aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Perempuan Menembus Batas: Menghadapi Doktrin dan Tantangan Perubahan Sosial

Ilustrasi Perempuan yang bekerja di siber  dan menembus batas yang dianggap tabu serta harus  menghadapi doktrin dan tantangan perubahan sosial 

W anita telah lama hidup dalam bayang-bayang doktrin yang membatasi ruang gerak mereka, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik. 

Doktrin ini tidak hanya diwariskan secara turun-temurun melalui budaya dan norma masyarakat, tetapi juga diperkuat oleh sistem hukum dan interpretasi agama.

Namun, di era modern, semakin banyak perempuan yang berani menembus tabir doktrin ini, menantang status quo, dan membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan agen perubahan yang mampu mengubah wajah dunia.

Di berbagai belahan dunia, doktrin yang membelenggu perempuan telah tertanam begitu dalam sehingga dianggap sebagai kodrat. Baca: Potret perempuan Aceh lintas generasi 

Mereka diajarkan sejak kecil bahwa tugas utama mereka adalah menjadi istri dan ibu, mengabdi kepada suami, dan mengurus rumah tangga. 

Pemikiran ini diperkuat oleh norma sosial yang menyudutkan perempuan yang memilih jalur hidup berbeda. Di banyak negara, hak-hak dasar perempuan baru diakui dalam beberapa dekade terakhir. 

Swiss, misalnya, baru memberikan hak suara bagi perempuan pada tahun 1971, sementara di Arab Saudi, perempuan baru mendapatkan hak untuk mengemudi pada tahun 2018. 

Ini adalah bukti bahwa perubahan terjadi, tetapi dengan laju yang sangat lambat karena doktrin patriarki yang telah berakar kuat.

Kondisi ini semakin diperparah oleh hambatan struktural yang membuat perempuan sulit menembus dominasi laki-laki. Baca juga: 10 Kemampuan yang harus dikuasai wanita

Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih sangat mencolok, terutama dalam dunia politik dan ekonomi. 

Perempuan hanya mengisi sekitar 26 persen kursi parlemen dunia, sementara jumlah perempuan yang memimpin perusahaan besar masih di bawah 20 persen. 

Masalah ini bukan hanya soal kurangnya kesempatan, tetapi juga sistem yang secara tidak langsung menghalangi perempuan untuk maju. 

Banyak perempuan yang menghadapi diskriminasi di tempat kerja, tidak diberikan kesempatan yang sama dalam promosi jabatan, dan kerap harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang seharusnya mereka terima secara setara.

Selain tantangan struktural, perempuan juga menghadapi resistensi budaya yang kuat. Mereka yang mencoba menembus batasan doktrin sering kali mendapat stigma negatif dari lingkungan sekitar. 

Dalam banyak masyarakat, perempuan yang aktif di dunia politik, bisnis, atau akademik masih dianggap sebagai penyimpang dari norma tradisional. 

Mereka disebut terlalu ambisius, mengabaikan kodrat, atau bahkan dicap sebagai ancaman bagi stabilitas sosial. Baca: Iri hati yang diperbolehkan dalam Islam 

Tekanan ini sering kali datang dari dalam keluarga sendiri, di mana perempuan dihadapkan pada ekspektasi untuk segera menikah, memiliki anak, dan mengutamakan peran domestik di atas segalanya.

Agama sering kali dijadikan alat untuk mempertahankan status quo ini, meskipun pada hakikatnya tidak ada agama yang secara eksplisit melarang perempuan untuk maju dan berkembang. 

Masalahnya bukan pada agama itu sendiri, tetapi pada interpretasi yang dibuat oleh mereka yang berkepentingan untuk mempertahankan dominasi laki-laki. 

Di beberapa negara Muslim, perdebatan mengenai hak-hak perempuan masih menjadi isu yang kontroversial. Tunisia, misalnya, telah memberikan kebebasan yang lebih luas bagi perempuan dalam hal perceraian dan kepemilikan aset. 

Sementara itu, di negara-negara lain, hukum berbasis syariah yang diterapkan secara konservatif masih menjadi penghalang besar bagi perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki.

Namun, meskipun tantangan ini besar, perempuan di seluruh dunia tidak tinggal diam. Baca: Tradisi-tradisi kontroversial wanita ketika memasuki masa haid

Perlawanan terhadap doktrin yang membatasi mereka semakin nyata, didorong oleh beberapa faktor utama. 

Pendidikan menjadi salah satu katalis utama perubahan ini. Semakin banyak perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi, semakin besar pula kemungkinan mereka untuk membebaskan diri dari belenggu doktrin patriarki. 

Laporan UNESCO menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi meningkat signifikan di banyak negara berkembang. 

Perubahan ini berdampak langsung pada peningkatan jumlah perempuan di dunia kerja, politik, dan berbagai sektor lainnya.

Selain pendidikan, revolusi digital juga memainkan peran penting dalam membuka jalan bagi perempuan untuk bersuara dan memperjuangkan hak-hak mereka. 

Media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam menyebarkan kesadaran dan membangun solidaritas antar perempuan di seluruh dunia. 

Gerakan #MeToo, misalnya, telah membuka diskusi luas tentang pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender. 

Di Indonesia, gerakan serupa seperti #NamaBaikKampus menjadi platform bagi korban pelecehan akademik untuk berbicara dan menuntut keadilan. 

Teknologi memungkinkan perempuan untuk saling mendukung, berbagi pengalaman, dan menentang sistem yang selama ini mendiamkan mereka. Baca: Digelari tuli seumur hidup karena menjaga privasi wanita

Dalam dunia kepemimpinan dan ekonomi, perempuan juga mulai menunjukkan bahwa mereka mampu bersaing dan bahkan melampaui laki-laki dalam berbagai bidang. 

Di Rwanda, lebih dari 60 persen kursi parlemen ditempati oleh perempuan, menjadikannya negara dengan keterwakilan perempuan tertinggi di dunia. 

Dalam dunia bisnis, tokoh-tokoh seperti Oprah Winfrey, Indra Nooyi, dan Sri Mulyani telah membuktikan bahwa perempuan bisa sukses di sektor yang sebelumnya didominasi laki-laki. 

Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga bisa menjadi pemimpin yang membawa perubahan nyata.

Perjuangan perempuan dalam menembus tabir doktrin bukan hanya soal mendapatkan hak yang setara, tetapi juga tentang membentuk ulang cara pandang masyarakat terhadap peran mereka. 

Doktrin yang menganggap perempuan sebagai sosok pasif dan subordinat sudah tidak relevan di era modern. Dunia yang lebih setara bukan hanya menguntungkan perempuan, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan bagi semua.

Namun, perjuangan ini masih jauh dari selesai. Meski banyak kemajuan yang telah dicapai, masih ada banyak hambatan yang harus dihadapi. 

Dalam perspektif agama, perempuan memiliki peran yang berbeda dengan laki-laki, tetapi bukan dalam arti inferior. Sebaliknya, peran ini bersifat saling melengkapi dan memiliki nilai yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. 

Sejarah mencatat bahwa di balik kesuksesan banyak tokoh laki-laki besar, selalu ada perempuan hebat yang berperan penting, baik sebagai ibu, istri, maupun mentor yang memberikan dukungan moral dan intelektual. 

Contoh nyatanya dan tokoh sejarah adalah istri-istri Rasulullah itu sendiri. Baca: Mengenal lebih dekat dengan istri-istri Nabi, Anak-anak Nabi, cucu-cucu Nabi, serta fakta jarang diketahui tentang sosok Ayah Nabi.

Namun, dalam perjuangan menuntut kesetaraan gender, perempuan juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam euforia kebebasan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai syariat. 

Kesetaraan tidak boleh menjadi dalih untuk melangkahi aturan-aturan agama yang telah memberikan konsep jelas mengenai peran dan etika perempuan dalam menjaga kehormatan dan kedudukannya. 

Islam, misalnya, tidak pernah mengekang perempuan, tetapi justru menempatkan mereka dalam posisi yang terhormat dengan memberikan hak-hak yang seimbang dengan tanggung jawab yang mereka emban. 

Oleh karena itu, perjuangan perempuan harus tetap berlandaskan pada nilai-nilai moral dan etika yang menjaga keseimbangan antara hak, kewajiban, dan kehormatan mereka dalam masyarakat.

Posting Komentar

Posting Komentar