aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Pembahasan Lengkap, Ringkas, dan Tuntas Tentang Metodologi Fikih

Pembahasan Lengkap, Ringkas, dan Tuntas Tentang Metodologi Fikih 

Oleh: Ilham (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh)*

A. Pendahuluan

Fikih atau hukum Islam merupakan salah satu bidang studi hukum Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini di antara lain karena fikih berkenaan langsung dengan kehidupan masyarakat. 

Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dan terikat dengan fikih. Sehingga karena sifat dan fungsinya tersebut menyebabkan fikih dikategorikan sebagai ilmu hal. 

Yaitu suatu ilmu yang berkaitan langsung dengan tatanan dan aktivitas kehidupan manusia serta termasuk ilmu yang wajib dipelajari. 

Karena dengan ilmu fikih itu pula seseorang dapat melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepadanya dalam bentuk ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya.

Hukum-hukum fikih tumbuh dan sudah ada bersamaan dengan pertumbuhan dan lahirnya agama Islam semenjak dibawa oleh Rasulullah SAW. 

Karena Islam merupakan sebuah agama yang terdiri dari beberapa kumpulan unsur inti ajarannya yaitu akidah, akhlak, dan hukum amaliyah. 

Hukum amaliyah ini pada masa Rasulullah SAW terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, dan dari berbagai hukum yang keluar dari sabda Rasulullah SAW. 

Sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu pertanyaan. 

Kompilasi hukum-hukum fikih pada periode yang pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah dengan sumbernya adalah al-Qur’an dan sunnah.

Dalam wahyu Allah yang berupa al-Qur’an tersebut, terdapat persoalan dan jawaban-jawaban hukum yang dapat dikonsumsi oleh umat manusia termasuk persoalan hukum amaliyah. 

Jika jawabannya tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka Rasulullah menjadi jawaban dari persoalan umat yang diterangkan melalui sabda-sabda beliau. 

Namun setelah Rasulullah wafat, kehidupan umat Islam terus berkembang dan persoalan-persoalan baru dalam kehidupan terus muncul dan berlanjut seiring dengan perkembangan zaman. Manusia yang bersifat dinamis menyebabkan banyak masalah yang muncul. 

Dinamika sosial, ekonomi, politik, dan budaya seiring perjalanan dan perkembangan kehidupan manusia bukan hanya memunculkan masalah dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya itu sendiri, melainkan juga dalam kehidupan keagamaan, termasuk penetapan ketentuan hukum suatu masalah. 

Pada era modern sekarang banyak masalah baru yang muncul yang tidak ada ketentuan hukumnya secara tegas dalam al-Qur’an, hadis, dan pendapat (qaul) sahabat Nabi SAW, sementara suatu masalah tidak boleh terjadi padanya kekosongan ketentuan hukum.

Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas untuk diimplementasikan dalam tatanan kehidupan sehari-hari. 

Sekalipun jawaban-jawaban hukum tidak ditemukan secara langsung dengan jelas dari al-Qur’an dan hadis Nabi, namun para ulama sebagai penerus Nabi selalu mengerahkan semua kemampuan akalnya dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan umat, sehingga dengan ini Islam selalu relevan dengan setiap zaman. 

Upaya para ulama dalam menemukan jawaban tersebut bukanlah semata-mata hanya dengan menggunakan akal pikiran melainkan harus menerapkan konsep-konsep dan metodologi dalam mengeluarkan sebuah hukum. 

Konsep-konsep dan metodologi hukum Islam sangat banyak dan telah dirumuskan secara lengkap dalam literatur-literatur klasik para ulama.

Metodologi fikih (ushul fikih) dan produk hukumnya (fikih) merupakan manifestasi atau perwujudan Islam yang paling empiris dan dinamis sampai saat ini khususnya dalam masalah amaliyah dan sosial keagamaan. 

Di antara aspek aksiologis atau kegunaan metodologi fikih adalah untuk mengetahui hukum-hukum dan mengamalkannya dalam kehidupan di tengah realitas sosial yang selalu berkembang di setiap wilayah. 

Oleh karena itu, maka penulis mengira perlu diketahui dan dijelaskan bagaimana sebenarnya esensi metodologi fikih berikut dengan teori-teorinya dalam menjawab berbagai persoalan hukum.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis formal yaitu salah satu metode atau pendekatan yang menitikberatkan kepada makna yang akan dipelajari. 

Pendekatan yuridis merupakan suatu rangkaian dari penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 

Pendekatan yuridis juga dapat diartikan sebagai suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.[1] 

B. Pengertian Metodologi Fikih

Secara etimologis, kata metodologi merupakan bentuk derivasi dari kata method yang berarti “cara” dan logy atau logos yang berarti “teori” dan “ilmu.” 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) metodologi adalah ilmu tentang metode atau uraian tentang metode. 

Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis dengan method, dan dalam bahasa Arab disebut dengan manhaj dan thariqat. 

Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata tersebut artinya adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[2] 

Maka metodologi merupakan cara atau ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan dengan tata cara tertentu dan terstruktur.

Adapun fikih dalam bahasa Arab disebut dengan فقه yang secara etimologi artinya adalah pemahaman atau pengetahuan. 

Hal ini sesuai dengan arti fikih dalam sebuah hadis Nabi yaitu:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين[3]

Artinya: “Siapa saja yang dikehendaki oleh Allah kebaikan maka ia akan diberikan pemahaman dalam agama.”

Menurut terminologi, fikih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti syariah Islamiyyah. 

Namun, pada perkembangan selanjutnya, fikih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.[4] 

Hal ini sesuai yang didefinisikan oleh Wahbah al-Zuhaili berikut ini:

وفي الاصطلاح عرفه أصحاب الشافعي بأنه العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية[5]

Artinya: “Pada istilah, para sahabat-sahabat al-Syafi’i mendefinisikan fikih yaitu pengetahuan dengan hukum-hukum syariat yang amaliah melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”

Yang dimaksud dengan amaliyah adalah segala amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan, dan sebagainya, bukan yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan). 

Sebab yang terakhir ini termasuk dalam pembahasan ilmu kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.

Berdasarkan batasan tersebut, sebenarnya dapat dibedakan antara syariat dan fikih atau hukum Islam. Perbedaannya terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya. 

Jika syariat didasarkan pada nash al-Quran dan sunnah secara langsung tanpa memerlukan penalaran, sedangkan hukum Islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syariat. 

Dengan demikian, jika syariat bersifat permanen, kekal, dan abadi, maka fikih atau hukum Islam bersifat temporer dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fikih sulit dibedakan.[6]

Dalam redaksi yang lain, fikih juga diartikan dengan pengetahuan hukum-hukum syariat melalui ijtihad seperti yang tersebut dalam kitab Syarh al-Waraqat, berikut ini:

والفقه معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الاجتهاد[7]

Artinya: “Fikih ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang diketahui melalui ijtihad.”

Dapat disimpulkan bahwa fikih adalah pengetahuan atau pemahaman terhadap hukum-hukum syariat yang amaliah secara praktis yang diambil dari dalil-dalinya yang terperinci melalui ijtihad para ulama. 

Maka yang dimaksud dengan metodologi fikih adalah metode atau cara yang digunakan untuk mengetahui hukum-hukum syariat yang amaliyah melalui dalil-dalil yang terperinci. 

C. Mazhab-Mazhab Fikih

Fikih adalah produk ijtihad ulama dalam masalah-masalah hukum Islam yang didasarkan pada sumber-sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadis. 

Mengikuti hasil pemikiran seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum Islam disebut dengan bermazhab. 

Mazhab fikih ini bermula dari pendapat individu ulama mujtahid yang kemudian diikuti oleh banyak orang yang berakumulasi menjadi keyakinan kelompok. 

Dasar terbentuknya mazhab ini ditandai oleh beberapa kegiatan yang mendahuluinya. 

Pertama, menetapkan metode berpikir untuk memahami sumber hukum Islam. 

Kedua, menetapkan istilah hukum yang digunakan dalam fikih. 

Ketiga, menyusun kitab fikih secara sistematis dan mencakup semua masalah hukum.[8] 

Dalam fikih sebenarnya terdapat banyak sekali mazhab, namun yang penulis sebutkan di sini hanya empat sebagai mazhab yang terlestarikan sampai sekarang (mudawwan).

1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi mendasarkan pada pendapat Abu Hanifah atau lengkapnya Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. 

Lahir di Kufah pada tahun 80 H/699 M dan wafat 150H/767M. Dia hidup pada masa pemerintahan Al Mansur dari Dinasti Abbasiyah. 

Para sahabat yang pernah menjadi gurunya adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa, Abu Tufail Amir, dan yang terlama adalah Hammad bin Abu Sulaiman.

Dasar atau sumber dan metode ijtihad yang digunakan dalam mazhab ini adalah:

  • Al-Qur’an.
  • Sunnah, terutama sunnah yang mutawatir dan masyhur.
  • Qaul Sahabi, yaitu perkataan atau fatwa sahabat Nabi, baik yang sudah menjadi ijmak atau pendapat pribadi sahabat.
  • Qiyas, digunakan ketika tidak ditemukan dasar-dasar hukumnya dalam al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat.
  • Istihsan, merupakan metode yang menjadi ciri khas dalam mazhab Hanafi yang digunakan ketika metode qiyas dianggap tidak memadai untuk menetapkan hukum.
  • Urf, yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sejalan dengan syariat. 

2. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki merupakan aliran fikih yang menjadikan pendapat Malik bin Anas (w. 179H/795M) sebagai acuannya. 

Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 H. Guru pertamanya adalah Rabi’ah, ulama yang terkenal pada masanya, kemudian belajar hadis kepada Ibnu Syihab. 

Karena ketekunan dan kecerdasannya, dia dianggap sebagai ulama yang paling mengetahui tentang keputusan-keputusan Umar, mengetahui pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah, dan para sahabat Nabi yang lain. 

Dari hadis dan pendapat sahabat inilah Malik memberikan fatwa-fatwanya.

Karya monumentalnya adalah Al-Muwatta’, yang merupakan kitab hadis sekaligus kitab fikih. Kitab ini pernah diminta oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun Ar-Rasyid untuk dijadikan sebagai undang-undang negara. 

Namun Imam Malik menolaknya, dengan alasan kitab tersebut adalah hasil pemikiran pribadinya sehingga tidak seharusnya diberlakukan secara umum. 

Di antara para muridnya adalah Abdurrahman bin Al-Qasim, Ibnu Wahab, dan Imam Syafi’i. 

Dasar atau sumber dalam ijtihadnya adalah:

  • Al-Qur’an.
  • Sunnah, baik yang mutawatir, masyhur, maupun ahad.
  • Ijmak Ahlul Madinah atau praktek masyarakat Madinah, karena Madinah adalah domisili Rasulullah sehingga praktik orang Madinah merupakan bentuk sunnah Rasulullah.
  • Fatwa sahabat, dijadikan sebagai sumber atau dalil hukum jika todak ditemukan dasarnya dalam al-Quran, sunnah, dan praktek penduduk Madinah.
  • Qiyas.
  • Maslahah Mursalah, menjadikan kemaslahatan sebagai pertimbangan dalam penetapa hukum.
  • Istihsan.
  • Az-Zari’ah, yaitu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari suatu perbuatan, apakah membawa kemaslahatan atau kemudharatan. 

3. Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i mengambil pendapat Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i (w. 204H/819M) sebagai rujukannya. Imam Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. 

Pada usia 20 tahun, dia mempelajari fikihnya Imam Malik, kemudian pergi ke Irak untuk belajar fikihnya Imam Abu Hanifah. Setelah itu dia menetap di Yaman dan mengajarkan ilmu di sana.

Pendapat-pendapat Imam Syafi’i mulai dikenal tatkala dia dipanggil Khalifah Harun Ar-Rasyid ke Baghdad. Khalifah mendengar kehebatan Imam Syafi’i dari orang-orang Yaman. 

Tidak lama kemudian dia pindah ke Makkah dan mengajar rombongan haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas. 

Pada tahun 198 H, Imam Syafi’i pindah ke Mesir dan mengajar di Masjid Amr Ibn ’Ash. Di tempat inilah Imam Syafi’i menyusun karya-karyanya di bidang fikih maupun ushul fikih, diantaranya Kitab al-Umm, dan al-Risalah. 

Murid-muridnya yang terkenal antara lain Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya’qub bin Yahya Al-Buwaiti, Abdul Hamid Al-Ghazali, dan sebagainya. 

Dasar atau sumber yang digunakan dalam melakukan ijtihad adalah:

  • Al-Qur’an.
  • Sunnah, baik yang mutawatir maupun yang ahad.
  • Ijmak sahabat
  • Qaul Sahabi, atau perkataan sahabat secara pribadi.
  • Qiyas, yaitu keharusan membawa furu’ (masalah baru) kepada ashl (masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dalam nash).
  • Istishab, menggunakan hukum yang sudah ada sampai ada hukum baru yang mengubahnya.

4. Mazhab Hanbali

Mazhab Hambali merupakan mazhab yang mengacu pada pendapat dan pemikiran Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Al-Syaibani, yang lahir di Baghdad tahun 164 H/780 M dan wafat tahun 241 H/855 M. 

Pengembaraan keilmuannya dimulai di Basrah, dan di sanalah dia bertemu beberapa kali dengan Imam Syafi’i. 

Guru-gurunya yang lain adalah: Yusuf al-Hasan bin Ziyad, Husyaim, ’Umair, Ibn Humam, dan Ibn Abbas.

Pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim (dinasti Abbasiyah), dia dipenjara karena berbeda pendapat dengan penguasa dalam hal apakah al-Qur’an itu makhluk atau tidak. 

Namun pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil dia dibebaskan. Imam Ahmad dikenal sebagai ahli hadis dan kitabnya yang terkenal adalah Musnad Ahmad. 

Termasuk para muridnya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Adam, dan Abu Daud. Pengikut mazhab Hambali yang terkenal adalah Taqiyuddin Ibn Taimiyah dan Muhammad Ibn Al-Qayyim. 

Dasar atau sumber dalam ijtihad mazhab Hambali adalah:

  • Al-qur’an.
  • Sunnah, terutama yang marfu’, yaitu yang bersumber langsung dari Rasulullah.
  • Qaul Sahabi, yaitu pendapat sahabat yang tidak diperselisihkan atau menurut ulama lain disebut dengan ijmak sahabat.
  • Hadis Mursal, yaitu hadis yang lemah kualitasnya.
  • Qiyas, sebagai alternatif terakhir jika tidak ditemukan dalil melalui sumber-sumber sebelumnya.[9] 

D. Sumber-Sumber Hukum Fikih

Piranti keilmuan yang paling sesuai sebagai acuan sistem metodologi ilmu fikih dalam Islam adalah ushul fikih. 

Hal ini dikarenakan ushul fikih tidak hanya membahas kaidah-kaidah hukum teknis operasional dalam bentuk qawaid al-ushuliyyah dan qawaid al-fiqhiyyah saja, tetapi juga membahas persoalan-persoalan mendasar tentang konsep dan hakikat hukum Islam, sumber-sumber pembentukan dan cara perolehannya, serta tingkat validitasnya. 

Ushul fikih juga diawali dengan pembahasan tentang sumber kebenaran hukum antara akal dan wahyu atau gabungan keduanya, seperti pembahasan al-hakim dalam karya Muhammad Abu Zahrah.[10]

Pembahasan tersebut kemudian dipraktikkan untuk berbicara tentang hukum Islam menjadi bab tersendiri yang bernama sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam). 

Mengenai sumber ini, terdapat dua klasifikasinya yaitu sumber hukum yang disepakati oleh semua ulama dan sumber hukum yang tidak semua ulama sepakat untuk memakainya.[11]

1. Sumber hukum yang disepakati ulama

a. Al-Qur’an

b. Sunnah

c. Ijmak

d. Qiyas

2. Sumber hukum yang tidak disepakati

a. Istihsan

b. Maslahah mursalah

c. Istishab

d. ‘Urf

e. Mazhab shahabi

f. Syar’u man qablana

g. Zhara’i’

Dua klasifikasi di atas secara mendasar sebenarnya terbangun dari dua sumber hukum utama, yakni Al-Qur’an dan hadis, atau biasa disebut sebagai nash. 

Oleh karenanya, sumber hukum yang lain dapat dikategorikan sebagai selain nash (ghair nushus). Namun walaupun bukan nash, pijakan sumber hukum selain nash pada hakikatnya tetap digali, bersumber, dan berpedoman pada nash. 

Hal inilah yang membuat proses penggalian hukum (istinbath al-ahkam) dalam Islam harus selalu berpijak pada al-Qur’an dan hadis. 

Metode istinbath terdiri dari dua macam pendekatan, yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafaz. 

Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung melainkan dengan cara seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, zhara’i’, dan lain-lain. 

Sedangkan pendekatan lafaz merupakan penarikan kesimpulan hukum dari nash secara langsung.[12]

Penerapan pendekatan lafaz dalam metode istinbath memerlukan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu pemahaman makna lafaz nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus, mengetahui dalalah apakah menggunakan al-mantuq al-lafzi atau menggunakan pendekatan al-mafhum yang diambil dari konteks kalimat, mengerti batasan-batasan ibarat nash, kemudian pengertian yang dapat dipahami dari lafaz nash apakah berdasar ibarat nash atau isyarat, dan lain sebagainya. 

Sehubungan dengan hal tersebut, kajian ushul fikih telah menyediakan bahasan metodologi khusus yang sering kali disebut dalam pembahasan lafaz.[13]

Metode istinbath sebagaimana yang dijelaskan di atas pada akhirnya memunculkan tiga klasifikasi kecenderungan ijtihad yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi, dan ijtihad istislahi. 

Ijtihad bayani yaitu ijtihad dengan cara menjabarkan hukum Islam dari nash-nash syariat. Pendekatan bayani menjadi asas utama pada pemikiran fikih Islam. 

Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks al- quir’an dan sunnah sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder dalam menjelaskan teks. 

Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatikal dan sastra Arab. Al-Qur’an dan sunnah adalah rujukan ilmu-ilmu Islam dan kebenaran wahyu adalah absolut.

Sedangkan ijtihad qiyasi adalah penetapan hukum Islam atau suatu masalah yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan hadis, sehingga ditetapkan dengan cara mengqiyaskan atau menganalogikan kepada hukum masalah lain yang mempunyai ketetapannya dalam al-Qur’an atau hadis. 

Dan yang terakhir ijtihad istislahi, yaitu penetapan hukum Islam atas suatu masalah yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan hadis, sehingga ditetapkan melalui akal atau ide yang dibangun di atas kaidah-kaidah istislah.[14]

Sebagaimana halnya metode penalaran lainya, istislahi atau maslahah mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Quran dan hadis. 

Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu iktibar. 

Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijmak atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman bin Affan, khalifah ketiga. 

Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang al-Qur’an.[15]

E. Syarat-syarat Mujtahid

Selain penjelasan tentang metode dan tata cara dalam mengistinbath hukum, terhadap ulama yang melakukan ijtihad juga disyaratkan mempunyai beberapa ketentuan yaitu:[16]

1. Mempunyai ilmu pengetahuan terhadap al-Qur’an

Disyaratkan pada seorang mujtahid untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum amaliyah. 

Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum amaliyah telah ditaksir oleh para ulama sekitar 500 ayat pada kebiasaan. 

Mengetahui ayat-ayat al-Qur’an juga meliputi pengetahuan tentang tata bahasanya seperti kalimat tunggal dan kalimat yang tersusun (murakab). 

Mengetahui lafaz-lafaz yang menghendaki kepada makna tertentu baik dari intuisi kalimat Arab itu sendiri atau karena ditunjuki oleh ilmu-ilmu tata bahasa lainnya seperti nahw, sharaf, ma’ani, bayan, dan ilmu balaghah lainnya.

2. Mengetahui hadis-hadis yang berhubungan dengan hukum

Hal ini meliputi pengetahuan tentang cara kembali kepada hadis saat melakukan istinbath hukum, mengetahui keshahihan dan kelemahan hadis baik pada sanad maupun pada matannya, dan mengetahui semua ilmu-ilmu dan kitab-kitab hadis.

3. Mengetahui nasikh dan mansukh dari al-Qur’an dan hadis

Nasakh menurut bahasa artinya menghapus atau menghilangkan. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah menghilangkan hukum syara’ dengan dasar dalil syara’ yang terakhir datangnya. 

Nasakh yang harus diketahui oleh seorang ulama mujtahid terbagi kepada beberapa macam yaitu:

a. Menasakh tulisannya dan menetapkan hukumnya

b. Menasakh hukumnya dan menetapkan tulisannya

c. Menasakh dua perkara sekaligus (tulisan dan hukumnya)

d. Menasakh hadis dengan al-Qur’an

e. Menasakh hadis dengan hadis

4. Mengetahui masalah-masalah ijmak

Seorang mujtahid harus mengetahui ijmak-ijmak yang telah terjadi dari ulama-ulama mujtahid terdahulu supaya pendapat yang ia keluarkan nantinya tidak bertentangan atau keluar dari ijmak yang sudah ada.

5. Mengetahui qiyas

Yaitu dengan mengetahui kaidah-kaidah qiyas dan mengetahui tentang cara-cara yang ditempuh ulama salafus salih dalam menetapkan illat sebagai dasar pembinaan hukum fikih.

6. Mengetahui ilmu bahasa Arab

Seorang mujtahid harus bisa berbahasa Arab dan mengetahui sastra-sastra Arab. 

Hal demikian karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan hadis Nabi juga disabdakan dalam bahasa Arab. 

Para ulama ushul fikih sepakah bahwa untuk melakukan ijtihad diperlukan kemampuan untuk menguasai bahasa Arab.

7. Mengetahui ushul fikih

Piranti-piranti yang disusun dalam keilmuan ushul fikih seperti itulah yang menjadi bangunan metodologi ilmu fikih untuk mencapai kebenaran dalam menentukan hukum Islam. 

Ilmu ushul fikih tersebut telah memberikan teori-teori atau kaidah-kaidah bagaimana menetapkan kedudukan hukum suatu masalah. 

Teori istinbath dan ijtihad merupakan dua teori yang berfungsi untuk menetapkan kedudukan hukum suatu masalah secara tegas. 

Ulama-ulama dari generasi ke generasi dari berbagai negara telah aktif beristinbath dan berijtihad dengan metodenya masing-masing untuk memberikan kepastian hukum terhadap masalah baru yang muncul pada masanya dan di wilayahnya masing-masing. 

Hal itu membuat pasca wafat Nabi Muhammad SAW tidak ada suatu masalah, kapan pun dan di mana pun yang kosong dari ketentuan hukum.[17] 

F. Fungsi Metodologi Fikih

Metodologis fikih membutuhkan ilmu ushul fikih yang membahas tentang dalil-dalil syar’i yang dipandang sebagai ketetapan umum. 

Dalam hal ini, ushul fikih menjadi metodologi fikih yang digunakan untuk membahas dan menjelaskan cara untuk menetapkan hukum dari dalil-dalil yang berkenaan dengan hukum tersebut. 

Sehingga dengan adanya metodologi fikih tersebut maka lahirlah fikih yang merupakan suatu ilmu yang membahas tentang hukum Allah. 

Dengan metodologi fikih tersebut akan memberikan pengetahuan kepada kita tentang hukum-hukum Allah yang senantiasa tidak lepas dan mutlak didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci (tafsili).

Metodologi fikih (ushul fikih) dan produk hukumnya (fikih) merupakan manifestasi Islam yang paling empiris dan dinamis sampai saat ini, khususnya dalam masalah sosial-keagamaan. 

Hal ini dapat dipahami dari penjelasan para ulama bahwa aspek aksiologis (kegunaan) metodologi fikih (ushul fikih) di antaranya adalah untuk mengetahui hukum-hukum dan mengamalkannya di tengah realitas sosial yang akan selalu berkembang di setiap wilayah. 

Oleh karena itu, ia niscaya bersifat dinamis yang selalu menyesuaikan terhadap kemaslahatan umat di berbagai daerah yang memiliki realitas sosial yang beragam. 

Keniscayaan tersebut termanifestasikan dalam konsep ‘urf, kearifan lokal, atau adat-istiadat yang menjadi salah satu teori dalam metodologi fikih yang menjadikan adat-istiadat sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.

Konsep dan pertimbangan inilah yang di kemudian hari melahirkan kaidah fikih al-‘adatu muhakkamah (pertimbangan adat-istiadat dapat menjadi dasar hukum atas suatu peristiwa) dan kaidah al-hukmu yataghayyar bi taghayyuril azminah wal amkinah wal ahwal wal ‘adat (pertimbangan hukum berubah mengikuti perubahan waktu, tempat, kondisi, dan adat-istiadat). 

Maka tidak berlebihan jika para pakar berpandangan bahwa yang menjadikan Islam tetap relevan di sepanjang zaman (shalihun likulli zaman wa makan) adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dihasilkan dari metodologi fikih yang selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman tersebut. 

Daftar Pustaka 

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh (Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia), Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld. I, Jakarta: Logos Wacana llmu.

Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarh al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, Palestina: Jamiah al-Quds, 1999.

M. Nasri Mamang Najed, Metodologi Studi Hukum Islam dari Nabi Muhammad SAW hingga Majelis Ulama Indonesia (Ushul Fikih Versi Kontemporer), Sulawesi Selatan: Umpar Press, 2016.

M. Rizki Syahrul Ramadhan, dkk, Metodologi Fikih Keindonesian (Studi Komparatif Perspektif Filsafat Hukum Islam), jurnal Ahkam, Vol. 9, No. 2, November 2021.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2015.

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jld. I, Dar al-Thuq al-Najah, 1422 H.

Muhammad Mustafa al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Jld. I, Suriah: Dar al-Khair li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2006.

Rachmat Syafe’i, Fikih Mu’amalat, Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jld. I, Damaskus: Dar al-Fikri, 2013.

Footnote 

[1]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14.

[2]Team Penyusun Kamus Basar Bahasa Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 580, dan Lihat Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 649.

[3]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jld. I, (Dar al-Thuq al-Najah, 1422 H), h. 24.

[4]Rachmat Syafe’i, Fikih Mu’amalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 13.

[5]Muhammad Mustafa al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Jld. I, (Suriah: Dar al-Khair li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2006), h. 18.

[6]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 298.

[7]Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarh al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, (Palestina: Jamiah al-Quds, 1999), h. 7.

[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld. I, (Jakarta: Logos Wacana llmu), h. 31.

[9]Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh (Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia), (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), h. 158-162.

[10]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2015), h. 69-73. 

[11]Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jld. I, (Damaskus: Dar al-Fikri, 2013), h. 401.

[12]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,..., h. 115.

[13]M. Rizki Syahrul Ramadhan, dkk, Metodologi Fikih Keindonesian (Studi Komparatif Perspektif Filsafat Hukum Islam), jurnal Ahkam, Vol. 9, No. 2, November 2021, h. 9. 

[14]Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jld. I,..., h. 330.

[15]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 177. 

[16]Muhammad Mustafa al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Jld. II,..., h. 287-291.

[17]M. Nasri Mamang Najed, Metodologi Studi Hukum Islam dari Nabi Muhammad SAW hingga Majelis Ulama Indonesia (Ushul Fikih Versi Kontemporer), (Sulawesi Selatan: Umpar Press, 2016), h. 2. 

*Makalah dengan Dosen Pengampu: Dr. Sri Suyanta, M.Ag oleh Ilham (221009020)


Posting Komentar

Posting Komentar