![]() |
Perempuan muslimah berhijab sedang mengajar dan membimbing anak-anak perempuan di kelas, simbol kebangkitan keilmuan agama di majelis perempuan Aceh. |
Oleh: Tgk. Wandi Ajiruddin
D alam perjalanan peradaban Islam, perempuan memegang peran penting dalam membumikan nilai-nilai agama.
Namun realitas hari ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam dunia keilmuan agama masih jauh dari kata “cukup."
Di banyak tempat, khususnya Aceh, majelis-majelis taklim perempuan justru lebih banyak diisi oleh guru laki-laki.
Sementara kebutuhan untuk menghadirkan guru perempuan yang paham agama secara kaffah (menyeluruh) sangat mendesak.
Hal ini mungkin dampak dari ketidakseriusan santriwati di saat menimba ilmu.
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim, tanpa memandang gendernya serta umur.
Simak juga 3 model orang yang menghadiri majelis ilmu
Rasulullah saw. bersabda;
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.”
Dalam konteks ini, perempuan tidak hanya dituntut memahami hal-hal mendasar dalam agama, tapi juga memiliki pemahaman yang menyeluruh (kaffah) tentang ajaran Islam, baik dalam aspek fikih, Ushul Fiqh, akidah, akhlak, hingga tafsir, dan hadis.
Menurut penulis, sekarang sangat susah kita dapati di Aceh seorang Ustadzah yang mahir di bidang sebuah fan (disiplin) ilmu.
Bahkan sangat jarang kita jumpai artikel dan tulisan perempuan yang membahas tentang fan-fan ilmu, hampir tidak ada sama sekali.
Meski Islam dari awal memberi ruang besar bagi perempuan dalam menuntut ilmu, kenyataan di zaman modern menunjukkan bahwa jumlah tokoh agama perempuan masih sangat terbatas.
Kita jarang melihat perempuan yang tampil sebagai ulama, pembicara utama di forum-forum keagamaan, atau penulis karya keislaman yang diakui secara luas, khususnya di Aceh.
Kondisi ini bukan karena perempuan kurang mampu, tetapi lebih sering karena tujuan mereka masuk pondok yang cedera dan kegigihan yang tidak konsisten.
Di samping itu, dipengaruhi oleh budaya menikah muda yang masih melekat kuat di sebagian masyarakat Aceh bagi perempuan.
Sewaktu kami mengisi kelas-kelas Santriwati, sering kami mempertanyakan keseriusan mereka dalam menuntut ilmu, tapi kami hanya mendapati jawaban yang tidak memuaskan.
Mereka beralasan tidak mau lebih lama mondok dan lebih cenderung ingin menikah muda.
Hal ini entah hanya di tempat kami ngajar saja atau berlaku bagi semua Dayah di Aceh.
Tapi sampai saat ini masih sangat sedikit tampak tokoh-tokoh perempuan yang memiliki ilmu agama yang mumpuni atau mereka dibatasi aksesnya untuk terjun berdakwah dan mengajar.
Padahal perempuan yang memiliki keilmuan akan mampu menjadi tiang dalam keluarga, pelita dalam masyarakat, dan pendidik generasi masa depan.
Sebab, dari rahim dan didikan perempuanlah lahir umat yang akan membentuk peradaban.
Baca juga:
Salah satu dampak dari kurangnya tokoh agama perempuan adalah minimnya guru perempuan dalam majelis-majelis taklim khusus perempuan.
Akibatnya, banyak pembahasan sensitif seperti fikih haid, nifas, peran dalam rumah tangga, atau spiritualitas perempuan, disampaikan oleh laki-laki yang mungkin tidak memiliki kedalaman pengalaman empatik dalam hal tersebut.
Pengajar perempuan dalam majelis perempuan juga dapat mengurangi isu-isu negatif belakangan ini.
Isu kekerasan Seksual yang dilakukan oleh pengajar lelaki.
Ketiadaan guru perempuan juga menciptakan jarak emosional dan psikologis antara murid dan guru.
Padahal, seorang perempuan cenderung akan lebih nyaman dan terbuka jika dibimbing oleh sesama perempuan, terutama dalam urusan yang bersifat pribadi dan khas gender.
Di era modern ini sangat perlu dijadikan contoh tokoh-tokoh ulama perempuan Mesir.
Di Mesir, ada beberapa Syekh (ulama) perempuan yang terkenal. Seperti Prof. Dr. Nahla Shabry As-Sha’idy, yang merupakan penasihat Grand Syaikh Al-Azhar dan juga Dekan Fakultas Studi Islam Al-Azhar.
Bahkan Imam Syafii dikabarkan juga pernah belajar dengan sosok ulama perempuan, yakni Sayyidah Nafisah, yang dikenal sebagai ulama perempuan dan guru Imam Syâfi’i
r.a.
Di saat masih menetap di Kairo, rumah Sayyidah Nafisah menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpulnya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru.
Banyak perempuan Mesir yang belajar langsung dari beliau, dan ini jadi cikal bakal tumbuhnya tradisi keilmuan di kalangan perempuan Mesir.
Di Indonesia, tepatnya Padang Panjang, Sumatra Barat ada tokoh ulama perempuan, Rahmah el-Yunusiyah, yang mendapat gelar “Syaikhah” pertama dari Universitas Al-Azhar.
Beliau menjadi Inpirasi berdirinya Kuliatul Banat Al Azhar (Fakultas Khusus Perempuan).
Hal itu disebabkan dedikasinya dalam memajukan pendidikan perempuan di Padang Panjang dengan mendirikan Sekolah Khusus perempuan.
Di masa Sahabat dan Tabiin juga banyak tokoh ulama perempuan, seperti Istri Rasulullah saw.
Siti Aisyah binti Abu Bakr yang meriwayat hadis lebih kurang 2000 hadis.
Ummu Darda seorang ulama perempuan dari kalangan Tabiin.
Fatimah Al Fihri, pendiri Universitas Al Qawariiyin Maroko. Dan masih banyak lainnya.
Sudah saatnya masyarakat Muslim, terutama Aceh memberikan ruang dan dukungan yang besar bagi hadirnya guru perempuan di majelis-majelis perempuan.
Ini bisa dimulai dengan memberikan sosialiasi kepada santriwati atau mahasiswi untuk lebih giat mendalami ilmu agama.
Terlebih Ilmu yang menyangkut tentang perempuan, serta memberi akses berdakwah dengan sesama perempuan.
Penting juga untuk membuka peluang bagi para perempuan alim untuk berbicara di publik, menulis karya ilmiah, dan tampil sebagai rujukan umat di Bumi Serambi Mekkah.
Penguatan ini bukan hanya untuk perempuan itu sendiri, tetapi juga untuk kualitas dakwah Islam secara keseluruhan di Aceh.
Tabik..
Posting Komentar