aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Kisah Abu Hasan Al-Asy’ari Keluar dari Muktazilah

Kisah Abu Hasan Al-Asy’ari Keluar dari Muktazilah

D alam sejarah pemikiran Islam, pergolakan intelektual sering kali menjadi titik balik lahirnya mazhab-mazhab besar. 

Salah satu kisah paling dramatis dalam dunia teologi Islam adalah perjalanan intelektual Abu Hasan al-Asy’ari yang merupakan seorang pemikir brilian yang pada awalnya merupakan bagian dari aliran Muktazilah

Ia tumbuh dan belajar dalam lingkungan rasionalis yang menekankan logika di atas teks, menghafal argumen-argumen mereka, bahkan membela doktrin-doktrin Muktazilah selama lebih dari 40 tahun. 

Namun, sebuah titik balik terjadi dalam hidupnya yang mengubah arah pemikirannya secara total dan berpengaruh besar terhadap masa depan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kisah keluarnya Abu Hasan al-Asy’ari dari Muktazilah bukan sekadar perubahan pandangan pribadi, tetapi merupakan peristiwa monumental yang membentuk fondasi teologi Asy’ariyah yakni mazhab yang menggabungkan antara dalil naqli (teks wahyu) dan dalil aqli (rasionalitas) secara harmonis. 

Langkahnya keluar dari Muktazilah diiringi dengan keberanian mengkritik gurunya sendiri, Abu ‘Ali al-Jubba’i, serta membela aqidah kaum salaf tanpa menolak pendekatan rasional. 

Dari momentum inilah, muncul seorang pelita baru dalam dunia kalam yang menerangi umat Islam hingga berabad-abad kemudian.

Simak juga: Mengenal aliran Muktazilah, kontroversi, dan pengaruhnya dalam dunia Islam

Dalam sejarah teologi Islam, kisah Abu Hasan al-Asy'ari keluar dari aliran Muktazilah menjadi salah satu momen paling penting yang membentuk wajah Ahlus Sunnah wal Jama'ah hingga hari ini. 

Kisah ini bukan hanya tentang pergantian haluan pemikiran seorang ulama, tetapi juga tentang pergolakan batin, pencarian kebenaran, dan lahirnya mazhab yang menjadi penyeimbang antara rasionalisme ekstrem dan tekstualisme kaku.

Siapa Abu Hasan al-Asy'ari?

Abu Hasan al-Asy'ari, tokoh sentral dalam sejarah teologi Islam, memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari. 

Ia dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dalam lingkungan keilmuan yang kuat. 

Awalnya, ia adalah murid setia dari al-Juba'i, salah satu tokoh besar dari kalangan Muktazilah. 

Selama lebih dari 40 tahun, Abu Hasan menjadi pembela gigih ajaran-ajaran Muktazilah dan digadang-gadang sebagai calon pemimpin masa depan aliran tersebut.

Sebagai pengikut Muktazilah, ia sangat mendalami prinsip-prinsip utama mereka tentang keadilan Tuhan, kebebasan kehendak manusia, serta penolakan terhadap antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan makhluk). 

Keilmuan dan kepiawaian logikanya menjadikan dia sangat disegani.

Baca juga: Mengenal aliran Khawarij dan sejarah berdarahnya

Titik Balik: Dialog yang Mengubah Segalanya

Namun, pergolakan batin Abu Hasan al-Asy'ari dimulai ketika ia merasa bahwa ajaran Muktazilah terlalu mengandalkan akal dalam memahami teks-teks agama, bahkan terkadang menafikan nash demi rasionalitas. 

Sebuah perdebatan dengan gurunya, al-Juba’i, menjadi titik tolak perubahan besar dalam hidupnya.

Dialog itu bermula dari pembahasan tentang keadilan Tuhan. 

Al-Juba’i berpendapat bahwa orang dewasa yang beriman dan anak kecil yang mati dalam keadaan iman akan sama-sama masuk surga, tetapi posisi orang dewasa lebih tinggi karena ia memiliki amal saleh. 

Abu Hasan kemudian bertanya, "Mengapa anak kecil itu tidak diberi kesempatan hidup lebih lama agar bisa mengumpulkan amal baik seperti orang dewasa?"

Jawaban al-Juba’i membuat Abu Hasan terhenyak. 

"Jika anak itu dibiarkan hidup, dia akan menjadi orang durhaka. Maka dari itu, Tuhan mematikannya dalam keadaan suci," ujar al-Juba’i. 

Tapi Abu Hasan kembali bertanya, "Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang yang masuk neraka? Mengapa mereka tidak dimatikan sejak kecil saja, agar tidak menjadi durhaka dan masuk neraka?"

Gurunya terdiam. Tak ada jawaban. Saat itulah, hati Abu Hasan mulai meragukan keutuhan bangunan logika Muktazilah dalam memahami keadilan dan kebijaksanaan Tuhan.

Simak juga: Faedah meminta ampun untuk anak kecil belum berdosa

Mimpi Bertemu Rasulullah: Petunjuk Ilahiah

Setelah pertentangan batin yang panjang, titik balik yang lebih mendalam terjadi saat Abu Hasan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. 

Dalam mimpinya, Rasulullah memintanya meninggalkan pemikiran rasional ekstrem dan kembali pada ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 

Mimpi ini sangat membekas dalam dirinya.

Setelah itu, Abu Hasan mengurung diri selama 15 hari untuk merenungi keputusan besar dalam hidupnya. 

Hingga akhirnya, pada tahun 912 M, ia keluar dari rumahnya, menuju Masjid Bashrah, dan di hadapan publik ia mendeklarasikan pengunduran dirinya dari Muktazilah. 

Ia berkata dengan tegas:

"Saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat Muktazilah bahwa Al-Quran itu makhluk dan pendapat-pendapat rasional lainnya. 

Saya harus menolak paham-paham kelompok Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya dan kelemahannya."

Simak juga: Kisah nyata! dicium Rasulullah dalam mimpi

Lahirnya Mazhab Asy'ariyah: Jalan Tengah Teologi Islam

Keluarnya Abu Hasan al-Asy'ari dari Muktazilah tidak hanya menjadi akhir dari perjalanan lamanya, tetapi juga menjadi awal dari kelahiran aliran baru yaitu Asy’ariyah. 

Aliran ini mencoba mendamaikan antara dua kutub ekstrem yakni Salaf yang tekstual dan Muktazilah yang rasional.

Asy’ariyah hadir sebagai mazhab teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengintegrasikan rasionalitas moderat dengan kesetiaan terhadap teks wahyu. 

Mereka tetap menggunakan logika dan pendekatan ilmiah dalam berdiskusi tentang akidah, tetapi tidak sampai menafikan ayat-ayat Al-Quran atau hadis hanya karena tidak sesuai dengan nalar manusia.

Mengapa Abu Hasan Meninggalkan Muktazilah?

Ada beberapa faktor yang membuat Abu Hasan meninggalkan Muktazilah:

1. Kekecewaan Intelektual

Ketidakpuasan terhadap jawaban al-Juba’i tentang keadilan Tuhan menjadi batu loncatan besar.

2. Petunjuk Spiritual

Mimpi bertemu Rasulullah menjadi faktor metafisis yang menguatkan langkahnya.

3. Kondisi Politik dan Sosial

Kelemahan Muktazilah secara politik pasca pembatalan keputusan Khalifah al-Ma’mun oleh Khalifah al-Mutawakkil membuat pengaruh mereka meredup. 

Ditambah lagi, dukungan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan lawan ideologis Muktazilah menjadi angin segar bagi kebangkitan teologi Sunni.

4. Kebutuhan Umat

Pemikiran Muktazilah yang terlalu elitis dan sulit dipahami masyarakat awam tidak bisa menjawab kebutuhan umat secara luas. 

Imam Al-Asy’ari menawarkan jalan tengah yang bisa diterima semua kalangan.

Simak juga; Faktor yang mempengaruhi berkembangnya suatu mazhab

Warisan Intelektual Asy’ariyah

Setelah meninggalnya Abu Hasan al-Asy'ari pada tahun 324 H, pemikiran Asy’ariyah terus berkembang. 

Ulama-ulama besar seperti Imam al-Baqillani, Imam al-Juwaini, Imam al-Ghazali, dan Imam Fakhruddin ar-Razi menjadi generasi penerus yang menyempurnakan dan menyebarluaskan pemikiran Asy’ariyah.

Aliran ini menjadi arus utama teologi Islam di berbagai wilayah, terutama di dunia Sunni. 

Mazhab Asy’ariyah juga menjadi dasar teologis yang kokoh bagi madzhab fikih Syafi’i, Maliki, dan sebagian besar Hanafi.

Asy’ariyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Bersama dengan Maturidiyah yang diasaskan oleh Abu Mansur al-Maturidi, Asy’ariyah menjadi representasi sah dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 

Bahkan, Sayyid Murtadha az-Zabidi dalam Ittihaf Sadat al-Muttaqin mengatakan:

"Apabila disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah aliran al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah."

Dengan demikian, kontribusi Abu Hasan al-Asy’ari tidak hanya berhenti pada polemik Muktazilah, tetapi membentangkan jalan luas bagi kalangan Ahlus Sunnah untuk memiliki landasan teologi yang kokoh, inklusif, dan tidak tercerabut dari dalil.

Simak juga: Alasan ilmiah didahulukan Imam Nawawi atas Imam Rafi'i

Penutup: Relevansi Pemikiran Asy’ariyah di Era Modern

Di tengah tantangan pemikiran kontemporer yang terus bergerak antara liberalisme dan ekstremisme, pendekatan Abu Hasan al-Asy’ari sangat relevan. 

Ia menunjukkan bahwa Islam bisa bersanding dengan akal, tanpa kehilangan akar teksnya. 

Asy’ariyah bukanlah bentuk kompromi lemah, tetapi sintesis kuat antara wahyu dan akal sehat.

Baca juga: Kenali Islam liberal dan dan ancaman kemurnian akidah karena pengaruhnya! 

Pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari adalah warisan agung umat Islam. 

Ia mengajarkan bahwa kebenaran harus dicari dengan kejujuran intelektual, keberanian spiritual, dan keberpihakan kepada umat. 

Sejarah pun mencatatnya sebagai mujadid besar dalam bidang akidah. 

Tidak berlebihan jika kita mengatakan, jika bukan karena langkah berani Abu Hasan keluar dari Muktazilah, wajah teologi Islam hari ini bisa saja sangat berbeda.


Posting Komentar

Posting Komentar