aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Potret Posisi dan Nasib Perempuan Aceh Lintas Generasi

Muslimah

Membicarakan masalah perempuan adalah salah satu kegiatan yang sangat menarik. Wanita saat ini bahkan sepanjang lintas zaman menjadi topic tranding yang banyak lahir embrio pro-kontra di kalangan masyarakat. Bahkan di dalam al-quran ada surat khusus dengan nama perempuan yaitu surat an-Nisa.

Sadar ataupun tidak, wanita mempunyai porsi perhatian khusus dalam kacamata agama dan sosial. Wanita menjadi tolak ukur, sosok yang selalu disorot, dibahas dan mendapat kedudukan khusus dalam setiap elemen masyarakat.

Dewasa ini, ketika banyak wanita Indonesia secara umum memperjuangkan emansipasi wanita yang terinspirasi dari R.A. Kartini, beberapa abad yang lalu wanita Aceh telah menikmati hak-haknya.

Mereka mendapatkan hak yang setara secara proporsional dengan laki-laki. Meskipun banyak menimbulkan pro-kontra di setiap kubu, tetapi bertahan cukup lama Aceh dipimpin oleh kaum perempuan.

Ketika berbicara tentang wanita Aceh dulu, bukanlah sekedar representasi dari dua tokoh sejarah yang populer yaitu Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, melainkan banyak tokoh wanita lain yang ikut andil dalam membentuk peradaban rakyat Aceh. Namun, diakui belum banyak yang terungkap ke ruang publik tentang banyak hal menyangkut mereka.

Dunia pun mengakui bagaimana kehebatan wanita-wanita Aceh dulu sehingga beberapa di antara mereka dimasukkan dalan jajaran pejuang besar dunia. Para pejuang wanita Aceh ada yang masuk sebagai 7 Warlord Women in The World, 10 Best Female Warrior at All Time dan Women Warrior in South East Asia.

Kehebatan mereka juga digambarkan oleh HC. Zentgraaf dalam bukunya yaitu:

“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik dibandingkan dengan bangsa Aceh. Kaum wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal sebagai laki-laki yang pemberani dan tidak takut mati dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka”. (HC. Zentgraaf, 1983: 95).

Cut Nyak Dhien

Kalau membaca literatur sejarah Aceh, maka kita bangga dengan hasil torehan pendahulu kita. Namun sayangnya, jati diri sebagai wanita Aceh mulai dicemarkan dan disepelekan oleh generasi saat ini. Dampaknya akan dirasakan oleh generasi yang akan datang.

Apakah berbicara wanita Aceh hanya seputar semangat jihad  dan mempertaruhkan nyawa dalam membela bangsa dan negara saja. Tentu tidak. Kita perlu mengetahui apa faktor yang membuat semangat tinggi itu bisa tercover penuh dalam diri pejuang wanita-wanita tersebut.

Kenapa mereka menjadi patriot padahal urusan peperangan dan menyusun taktik serta siasat adalah tugas laki-laki. Inilah yang luput dari perhatian setiap wanita khususnya di Aceh.

Di samping itu, kita juga menyaksikan banyak wanita yang menganggap remeh dengan pendidikan. Mereka termakan dokrin dengan dibatasinya aktifitas mereka dalam kehidupan.

Mereka berkeyakinan bahwa tidak perlu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena pada akhirnya mereka akan berkutat di rumah saja. Ini merupakan pemahaman yang keliru dan dapat menjerumuskan generasi masa depan dalam peradaban yang ambruk dan bobrok moral.

Mereka lupa bagaimana metode dan cara orang terdahulu mendidik anak-anak perempuan mereka. Padahal posisi dan nasib mereka dapat memberi pengaruh besar bagi Aceh khususnya dalam membentuk karakter generasi yang taat syariat.

Jati diri wanita Aceh dulu terbentuk secara simultan melalui dua komponen pendidikan, yaitu pendidikan agama dan budaya. Kedua komponen tersebut bermula terbentuk dalam lingkungan keluarga. Di mana dari seorang wanita atau ibu sebagai pemegang peran utama.

Maka bisa dibayangkan kalau seandainya wanita-wanita dulu minim pendidikan agama dan tidak paham dengan budaya yang legal di dalam syariat. Kalau kita perhatikan dengan seksama, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai kebudayaan dan adat.

Kehadiran Islam dengan pola yang adaptif dan kompromis terhadap budaya lokal semakin mengukuhkan penilaian masyarakat bahwa budaya mereka adalah budaya Islam. Dengan catatan selama budaya lokal tersebut tidak bertentangan dengan aturan akidah dan ibadah.

Seiring perjalanan masa, budaya yang diwariskan oleh pendahulu sudah mulai dilupakan dan hanya diabadikan dalam syair-syair lagu. Seperti mendidik anak semenjak dalam ayunan dengan syair-syair yang mengandung akidah, ibadah dan arah hidup melalui syair do da idi dan lain-lain.

Di balik kesibukan seorang ayah sebagai pencari nafkah, mereka tetap tegas dalam mendidik anak dalam persoalan agama. Anak-anaknya diantarkan ke tempat balai pengajian untuk lebih dalam memahami persoalan agama. Disiplin ketat mereka dalam mendidik anak menjadikan anak tersebut tidak buta agama.

Namun, hal yang seperti itu agak janggal kita saksikan sekarang. Banyak anak-anak yang tertipu dengan media sosial dan tidak peduli dengan perintah orang tuanya.

Lebih ironis lagi, orang tua pun banyak yang bersikap apatis terhadap anaknya. Tiada lagi budaya-budaya seperti itu yang berkembang di masyarakat. Bahkan yang lebih miris lagi banyak yang menikah tanpa didasari oleh ilmu agama yang kuat dan pendidikan yang tinggi.

Stigma negatif kian menyerang setiap wanita yang belajar di jenjang lebih lanjut di perguruan tinggi maupun universitas. Wanita zaman sekarang berbeda dengan wanita zaman dulu. Zaman dulu kesadaran orang tua begitu antusias dalam memperhatikan pendidikan anaknya.

Meskipun tidak tinggi pendidikan tetapi adab dan akhlak yang diajarkan mampu membuat mereka berwibawa dan dihormati dalam masyarakat. Berbeda dengan yang kita saksikan saat ini.

Pengaruh digital dan budaya luar mampu mengikis sedikit demi sedikit gaya hidup wanita Aceh saat ini. Semuanya ditampung dalam kehidupan mereka tanpa ada filter terlebih dahulu.

Banyak yang terjerumus ke dalam lubang hitam kenistaan tanpa menyadari mereka sudah terperosok di dalamnya. Karena hubungan antar sesama yang semakin renggang dan mulai egois dan apatis terhadap tetangga sekitarnya. Padahal kunci kesuksesan orang terdahulu adalah saling menjaga kebersamaan dan memelihara kekompakan dalam hal apapun.

Maka akan menjadi tanggung jawab bersama terhadap bagaimana generasi masa akan datang kalau hal seperti ini masih diabaikan tanpa ada peduli dari setiap komponen masyarakat. Kita perlu belajar kembali bagaimana cara nenek moyang kita mentransfer ilmu kepada generasi-generasi mereka.

Semua yang ada unsur positif dijadikan budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan mereka. Persoalan nasib dan posisi adalah konsekuensi dari apa yang telah dipersembahkan saat ini.

Oleh karena itu, kita butuh langkah konkrit untuk menjawab problematika sosial masyarakat Aceh saat ini. Terutama yang berkaitan dengan wanita. Karena di bawah pangkuan mereka generasi-generasi masa depan merangkak dalam menggeruk setiap impian. Ketika ini diabaikan, akan menjadi malapetaka yang besar bagi bangsa ini.

Langkah yang perlu direalisasikan untuk memperbaiki citra wanita Aceh saat ini adalah sebagai berikut:

Pertama: meluruskan pemahaman wanita Aceh terhadap pendidikan. Setiap elemen masyarakat harus bisa membendung setiap stigma negatif terhadap pendidikan yang akan ditempuh oleh wanita.

Jangan sampai mereka terpojokkan dan merasa didiskreditkan dalam kehidupan masyarakat karena isu yang berkembang bahwa “untuk apa berpendidikan tinggi karena nanti tetap akan menjadi ibu rumah tangga”. Padahal kalau kita memperhatikan secara seksama bahwasanya perempuan selaku ibu harus menjadi perpustakaan bagi anak-anaknya.

Mereka yang bertanggung jawab terhadap intelektualitas dan wawasan anaknya. Ketika seorang ibu miskin ilmu, maka apa yang akan diberikan kepada anaknya sedangkan dia tidak memiliki apa yang harus diberikan. Akhirnya anak akan terbengkalai dan dididik oleh lingkungan dengan segala resiko. Maka nilai moral dan tanggung jawab seorang ibu akan dipertanyakan.

Dalam buku Muqaddimah karya fenomenal Ibnu Khaldun, beliau menjelaskan tentang gambaran pendidikan. Beliau menyatakan:

“Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zamannya. Maksudnya, barangsiapa yang tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka mencakup para guru-guru dan sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman. Zaman akan mengajarkannya.”

Kedua: melestarikan budaya pendidikan orang dulu dan harus melek IPTEK. Metode yang diajarkan oleh pendahulu kita sangat ampuh untuk diterapkan kepada generasi saat ini. Apalagi diimplementasikan pada setiap anak di bawah umur.

Namun sayangnya banyak yang lupa dan minder dengan budaya pendahulu. Seperti membaca syair do da idi ketika menidurkan anak dan mengajarkan hadis-hadis maja sebagai filosofi kehidupan.

Di samping itu, setiap wanita juga harus mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan teknologi dan kreatifitas mereka dalam mendidik anak akan mampu memberi efek positif bagi anak tersebut.

Sehingga stigma negatif terhadap dunia digital tidak menjadi konspirasi dalam kehidupan mereka. Akhirnya mereka tahu bagaimana cara memanfaatkan fasilitas yang ada untuk menambah wawasan dan cakra keilmuan.

Oleh karena itu, semuanya di bawah kontrol tangan kita ke mana arah yang akan dikendalikan. Ketika setiap orang memahami perannya masing-masing, maka akan terwujud seperti yang direncanakan bahkan lebih dari persepsi dan ekspektasi yang ada.

Kemulian leluhur kita mampu menggemparkan dunia dengan tekad dan keberanian mereka. Maka mampukah kita memperbaiki citra perempuan Aceh sebagai potret dan kaca perbandingan bagi bangsa-bangsa lain. Itu adalah PR kita bersama.

Dengan menerapkan dua langkah di atas, Insyaallah mampu memberi dampak positif bagi citra wanita Aceh saat ini dan masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bisshawab.

Posting Komentar

Posting Komentar