Setiap orang memiliki privasi-privasi yang sangat berpengaruh bagi kewibawaannya. Apalagi orang tersebut adalah orang yang terpandang dan mempunyai kedudukan tertentu dihadapan masyarakat.
Ketika ada hal yang harus dijaga tetapi mesti mengorbankan diri
sendiri, bagaimanakah sebenarnya sikap yang akan kita lakukan? Apalagi akan
menghasilkan sebuah output negatif secara permanen dengan resiko tertentu.
Mengenai hal ini kita mendapat contoh teladan yang terbaik dari
seorang ulama yang terkenal dengan keilmuannya dan menjadi rujukan umat
terhadap segala persoalan pada masa itu.
Beliau mendapat gelar al-Asham secara permanen setelah terjadi
sebuah kasus dengan seseorang.
Al-Asham artinya yang tuli. Beliau mendapatkan gelar tersebut yang disematkan pada namanya. Nama dan gelar itu pun terus populer lintas zaman dan generasi. Bahkan sampai saat ini.
Penisbatan al-Asham yang bermakna yang tuli bukanlah karena nilai negatif yang terdapat pada diri beliau tersebut. Karena biasanya tuli diidentikkan kepada kekurangan.
Tetapi penisbatannya kepada beliau adalah sikap
beliau yang bernilai positif dan patut diteladani dan dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Siapakah beliau?
Beliau adalah Hatim al-Asham. Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Hatim Bin Ulwan. Ada yang mengatakan namanya Hatim Bin Yusuf.
Beliau termasuk salah satu ulama yang tersohor dari pembesar ulama-ulama
di Khurrasan. Syeikh Hatim adalah murid daripada Imam Syaqiq al-Balkhi.
Dilansir dari kitab Nashaihul Ibad karangan Syeikh Nawawi al-Jawi menyebutkan bahwa beliau digelari dengan al-Asham berdasarkan sebuah riwayat.
Pada suatu ketika ada seorang wanita yang menemuinya untuk
mempertanyakan suatu persoalan. Tiba-tiba tanpa disadari wanita tersebut kentut
di hadapan Syeikh Hatim yang sedang mendengar persoalannya dengan sangat
antusias dan serius.
Ketika itu wajahnya merah karena merasa malu dihadapan syeikh.
Syeikh Hatim langsung merespon dengan cepat dengan berkata : “besarkan
sedikit suaramu?”.
Beliau menampakkan dirinya seolah-olah agak tuli dan kurang jelas
dari penjelasan wanita tadi.
Perempuan tadi merasa lega dengan kejadian itu karena syeikh Hatim
tidak mengetahui dan menyadarinya bahwa dirinya tadi buang angin di hadapannya.
Kemudian wanita tadi menceritakan apa yang terjadi antara dirinya
dengan syeikh bahwasanya syeikh hatim tidak mendengar. Sehingga berita ini
menyebar keseluruh penjuru bumi bahkan sampai melintas berbagai zaman hingga
saat ini.
Apa hikmah yang dapat kita ambil dari kejadian di atas?
Kita selaku manusia harus bisa menjaga privasi orang lain apalagi
yang sifatnya sakral. Saat ini banyak kita jumpai manusia yang sedang menunggu suatu kekurangan orang lain sebagai bahan sindiran, olok-olokan dan dijadikan contoh
permanen.
Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan kita bahwa:
“barangsiapa menutup aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya
di dunia dan akhirat.” (H.R. Ibnu Majah).
Marilah kita membutakan mata kita terhadap aib orang lain dan
membuka mata selebar-lebarnya terhadap aib kita sendiri.
Wallahu a’lam bisshawab.
7 komentar
Semoga allah mempermudah kita menjauhi keburukan
Waiyyak