aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Vasektomi Penerima Bansos: Kebijakan Ngawur yang Menelanjangi Wajah Asli Negara

Seorang tenaga medis memegang model anatomi sistem reproduksi perempuan, menggambarkan konteks edukasi kesehatan reproduksi dalam isu vasektomi dan kebijakan kontroversial penerima bansos.

W acana vasektomi untuk penerima bantuan sosial (bansos) dengan dalih sebagai strategi pengentasan kemiskinan bukan hanya kebijakan keliru, tetapi juga bentuk penelanjangan ideologis tentang bagaimana negara memandang rakyat miskin. 

Dalam pandangan mereka, rakyat miskin hanya sebagai objek yang harus dikendalikan, bukan sebagai manusia yang harus diberdayakan. 

Di tengah gempuran krisis ekonomi dan ketimpangan sosial yang kian melebar, menggulirkan wacana semacam ini mencerminkan kegagalan berpikir sistemik. 

Baca juga: keistimewaan orang miskin dalam Islam

Alih-alih memperbaiki distribusi kekayaan, akses pendidikan, dan layanan kesehatan, negara justru memilih pendekatan paling otoriter yaitu membatasi hak reproduksi rakyatnya.

Konsep sterilisasi demi “pengendalian populasi” sejatinya bukan hal baru dalam sejarah kebijakan global. 

Di India pada 1970-an, pemerintah Indira Gandhi mengeluarkan kebijakan sterilisasi massal yang menargetkan pria miskin sebagai bagian dari program keluarga berencana. 

Dengan iming-iming insentif dan tekanan administratif, ratusan ribu pria dipaksa menjalani vasektomi tanpa pengetahuan memadai. 

Akibatnya, banyak yang mengalami komplikasi, trauma, hingga kematian. 

Dunia internasional mengecam praktik tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM. 

Simak juga: Sanksi dalam Islam upaya preventif dan kaitannya dengan HAM

Begitu pula di Peru pada masa Presiden Alberto Fujimori, lebih dari 300 ribu perempuan yang mayoritas berasal dari komunitas adat dan kelompok miskin disterilisasi secara paksa. 

Belakangan, praktik ini diakui sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.

Wacana vasektomi untuk penerima bansos di Indonesia hari ini menunjukkan bahwa semangat eugenika yaitu ide untuk “memurnikan” atau “mengendalikan” populasi berdasarkan kelas dan produktivitas ekonomi masih hidup dan berbahaya. 

Dalam bahasa halus, program ini disebut sebagai bagian dari perencanaan keluarga atau family planning

Namun jika ditelusuri secara lebih kritis, narasi di baliknya menyimpan aroma diskriminatif yang kental bahwa kemiskinan adalah akibat dari kebodohan rakyat miskin yang terlalu banyak memiliki anak. 

Ini adalah generalisasi yang menyederhanakan persoalan struktural menjadi kesalahan individu.

Padahal, jika kita berbicara berdasarkan data dan fakta, hubungan antara jumlah anak dan tingkat kemiskinan tidak bersifat kausal langsung. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 25,9 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. 

Namun, mayoritas dari mereka justru hanya memiliki dua hingga tiga anak per keluarga. 

Artinya, problem kemiskinan tidak bisa disederhanakan hanya dengan argumen "banyak anak banyak masalah". 

Masalah sesungguhnya terletak pada akses terhadap pendidikan, lapangan kerja yang layak, jaminan sosial, dan sistem distribusi kekayaan yang timpang.

Baca juga: Dilema guru di bawah makna samar-samar pahlawan tanpa jasa

Jika pemerintah benar-benar ingin mengurangi angka kemiskinan, langkah pertama yang harus diambil bukanlah mengintervensi organ reproduksi warganya, melainkan mengintervensi struktur ekonomi yang timpang. 

Kenaikan harga bahan pokok, ketimpangan pendapatan antara kelas menengah atas dan bawah, hingga korupsi dalam penyaluran bantuan sosial merupakan penyebab langsung yang lebih nyata. 

Justru ketika negara gagal menghadirkan sistem ekonomi yang adil, maka yang dikorbankan adalah hak-hak dasar rakyat kecil, termasuk hak untuk memiliki keturunan.

Lebih jauh, wacana vasektomi bagi penerima bansos membuka diskusi tentang relasi kuasa antara negara dan tubuh rakyat. 

Dalam konteks ini, negara berperan layaknya entitas yang merasa berhak menentukan siapa yang layak bereproduksi dan siapa yang tidak. 

Ini adalah praktik biopolitik klasik sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Michel Foucault;

"Kekuasaan yang bekerja tidak hanya dalam bentuk larangan hukum, tetapi juga lewat kontrol terhadap tubuh dan kehidupan biologis individu." 

Dengan menetapkan syarat sterilisasi atau pembatasan reproduksi bagi kelompok tertentu, negara tidak hanya mencabut kebebasan biologis seseorang, tetapi juga mendefinisikan nilai hidup berdasarkan kemampuan ekonomi.

Baca juga: Childfree dalam pandangan Islam 

Hal ini bertentangan dengan konstitusi negara sendiri. 

Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. 

Ketika negara mulai menjadikan bansos sebagai alat tukar untuk kebijakan yang menyentuh hak paling privat warga yaitu hak untuk memiliki keturunan, maka negara telah menapaki jalan gelap kekuasaan yang menindas. 

Alih-alih membebaskan rakyat dari kemiskinan, pendekatan semacam ini justru menjebak mereka dalam rantai represi baru.

Di balik narasi pengendalian populasi juga tersembunyi asumsi kelas yang berbahaya. 

Bahwa kelompok miskin dianggap tidak layak atau tidak mampu membesarkan anak-anak mereka dengan baik. 

Namun siapa yang menetapkan standar layak? 

Apakah keberhasilan membesarkan anak hanya diukur dari kemampuan finansial semata? 

Sejarah justru mencatat banyak tokoh besar lahir dari keluarga miskin mulai dari para pendiri bangsa hingga ilmuwan dan pemikir dunia. 

Baca juga: Ibunda para ulama pencetak generasi emas Islam

Potensi manusia tidak bisa ditakar hanya dari isi dompet orang tuanya. 

Maka, membatasi kelahiran berdasarkan status ekonomi sama saja dengan membunuh potensi sosial bangsa dari dalam.

Di sisi lain, negara justru abai terhadap kampanye pendidikan keluarga berencana yang berlandaskan kesadaran dan sukarela. 

Sejak Orde Baru, program KB (Keluarga Berencana) lebih banyak dipakai sebagai alat kekuasaan dari pada pendidikan reproduksi yang menyeluruh. 

Propaganda dua anak cukup tidak disertai dengan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi. 

Banyak warga di daerah terpencil bahkan tidak memiliki informasi dasar tentang metode kontrasepsi, kesehatan kehamilan, hingga dampak sterilisasi permanen seperti vasektomi. 

Ini artinya, negara gagal dalam fungsi edukatifnya, namun justru agresif dalam fungsi represifnya.

Jika kebijakan vasektomi ini terus digaungkan, maka bukan tidak mungkin akan muncul resistensi besar dari masyarakat. 

Terutama dari komunitas agama dan adat yang menjunjung tinggi nilai keluarga. 

Sebab dalam banyak tradisi di Indonesia, memiliki anak bukan semata-mata persoalan ekonomi, tetapi juga bagian dari makna hidup, spiritualitas, dan kesinambungan budaya. 

Dengan memaksakan pemutusan reproduksi secara sistemik, negara secara tidak langsung mengintervensi keyakinan dan nilai hidup yang telah diwariskan turun-temurun.

Sebagai bangsa yang menjunjung Pancasila, keadilan sosial seharusnya menjadi prinsip utama dalam merumuskan kebijakan publik. 

Sayangnya, wacana vasektomi untuk penerima bansos justru mencerminkan sebaliknya yaitu bahwa dalam logika kekuasaan hari ini, keadilan sering kali dikorbankan demi efisiensi dan stabilitas. 

Kita sedang menyaksikan bagaimana negara berusaha mensterilkan masalah ekonomi bukan dengan reformasi struktural, tetapi dengan “mensterilkan” rakyatnya secara literal. 

Ini adalah bentuk kegagalan moral dan intelektual dalam merumuskan kebijakan publik.

Baca juga: 8 hal menarik tapi palsu dan banyak tertipu

Maka, solusi pengentasan kemiskinan yang sejati harus berangkat dari pendekatan yang holistik dan manusiawi. 

Investasi di bidang pendidikan, penyediaan layanan kesehatan gratis dan berkualitas, perlindungan tenaga kerja informal, serta jaminan sosial yang inklusif akan jauh lebih efektif dalam jangka panjang. 

Pemerintah juga harus berani melakukan reformasi pajak dan membatasi oligarki ekonomi yang menyedot kekayaan nasional ke segelintir tangan. 

Dengan menciptakan sistem yang adil, rakyat miskin tidak perlu didikte untuk mengurangi jumlah anak karena mereka sendiri akan memahami dan memutuskan berdasarkan informasi dan pilihan yang merdeka.

Dalam konteks global, negara-negara dengan indeks pembangunan manusia (IPM) tinggi tidak mencapai kemakmuran lewat represi populasi, tetapi lewat kebijakan progresif yang memperkuat kelas bawah. 

Negara seperti Norwegia, Swedia, dan Selandia Baru mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial tanpa mengorbankan hak reproduksi rakyatnya. 

Indonesia semestinya belajar dari mereka, bukan justru mengulang kesalahan historis yang pernah dilakukan oleh rezim otoriter di belahan dunia lain.

Pada akhirnya, wacana vasektomi untuk penerima bansos hanyalah solusi palsu yang menyesatkan. 

Ia menyasar gejala, bukan akar persoalan. Lebih dari itu, ia mencerminkan watak kekuasaan yang otoriter dan tidak percaya kepada rakyatnya sendiri. 

Sebuah negara yang besar bukanlah negara yang mensterilkan rakyat miskinnya, tetapi negara yang menciptakan ruang hidup yang layak bagi semua. 

Kemiskinan bukan alasan untuk mencabut hak manusia paling mendasar berupa hak untuk hidup, mencinta, dan melanjutkan kehidupan. Wallahu a'lam. 




Posting Komentar

Posting Komentar