aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Bolehkah Pilih Kasih Terhadap Anak?

Belaian Orang Tua 

Setiap dari kita memahami bahwa anak adalah pemberian yang sangat berharga. Bahkan saking berharganya, semua hal akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan si buah hati. 

Namun, di sisi lain orang tua juga dilatih dan di paksa untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya.

Kalau tidak maka akan menimbulkan masalah internal bahkan sampai menjadi masalah serius. Prioritas terhadap satu anak dan mengabaikan anak yang lain sering terjadi dalam keluarga. 

Hal ini wajar terjadi apabila setiap anak mampu menarik perhatian orang tuanya agar bisa memberi perhatian penuh kepadanya.

Dalam hal ini orang tua harus benar-benar bijaksana dalam menghadapi ini. Orang tua yang cerdas adalah mereka yang mampu bersikap adil sedari dalam alam pemikiran. 

Maka keadilan itu adalah kewajiban orang baik, juga hak orang banyak yang harus diwujudkan. Mengingat keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat.

Adil dalam hal apapun pasti sangat sulit diterapkan, namun demikian kebaikan walau sekecil kaki rayap pun layak untuk diperjuangkan dengan segenap kemampuan. 

Dalam mendidik anak, penyelewengan dari bersikap adil adalah bukti bahwa adil bukanlah suatu sikap yang mudah diterapkan dan didapatkan secara naluri. 

Disadari atau tidak, orang tua terkadang lebih menyayangi salah satu anaknya dari yang lain. Lalu, apakah boleh penyelewengan dipraktikkan oleh orang tua untuk pilih kasih antara anak-anaknya. 

Dalam kacamata islam, makruh hukumnya orang tua yang melakukan pilih kasih terhadap buah hatinya yang sama derajat.

Rasulullah SAW bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ

Artinya, “Bertakwalah kepada Allah. Bersikaplah adil terhadap anak-anak kalian,” (HR Bukhari).

Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk  menerapkan keadilan bagi anak-anak kita. Karena hal demikian adalah sebagian dari jalan untuk menuju ketaqwaan kepada Allah. 

Ketika kita mengabaikan jalan ketaqwaan tersebut yang berada dalam pangkuan kita, mana lagi yang harus ditapaki jika bukan jalan yang sudah terpampang jelas di depan mata kita.

Oleh karena itu, setiap orang tua tidak boleh pilih kasih terhadap anak-anaknya. Karena cinta itu berhak dan harus tumbuh pada jiwa-jiwa mereka.

Larangan pilih kasih ini bukanlah larangan secara mutlak sehingga hukumnya haram bila dikerjakan. Namun larangan tersebut mengarah kepada makruh. 

Hal ini sebagaimana tertera dalam kitab Fathul Muin yaitu:

وَيُكْرَهُ لِأَصْلٍ تَفْضِيْلٌ فِيْ عَطِيَةِ فُرُوْعٍ وَإِنْ سَفَلُوْا وَلَوِ اْلأَحْفَادَ مَعَ وُجُوْدِ اْلأَوْلاَد

Artinya, “Orang tua makruh bersikap pilih kasih pada pemberian terhadap anak anaknya, walaupun anak dari garis keturunan bawah seperti cucu, meskipun anaknya masih ada pada waktu itu.” 

Namun, pilih kasih hukumnya boleh jika seandainya salah satu anak misalnya lebih membutuhkan atau lebih alim.

Pembolehan pilih kasih terhadap anak bagi orang tua tersebut juga merupakan jalan lain untuk menemukan keridhaan Allah SWT. Misalkan ada anak yang kebutuhannya lebih banyak karena menuntut ilmu agama, atau lebih taat, lebih shalih, atau hal hal kebaikan lainnya yang menjadikan pilih kasih adalah suatu sikap kebijaksanaan dan bukan suatu penyelewengan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anatut Thalibin, juz III, halaman 153 :

والحاصل محل الكراهة عند الإستواء في الحاجة وعدمها وفي الدين وقلته وفي البر وعدمه وإلا فلا كراهة وعلى ذلك يحمل تفضيل الصحابة بعض أولادهم كالصديق رضي الله عنه فإنه فضل السيدة عائشة على غيرها من أولاده كسيدنا عمر فإنه فضل ابنه عاصما بشئ وكسيدنا عبد الله بن عمر فإنه فضل بعض أولاده على بعضهم رضي الله عنهم أجمعين

Artinya:

Pada dasarnya, kemakruhan pilih kasih adalah ketika anak anak memiliki kebutuhan, kedudukan, dan kelebihan yang sama. Jika salah satu dari kebutuhan, kedudukan, atau kelebihan dari seorang anak berbeda maka pilih kasih tidak dimakruhkan.

Atas dasar inilah para sahabat ada yang bersikap pilih kasih  kepada salah satu anak-anaknya dan itu dibolehkan. Seperti sayyiduna Abu Bakar yang lebih memprioritaskan sayyidah Aisyah dari anak-anaknya yang lain. 

Juga seperti sayyidina Umar yang lebih memprioritaskan anaknya ‘Ashim dengan suatu hal dari anaknya yang lain.

Sahabat lain yang bersikap seperti demikian adalah Abdullah bin Umar. Beliau juga memprioritaskan salah satu anaknya dibandingkan yang lainnya.

Pilih kasih seperti keterangan di atas tidak akan berefek buruk terhadap anak yang lain. Karena dalam kasus kebutuhan hidup salah satu anak bisa jadi lebih  lebih besar. 

Anak yang lain pun akan menyadari hal tersebut bahwa saudaranya ternyata lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri. Namun orang tua harus menunjukkan kebijaksanaannya terhadap anak-anak tersebut agar tidak emosional.

Kalau kita melihat seperti dalam kasus bahwa saudara nya yang lain lebih alim, maka itu bisa menjadi motivasi untuknya untuk mengikuti jejak saudaranya yang alim tersebut. 

sehingga dia juga berharap akan mendapatkan hal yang sama seperti apa yang diberikan oleh orang tua.

Maka dari itu mayoritas ulama menyatakan tidak wajib bagi orang tua untuk bersikap adil kepada anak-anaknya. Lalu mayoritas ulama ini memaknai perintah pada hadis riwayat Bukhari tadi, sebagai sunat terhadap orang tua untuk bersikap adil diantara anak-anaknya.

Mayoritas ulama tidak mewajibkan bersikap adil ini, karena mengacu pada sikap Para Sahabat Nabi yang menjadi dalil bahwa perintah dalam hadis tidak berfaedah wajib melainkan sunah.

Karena sebuah amar (perintah) akan berfaedah kepada wajib, jika ada indikasi kepada wajib atau di saat tidak ada indikasi selainnya sama sekali. Namun saat ada indikasi kepada bukan wajib maka faedah amar juga bukan kepada wajib.

Dalam hal ini yang menjadi indikasi sehingga perintah di dalam hadis mengarah kepada bukan wajib, adalah sikap dan prilaku para sahabat terhadap anak-anaknya. Hal ini sebagaimana tertulis di dalam kitab Mughni Muhtaj Jilid 2, Hal : 543, Cet. Darul Fikri :

تنبيه : قضية كلام المصنف أن ترك هذا خلاف الأولى ، والمجزوم به في الرافعي الكراهة وهو المعتمد ، قال ابن حبان في صحيحه : إن ترکه حرام ، ويؤيده رواية : « لا تشهدني على جور» وأكثر العلماء على أنه لا يجب ، وحملوا الحديث على الاستحباب لرواية : فأشهد على هذا غيري ، ولأن الصديق رضي الله تعالى عنه فضل عائشة رضي الله عنها على غيرها من أولاده ، وفضل - عمر رضي الله تعالی عنه إبنه عاصما بشيء ، وفضل عبدالله بن عمر رضي الله تعالى عنهما بعض ولده على بعض

Artinya:

Penting: Kalam pengarang mengindikasikan bahwa tidak bersikap adil kepada anak hukumnya khilaf aula. Sementara Imam Rafi’I berpendapat bahwa hukumnya makruh, ini pendapat kuat.

Ibnu Hibban berpendapat dalam kitab Sahihnya, bahwa tidak bersikap adil kepada anak hukumnya haram. Pendapat Ibnu Hibban didukung oleh sebuah riwayat “Jangan bersaksi padaku tentang ketidak-adilan”.

Namun pendapat ini tidak didukung oleh ulama lain, dan mereka memaknai hadist dengan disunnahkan agar bersifat adil terhadap anak dan juga selaras dengan penerapan sahabat dalam keluarga mereka.

Memang sulit untuk mengendalikan cinta di dalam hati. Namun itu hanya sebatas di hati saja, sementara mengendailkan cinta dalam perbuatan itu mudah. Orang tua dapat memberi uang saku yang sama di antara semua anaknya meski ia lebih mencintai anak tertentu.

Oleh karena itu, kita selaku orang tua dilatih untuk bersikap bijak terhadap anak-anak kita. Tidak memprioritaskan satu anak dibandingkan dengan lain kecuali itu adalah jalan untuk mencapai keridhaan Allah. 

Kita perlu mengajarkan keadilan itu dalam keluarga agar anak dapat menirunya kelak.

semoga kita bisa bersikap adil dan bijaksana dalam segala hal untuk mencapai keridhaan Allah SWT. amin amin ya rabbal alamin

wallahu a'lam bisshawab

 

Posting Komentar

Posting Komentar