aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Mengapa Abu Thalib Dipilih Merawat Nabi Muhammad Kecil? Kisah Haru dan Hikmah Abadi

Mengapa Abu Thalib Dipilih Merawat Nabi Muhammad Kecil? Kisah Haru dan Hikmah Abadi

H idup Nabi Muhammad ï·º sejak kecil tidaklah mudah. 

Beliau lahir sebagai yatim, bahkan menjadi yatim piatu di usia yang masih sangat belia. 

Ayah beliau, Abdullah, wafat saat Nabi masih berada di dalam kandungan. 

Ibunya, Aminah, meninggal ketika Nabi baru berusia enam tahun, tepatnya di Abwa dalam perjalanan pulang dari ziarah ke Madinah. 

Sejak itu, dunia kecil Muhammad seakan runtuh. 

Namun, di balik semua itu Allah ï·» telah menyiapkan jalan penuh hikmah.

Simak juga; Hikmah Rasulullah tumbuh sebagai yatim

Kisah tentang mengapa Abu Thalib yang akhirnya merawat Nabi Muhammad kecil bukanlah cerita biasa. 

Di dalamnya terkandung pelajaran mendalam tentang kasih sayang, pendidikan, dan musyawarah keluarga. 

Mari kita telusuri jejak sejarah yang penuh makna ini.

Masa Kecil Nabi Muhammad: Yatim Sejak dalam Kandungan

Rasulullah ï·º lahir dalam keadaan tidak lagi memiliki ayah. 

Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal di Darun Nabighah, ketika Nabi masih dua bulan dalam kandungan. 

Sejak awal, hidup beliau ditempa dengan ujian.

Simak juga; Fakta jarang diketahui tentang sosok ayah Nabi Muhammad

Saat berusia enam tahun, ibunda tercinta, Aminah, wafat di Abwa. 

Sejak itu, Nabi kecil benar-benar menjadi yatim piatu. 

Dalam tradisi Arab, seorang anak biasanya tumbuh dengan perlindungan orang tua dan keluarga besarnya. 

Namun, Muhammad ï·º ditempa sejak dini untuk berdikari, merasakan kehilangan, dan belajar menggantungkan diri hanya kepada Allah.

Simak juga; Rentetan ujian yang dihadapi oleh Rasulullah

Asuhan Singkat Abdul Muthalib

Setelah wafatnya Aminah, Nabi Muhammad ï·º diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. 

Beliau adalah pemimpin Quraisy, seorang tokoh terpandang di Makkah. 

Meski sudah sangat tua, Abdul Muthalib sangat menyayangi cucunya ini.

Namun usia tidak bisa dilawan. Abdul Muthalib yang kala itu berusia 110 tahun hanya mampu merawat Nabi selama dua tahun. 

Ketika ajal menjemput, muncul pertanyaan besar siapa yang akan merawat Muhammad kecil setelahnya?

Simak juga; Biografi Ibnu Hajar ulama yang yatim piatu

Musyawarah Abdul Muthalib dengan Anak-Anaknya

Menjelang wafat, Abdul Muthalib memanggil semua anaknya yang merupakan paman-paman Nabi ï·º. 

Menurut keterangan Syekh Hamami zadah dalam tafsir surat Yasin, jumlah paman Nabi ada dua belas orang. 

Namun, yang dikenal dan berperan besar hanya empat: Hamzah, Abbas, Abu Lahab, dan Abu Thalib.

Abdul Muthalib tidak ingin mengambil keputusan sepihak. 

Ia ingin memastikan cucunya diasuh oleh orang yang tepat. 

Maka ia bermusyawarah dengan anak-anaknya, satu per satu menawarkan diri.

Simak juga; Hikmah dan keutamaan mengusap kepala anak yatim

Tawaran Abu Lahab yang Ditolak

Orang pertama yang mengajukan diri adalah Abu Lahab. 

Ia berjanji akan merawat Muhammad dengan penuh perhatian. 

Namun Abdul Muthalib merasa ragu. 

Abu Lahab adalah orang kaya raya dengan kedudukan tinggi.

Kekayaan dan jabatan bisa menjadikan seseorang keras hati dan kurang penyayang. 

Seorang anak kecil butuh kasih sayang, bukan sekadar fasilitas. 

Karena itu, Abu Lahab ditolak. Inilah hikmah pertama: harta tidak pernah menjadi ukuran kasih sayang.

Simak juga; Dunia adalah jamban, tamu VIP atau ekonomi Anda? 

Tawaran Hamzah yang Tidak Sesuai

Kemudian berdirilah Hamzah bin Abdul Muthalib, sosok pemberani yang kelak menjadi Singa Allah. 

Ia berkata siap mengasuh Muhammad kecil.

Namun, Abdul Muthalib berkata dengan bijak: 

“Engkau lebih cocok menjadi penolongnya kelak, bukan pengasuhnya saat ini. Karena engkau tidak memiliki anak, sehingga belum mengerti bagaimana mendidik dan memperhatikan anak kecil.”

Hamzah memang kelak menjadi pelindung Rasulullah di masa kenabian, namun untuk saat itu ia bukan pilihan tepat.

Simak juga; Rahasia sukses mendidik anak ala Imam Sya'rani

Tawaran Abbas yang Juga Ditolak

Selanjutnya, Abbas bin Abdul Muthalib maju. 

Ia memiliki banyak anak, dan merasa mampu merawat Muhammad.

Namun justru itulah alasan penolakannya. 

Abdul Muthalib khawatir cucunya akan terabaikan, karena perhatian Abbas sudah terbagi pada banyak anak. 

Nabi kecil butuh kasih sayang penuh, bukan perhatian yang tersisa.

Simak juga; Bolehkah pilih kasih terhadap anak dalam Islam? 

Abu Thalib yang Tulus dan Penuh Kasih

Akhirnya, berdirilah Abu Thalib. Dengan penuh keyakinan ia berkata:

"Aku bersedia merawat, melindungi, mendidik, dan mencurahkan kasih sayang kepadanya melebihi apa yang kuberikan pada anak-anakku sendiri. Selama nyawa masih di kandungan badan, aku akan menjaganya."

Ucapan ini membuat Abdul Muthalib tersenyum. 

Hatinya merasa tenang, karena ia melihat ketulusan dalam diri Abu Thalib. 

Namun, ia tidak ingin memutuskan sepihak. 

Ia pun memanggil Muhammad kecil untuk dimintai pendapat.

Simak juga; Kisah Ibnu Hajar menimba emas dari sumur zamzam karena istrinya

Pilihan Muhammad Kecil

Abdul Muthalib memberi kebebasan pada cucunya siapa yang ingin ia pilih sebagai pengasuhnya. 

Muhammad kecil, dengan penuh kelembutan, berjalan mendekati pamannya lalu memeluk Abu Thalib.

Air mata haru pun jatuh. Keputusan Muhammad kecil sejalan dengan firasat Abdul Muthalib. 

Maka, dengan resmi pengasuhan itu diserahkan kepada Abu Thalib.

Sejak saat itu, orang-orang Quraisy sering menyebut Rasulullah ï·º sebagai “yatimnya Abu Thalib.”

Hikmah di Balik Pemilihan Abu Thalib

Kisah ini bukan sekadar sejarah keluarga. 

Tetapi, penuh pelajaran berharga, baik bagi umat Islam maupun bagi siapa saja yang peduli pada pendidikan anak.

1. Kasih sayang adalah fondasi utama pendidikan

Anak tidak cukup diberi fasilitas, tapi butuh cinta, perhatian, dan kelembutan.

2. Pengasuh harus memahami dunia anak

Tidak semua orang dewasa cocok mendidik anak kecil. Dibutuhkan kesabaran dan pengalaman.

3. Kelebihan materi bukan jaminan

Harta melimpah tidak menjamin anak mendapat perhatian batin yang ia butuhkan.

4. Anak butuh perhatian penuh 

Terlalu banyak anak bisa membuat perhatian orang tua terbagi. Maka keseimbangan sangat penting.

5. Musyawarah keluarga adalah kunci 

Abdul Muthalib mengajarkan bahwa keputusan besar harus dibicarakan bersama, tidak sepihak.

6. Anak punya hak memilih

Bahkan Nabi kecil diberi kesempatan menentukan siapa pengasuhnya. 

Ini bentuk penghormatan pada perasaan anak.

Simak juga; Mengenal lebih dekat dengan anak-anak Rasulullah saw. 

Relevansi untuk Kehidupan Modern

Kisah ini tetap relevan hingga kini. 

Banyak anak kehilangan orang tua sejak kecil, banyak pula keluarga yang bingung menentukan pengasuh terbaik. 

Pesan dari Abdul Muthalib dan Abu Thalib bisa menjadi pedoman:

  • Jangan hanya melihat harta atau status.
  • Prioritaskan kasih sayang, kesabaran, dan perhatian.
  • Hargai pendapat anak, bahkan di usia dini.

Dalam dunia pendidikan modern, para ahli psikologi anak pun menekankan hal serupa.  

Attachment (ikatan batin) lebih penting dari pada sekadar pemenuhan kebutuhan fisik.

Simak juga; Orang tua bercerai sebaiknya anak ikut siapa? 

Abu Thalib: Pelindung Rasulullah ï·º

Meski tidak pernah beriman kepada risalah Nabi ï·º, Abu Thalib adalah pelindung setia beliau. 

Beliau membela Rasulullah dari tekanan Quraisy, menolak menyerahkannya kepada musuh, bahkan rela menanggung penderitaan dalam boikot Quraisy di Syi’b Abi Thalib.

Kasih sayangnya sejak Nabi kecil terus berlanjut hingga dewasa. 

Inilah bukti bahwa keputusan Abdul Muthalib dan pilihan Nabi kecil dulu adalah pilihan terbaik.

Penutup: Kasih Sayang Melahirkan Generasi Berkualitas

Dari kisah ini kita belajar bahwa anak yang bermutu lahir dari didikan penuh kasih sayang. 

Abdul Muthalib tidak asal menunjuk, tetapi menyeleksi dengan penuh pertimbangan. 

Abu Thalib pun merawat Nabi dengan sepenuh hati, meski dalam keterbatasan harta.

Hasilnya? Muhammad kecil tumbuh menjadi sosok yang kuat, berakhlak mulia, dan akhirnya menjadi Rasul terakhir pembawa rahmat bagi semesta.

Kita pun bisa meneladani hikmah ini:

  • Mendidik anak dengan cinta, bukan sekadar harta.
  • Menempatkan musyawarah dalam setiap keputusan besar keluarga.
  • Menyadari bahwa perhatian penuh lebih berarti daripada fasilitas mewah.

Dengan kasih sayang, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi berkualitas, penuh keimanan, dan siap menghadapi tantangan zaman.

Semoga kita semua menjadi orang tua dan pengasuh anak-anak yang berkarakter tinggi seperti Rasulullah saw. 

Posting Komentar

Posting Komentar