Imam Abu Hanifah dan warisan keilmuannya |
I mam Abu Hanifah adalah sosok ulama besar yang dikenal sebagai pendiri mazhab Hanafi, salah satu dari empat mazhab utama dalam Islam.
Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan ilmu fikih di dunia Islam, khususnya di wilayah Irak dan sekitarnya.
Artikel ini akan mengulas secara lengkap tentang nasab Imam Abu Hanifah, sanad keilmuannya, murid-muridnya, hingga kisah kezuhudannya yang menggetarkan hati.
Nasab dan Latar Belakang Imam Abu Hanifah
Nama asli Imam Abu Hanifah adalah Nu‘man bin Tsabit bin Zutha maula Taiymillah bin Tsa‘labah.
Meskipun bukan dari bangsa Arab murni, keilmuan dan ketakwaannya membuatnya dihormati oleh berbagai kalangan umat Islam.
Beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah di kota Kufah, sebuah pusat keilmuan penting di Irak pada masa itu.
Beliau wafat pada tahun 150 Hijriyah di kota Baghdad, pada usia 70 tahun.
Dalam sejarah Islam, Imam Abu Hanifah mendapat julukan sebagai “ashabu al-ra'yi” atau ahli ra’yu, yakni orang yang mengedepankan nalar dalam menyelesaikan persoalan fikih.
Selain itu, beliau juga dikenal sebagai penghafal hadis yang terpercaya.
Sanad Keilmuan Imam Abu Hanifah dalam Bidang Fikih
Sanad keilmuan Abu Hanifah merupakan salah satu aspek penting yang menjadi dasar legitimasi keilmuannya.
Dalam bidang fikih, beliau berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, seorang ulama terkemuka di Kufah.
Hammad sendiri merupakan murid dari Ibrahim an-Nakha’i, seorang tabi’in yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu fiqih di Irak.
Pada masa Imam Abu Hanifah hidup, masih ada beberapa sahabat Nabi yang masih hidup, seperti:
- Anas bin Malik
- Abdullah bin Abi Aufa
- Sahl bin Sa’ad
- Abu Thufail
Namun, disayangkan beliau tidak sempat mengambil ilmu secara langsung dari para sahabat tersebut.
Meski begitu, sanad keilmuannya tetap kuat karena beliau menimba ilmu dari para ulama tabi’in yang bersambung kepada sahabat Rasulullah.
Dalam sebuah riwayat, Imam Abu Hanifah pernah ditanya oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur:
“Dari mana engkau mengambil ilmu?”
Imam Abu Hanifah menjawab:
“Aku mengambil ilmu dari Hammad bin Abi Sulaiman, Hammad dari Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Rasulullah saw.”
Jawaban ini membuat Khalifah sangat takjub, karena sanad keilmuan Imam Abu Hanifah bersambung secara sah kepada para sahabat utama seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abbas.
Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
Sebagai pendiri mazhab Hanafi, metode pengambilan hukum Imam Abu Hanifah sangat sistematis.
Beliau dikenal sebagai ulama yang memadukan nash (Al-Qur’an dan Hadis) dengan logika rasional (ra’yu) secara harmonis.
Urutan metodologi ijtihad beliau adalah sebagai berikut:
- Al-Qur’an
- Hadits Nabi saw. yang shahih
- Fatwa sahabat
- Qiyas (analogi)
- Istihsan (preferensi hukum yang dianggap lebih kuat dalam konteks kemaslahatan)
- ‘Urf (kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat)
Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab paling luas pengaruhnya, tersebar dari Irak, Suriah, Turki, Asia Tengah, India, hingga sebagian Eropa Timur, terutama karena peran Daulah Abbasiyah dan Kesultanan Utsmaniyah yang menjadikan mazhab ini sebagai rujukan resmi negara.
Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Pengaruh Imam Abu Hanifah meluas berkat banyaknya murid-muridnya yang menjadi ulama besar di zamannya.
Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah:
- Abu Yusuf al-Qadi – menjadi qadhi al-qudhat (hakim agung) pertama dalam sejarah Islam
- Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani – penulis kitab-kitab fiqih yang menjadi rujukan utama dalam mazhab Hanafi
- Waqi’ bin Jarrah – guru dari Imam Ahmad bin Hanbal
- Abdullah bin Mubarak – ulama besar dan ahli hadis
- Yazid bin Harun, Ali bin ‘Asam, dan Abdul Razzaq bin Hammam – para perawi hadis yang juga menjadi tokoh dalam ilmu fiqih
Nama-nama ini menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah berhasil melahirkan generasi intelektual Islam yang menyebarluaskan ajarannya dan memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Kezuhudan Imam Abu Hanifah: Menolak Jabatan Demi Prinsip
Salah satu sisi paling mengesankan dari kepribadian Imam Abu Hanifah adalah sikap zuhud dan istiqamahnya dalam prinsip.
Dalam sejarah diceritakan bahwa Ibnu Hubairah, gubernur Irak pada masa Bani Umayyah, pernah menawarkannya posisi sebagai qadhi (hakim).
Namun, Imam Abu Hanifah menolak tawaran tersebut karena khawatir tidak dapat berlaku adil di bawah tekanan politik.
Ibnu Hubairah pun murka dan memerintahkan cambukan sebanyak 150 kali kepada Imam Abu Hanifah.
Namun, meski disiksa, beliau tetap teguh menolak jabatan tersebut, menunjukkan integritas dan ketakwaannya yang tinggi.
Kisah ini bahkan membuat Imam Ahmad bin Hanbal menangis ketika mendengarnya.
Imam Ahmad mengatakan bahwa keikhlasan dan keberanian Abu Hanifah adalah bukti keteguhan seorang ulama sejati dalam menjaga agama.
Wafatnya Imam Abu Hanifah di Penjara
Pada masa kekuasaan Khalifah Al-Manshur dari Dinasti Abbasiyah, Imam Abu Hanifah kembali diminta menjadi qadhi.
Ketika beliau menolak, Al-Manshur bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan itu.
Namun Imam Abu Hanifah pun bersumpah tidak akan menerimanya.
Ketika ditanya oleh al-Rabi’ al-Hajib, “Mengapa engkau bersumpah menolak, padahal Amirul Mukminin sudah bersumpah agar engkau menerimanya?”
Imam Abu Hanifah menjawab dengan tegas:
“Amirul Mukminin lebih mampu membayar kafarat sumpahnya dari pada aku.”
Akhirnya, beliau dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa hingga wafat di sana.
Pendapat paling kuat mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah wafat di penjara Baghdad pada tahun 150 H, syahid dalam mempertahankan prinsip.
Warisan dan Pengaruh Mazhab Hanafi
Hingga hari ini, mazhab Hanafi menjadi mazhab dengan jumlah pengikut terbesar di dunia Islam.
Ajarannya dijadikan pegangan dalam banyak negara, terutama di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh), Asia Tengah, Turki, dan sebagian wilayah Eropa Timur.
Warisan pemikiran Abu Hanifah tidak hanya dalam bidang fikih, tetapi juga dalam etika, pendidikan, dan prinsip keadilan.
Beliau menjadi simbol bahwa seorang ulama harus berdiri di atas kebenaran, meskipun harus menghadapi tekanan penguasa.
Kesimpulan
Imam Abu Hanifah adalah tokoh besar dalam sejarah Islam yang bukan hanya dikenal karena keilmuannya, tetapi juga karena integritas, kezuhudan, dan keberaniannya menegakkan prinsip.
Mazhab Hanafi, warisan agungnya, menjadi bukti nyata pengaruhnya yang abadi dalam dunia Islam.
Dengan sanad keilmuan yang kuat, murid-murid hebat, dan metode istinbath hukum yang rasional, Imam Abu Hanifah membuktikan bahwa ilmu, akhlak, dan keberanian prinsip adalah tiga pilar utama dalam membangun peradaban Islam.
Referensi:
- Kitab al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib al-Fiqhiyyah, hal. 95
- Kitab-kitab tarikh dan biografi ulama klasik seperti Siyar A’lam an-Nubala’ dan Tabaqat al-Hanafi
Posting Komentar