
Pada usia 13 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki.
Dengan penuh semangat, ia menghafal dan ingin membacakan kitab Al-Muwaththa’ di hadapan Imam Malik.
Awalnya Imam Malik merasa ragu karena usia Syafi’i masih sangat muda, namun setelah mendengar bacaan dan penjelasannya, Imam Malik sangat terkesan dan menjadikannya sebagai murid istimewa.
Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik dari tahun 163 H hingga wafatnya Imam Malik pada 179 H.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Yaman, lalu ke Irak, dan akhirnya menetap di Mesir, tempat beliau wafat dan dimakamkan.
Guru-Guru Imam Syafi’i
Selain Imam Malik dan Sufyan bin ‘Uyainah, Imam Syafi’i juga belajar dari banyak ulama besar, seperti:
- Daud bin Abdirrahman al-‘Attar
- Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Daud
- Sa’id bin Salim al-Qaddah
Dan banyak lagi tokoh Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in lainnya.
Perjalanan ini menjadikan Imam Syafi’i sebagai penghubung antara dua kutub keilmuan Islam, yakni Ahli Hadis (Hijaz) dan Ahli Ra’yi (Irak), yang nantinya akan membentuk dasar dari mazhabnya.
Dalil dan Metodologi Istinbat Hukum Imam Syafi’i
Dalam menggali hukum syariat, Imam Syafi’i menyusun metodologi yang sangat sistematis.
Kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah, dianggap sebagai karya pertama dalam ilmu ushul fiqih.
Dalam mazhab Syafi’i, dalil-dalil yang dijadikan landasan hukum antara lain:
- Al-Qur’an
- Hadis Nabi saw. yang sahih
- Ijma’ (konsensus para ulama)
- Qiyas (analogi rasional)
- Qaulu Shahabi (pendapat sahabat)
- Ta’lil ma’a al-Qiyas (analogi berbasis illat)
- I’tibar al-Ashl (kembali ke prinsip asal)
- Istihsan (preferensi hukum berdasarkan maslahat)
- Istiqra’ (induksi hukum dari data riil)
- Mengambil pendapat yang paling ringan dalam sebuah kasus
Dengan pendekatan ini, Imam Syafi’i menjembatani logika hukum dengan kekuatan dalil, menjadikan mazhabnya sebagai pilihan utama di banyak wilayah Muslim hingga hari ini.
Silsilah Keilmuan Imam Syafi’i
Keilmuan Imam Syafi’i tidak berhenti di dirinya. Ilmunya diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk mata rantai sanad keilmuan fiqih yang kokoh.
Berikut ini silsilah ilmiah yang dapat ditelusuri secara historis:
- Imam Syafi’i mengajar Al-Muzani (Ismail bin Yahya)
- Al-Muzani mengajar Al-Anmathi (Usman bin Bashir)
- Al-Anmathi mengajar Ibnu Suraij (Ahmad bin Umar)
- Ibnu Suraij mengajar Al-Marwazi (Ibrahim bin Ahmad)
- Al-Marwazi mengajar Abi Hasan al-Masarjasi
- Masarjasi mengajar Abi Thayyib al-Thabari
- Thabari mengajar Abi Ishaq al-Syairazi
- Syairazi mengajar Qadhi Abu Ali al-Fariqi
- Fariqi mengajar Ibnu Sa’id Abdullah bin Muhammad
- Ibnu Sa’id mengajar Abi ‘Amri bin Shilah
- Bin Shilah mengajar Imam Nawawi
- Imam Nawawi mengajarkan fiqih Syafi’i kepada banyak ulama Damaskus dan sekitarnya.
Ini menunjukkan betapa kuat dan berkesinambungnya transmisi keilmuan dari Imam Syafi’i hingga ke masa-masa belakangan.
Wafat dan Warisan Ilmu
Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun.
Meski usianya terbilang singkat, warisan keilmuan yang beliau tinggalkan sangat besar.
Beberapa karya monumental beliau antara lain:
- Ar-Risalah: Kitab ushul fiqih pertama dalam Islam.
- Al-Umm: Kompilasi hukum-hukum fiqih dalam mazhab Syafi’i.
Mazhab Syafi’i kemudian berkembang pesat dan menjadi dominan di berbagai belahan dunia Islam, seperti:
- Indonesia
- Malaysia
- Brunei
- Mesir
- Yaman
- Afrika Timur (Kenya, Somalia)
Penutup
Imam Syafi’i bukan sekadar ulama besar, ia adalah arsitek keilmuan Islam klasik.
Kecerdasan, ketekunan, dan keikhlasannya dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya menjadikan beliau sebagai teladan sepanjang masa.
Bagi umat Islam hari ini, mengenal Imam Syafi’i berarti menghargai warisan keilmuan Islam, menyambung sanad ilmu yang agung, serta menjadikan nilai-nilai keilmuannya sebagai inspirasi untuk membangun peradaban yang berakar pada wahyu dan akal sehat.
Referensi:
Kitab al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib al-Fiqhiyyah, hal. 29
Posting Komentar