Muslimah |
Sadar
ataupun tidak, wanita mempunyai porsi perhatian khusus dalam kacamata agama dan
sosial. Wanita menjadi tolak ukur, sosok yang selalu disorot, dibahas dan mendapat
kedudukan khusus dalam setiap elemen masyarakat.
Dewasa
ini, ketika banyak wanita Indonesia secara umum memperjuangkan emansipasi
wanita yang terinspirasi dari R.A. Kartini, beberapa abad yang lalu wanita Aceh
telah menikmati hak-haknya.
Mereka
mendapatkan hak yang setara secara proporsional dengan laki-laki. Meskipun banyak
menimbulkan pro-kontra di setiap kubu, tetapi bertahan cukup lama Aceh dipimpin
oleh kaum perempuan.
Ketika
berbicara tentang wanita Aceh dulu, bukanlah sekedar representasi dari dua
tokoh sejarah yang populer yaitu Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, melainkan banyak
tokoh wanita lain yang ikut andil dalam membentuk peradaban rakyat Aceh. Namun,
diakui belum banyak yang terungkap ke ruang publik tentang banyak hal menyangkut
mereka.
Dunia pun mengakui bagaimana kehebatan wanita-wanita Aceh dulu sehingga beberapa di antara mereka dimasukkan dalan jajaran pejuang besar dunia. Para pejuang wanita Aceh ada yang masuk sebagai 7 Warlord Women in The World, 10 Best Female Warrior at All Time dan Women Warrior in South East Asia.
Kehebatan
mereka juga digambarkan oleh HC. Zentgraaf dalam bukunya yaitu:
“Dari
pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah
melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, bahwa tidak
ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik dibandingkan dengan bangsa
Aceh. Kaum wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa lainnya dalam keberanian dan
tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah
dikenal sebagai laki-laki yang pemberani dan tidak takut mati dalam
mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka”. (HC. Zentgraaf, 1983: 95).
Cut Nyak Dhien |
Kalau
membaca literatur sejarah Aceh, maka kita bangga dengan hasil torehan pendahulu
kita. Namun sayangnya, jati diri sebagai wanita Aceh mulai dicemarkan dan
disepelekan oleh generasi saat ini. Dampaknya akan dirasakan oleh generasi yang
akan datang.
Apakah
berbicara wanita Aceh hanya seputar semangat jihad dan mempertaruhkan nyawa dalam membela bangsa
dan negara saja. Tentu tidak. Kita perlu mengetahui apa faktor yang membuat
semangat tinggi itu bisa tercover penuh dalam diri pejuang wanita-wanita
tersebut.
Kenapa
mereka menjadi patriot padahal urusan peperangan dan menyusun taktik serta
siasat adalah tugas laki-laki. Inilah yang luput dari perhatian setiap wanita
khususnya di Aceh.
Di samping
itu, kita juga menyaksikan banyak wanita yang menganggap remeh dengan
pendidikan. Mereka termakan dokrin dengan dibatasinya aktifitas mereka dalam
kehidupan.
Mereka
berkeyakinan bahwa tidak perlu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi karena pada akhirnya mereka akan berkutat di rumah saja. Ini merupakan
pemahaman yang keliru dan dapat menjerumuskan generasi masa depan dalam peradaban
yang ambruk dan bobrok moral.
Mereka
lupa bagaimana metode dan cara orang terdahulu mendidik anak-anak perempuan
mereka. Padahal posisi dan nasib mereka dapat memberi pengaruh besar bagi Aceh
khususnya dalam membentuk karakter generasi yang taat syariat.
Jati
diri wanita Aceh dulu terbentuk secara simultan melalui dua komponen pendidikan,
yaitu pendidikan agama dan budaya. Kedua komponen tersebut bermula terbentuk
dalam lingkungan keluarga. Di mana dari seorang wanita atau ibu sebagai pemegang
peran utama.
Maka
bisa dibayangkan kalau seandainya wanita-wanita dulu minim pendidikan agama dan
tidak paham dengan budaya yang legal di dalam syariat. Kalau kita perhatikan dengan
seksama, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai
kebudayaan dan adat.
Kehadiran Islam dengan pola yang adaptif dan kompromis terhadap budaya lokal semakin mengukuhkan penilaian masyarakat bahwa budaya mereka adalah budaya Islam. Dengan catatan selama budaya lokal tersebut tidak bertentangan dengan aturan akidah dan ibadah.
Seiring
perjalanan masa, budaya yang diwariskan oleh pendahulu sudah mulai dilupakan
dan hanya diabadikan dalam syair-syair lagu. Seperti mendidik anak semenjak
dalam ayunan dengan syair-syair yang mengandung akidah, ibadah dan arah hidup melalui
syair do da idi dan lain-lain.
Di balik
kesibukan seorang ayah sebagai pencari nafkah, mereka tetap tegas dalam
mendidik anak dalam persoalan agama. Anak-anaknya diantarkan ke tempat balai
pengajian untuk lebih dalam memahami persoalan agama. Disiplin ketat mereka dalam
mendidik anak menjadikan anak tersebut tidak buta agama.
Namun,
hal yang seperti itu agak janggal kita saksikan sekarang. Banyak anak-anak yang
tertipu dengan media sosial dan tidak peduli dengan perintah orang tuanya.
Lebih
ironis lagi, orang tua pun banyak yang bersikap apatis terhadap anaknya. Tiada lagi
budaya-budaya seperti itu yang berkembang di masyarakat. Bahkan yang lebih
miris lagi banyak yang menikah tanpa didasari oleh ilmu agama yang kuat dan
pendidikan yang tinggi.
Stigma
negatif kian menyerang setiap wanita yang belajar di jenjang lebih lanjut di
perguruan tinggi maupun universitas. Wanita zaman sekarang berbeda dengan
wanita zaman dulu. Zaman dulu kesadaran orang tua begitu antusias dalam memperhatikan
pendidikan anaknya.
Meskipun
tidak tinggi pendidikan tetapi adab dan akhlak yang diajarkan mampu membuat
mereka berwibawa dan dihormati dalam masyarakat. Berbeda dengan yang kita
saksikan saat ini.
Pengaruh
digital dan budaya luar mampu mengikis sedikit demi sedikit gaya hidup wanita Aceh
saat ini. Semuanya ditampung dalam kehidupan mereka tanpa ada filter terlebih
dahulu.
Banyak
yang terjerumus ke dalam lubang hitam kenistaan tanpa menyadari mereka sudah
terperosok di dalamnya. Karena hubungan antar sesama yang semakin renggang dan
mulai egois dan apatis terhadap tetangga sekitarnya. Padahal kunci kesuksesan
orang terdahulu adalah saling menjaga kebersamaan dan memelihara kekompakan
dalam hal apapun.
Maka
akan menjadi tanggung jawab bersama terhadap bagaimana generasi masa akan
datang kalau hal seperti ini masih diabaikan tanpa ada peduli dari setiap komponen
masyarakat. Kita perlu belajar kembali bagaimana cara nenek moyang kita
mentransfer ilmu kepada generasi-generasi mereka.
Semua yang ada unsur positif dijadikan budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan mereka. Persoalan nasib dan posisi adalah konsekuensi dari apa yang telah dipersembahkan saat ini.
Oleh
karena itu, kita butuh langkah konkrit untuk menjawab problematika sosial
masyarakat Aceh saat ini. Terutama yang berkaitan dengan wanita. Karena di
bawah pangkuan mereka generasi-generasi masa depan merangkak dalam menggeruk
setiap impian. Ketika ini diabaikan, akan menjadi malapetaka yang besar bagi
bangsa ini.
Langkah
yang perlu direalisasikan untuk memperbaiki citra wanita Aceh saat ini adalah
sebagai berikut:
Pertama:
meluruskan pemahaman wanita Aceh terhadap pendidikan. Setiap elemen masyarakat
harus bisa membendung setiap stigma negatif terhadap pendidikan yang akan ditempuh
oleh wanita.
Jangan
sampai mereka terpojokkan dan merasa didiskreditkan dalam kehidupan masyarakat
karena isu yang berkembang bahwa “untuk apa berpendidikan tinggi karena nanti tetap
akan menjadi ibu rumah tangga”. Padahal kalau kita memperhatikan secara seksama
bahwasanya perempuan selaku ibu harus menjadi perpustakaan bagi anak-anaknya.
Mereka
yang bertanggung jawab terhadap intelektualitas dan wawasan anaknya. Ketika seorang
ibu miskin ilmu, maka apa yang akan diberikan kepada anaknya sedangkan dia
tidak memiliki apa yang harus diberikan. Akhirnya anak akan terbengkalai dan dididik
oleh lingkungan dengan segala resiko. Maka nilai moral dan tanggung jawab
seorang ibu akan dipertanyakan.
Dalam
buku Muqaddimah karya fenomenal Ibnu Khaldun, beliau menjelaskan tentang
gambaran pendidikan. Beliau menyatakan:
“Barangsiapa
tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zamannya. Maksudnya,
barangsiapa yang tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan
pergaulan bersama melalui orang tua mereka mencakup para guru-guru dan sesepuh,
dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan
bantuan alam dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman. Zaman akan
mengajarkannya.”
Kedua:
melestarikan budaya pendidikan orang dulu dan harus melek IPTEK. Metode
yang diajarkan oleh pendahulu kita sangat ampuh untuk diterapkan kepada generasi
saat ini. Apalagi diimplementasikan pada setiap anak di bawah umur.
Namun
sayangnya banyak yang lupa dan minder dengan budaya pendahulu. Seperti membaca
syair do da idi ketika menidurkan anak dan mengajarkan hadis-hadis maja sebagai
filosofi kehidupan.
Di samping
itu, setiap wanita juga harus mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan
teknologi dan kreatifitas mereka dalam mendidik anak akan mampu memberi efek
positif bagi anak tersebut.
Sehingga
stigma negatif terhadap dunia digital tidak menjadi konspirasi dalam kehidupan
mereka. Akhirnya mereka tahu bagaimana cara memanfaatkan fasilitas yang ada
untuk menambah wawasan dan cakra keilmuan.
Oleh
karena itu, semuanya di bawah kontrol tangan kita ke mana arah yang akan
dikendalikan. Ketika setiap orang memahami perannya masing-masing, maka akan
terwujud seperti yang direncanakan bahkan lebih dari persepsi dan ekspektasi
yang ada.
Kemulian
leluhur kita mampu menggemparkan dunia dengan tekad dan keberanian mereka. Maka
mampukah kita memperbaiki citra perempuan Aceh sebagai potret dan kaca
perbandingan bagi bangsa-bangsa lain. Itu adalah PR kita bersama.
Dengan
menerapkan dua langkah di atas, Insyaallah mampu memberi dampak positif bagi citra
wanita Aceh saat ini dan masa yang akan datang.
Wallahu
a’lam bisshawab.
Posting Komentar