aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Dilema Guru di Bawah Makna Samar-Samar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Dilema Guru di Bawah Makna Samar-Samar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Guru adalah sosok yang paling berjasa dalam membangun peradaban bangsa. Karena tidak ada yang bisa menggambarkan jasa mereka terhadap pendidikan sehingga dijuluki dengan pahlawan tanpa jasa. 

Kenapa tanpa jasa? karena jasanya yang tidak pantas dibandingkan dan dihargakan dengan apapun itu. Semangat mereka mampu menyulap gelap kebodohan menuju cahaya peradaban. Baca juga: Adakah cinta yang terlarang?

Sejak kecil sudah didoktrin untuk selalu menghormati guru dan patuh kepadanya. Bahkan ungkapan guru pahlawan tanpa tanda jasa sudah tertanam rapi pada pikiran setiap anak bangsa layaknya peredaran darah dalam nadi.

Siapa sangka ternyata makna "tanpa tanda jasa" terealisasi dalam kehidupan nyata. Jasa mereka tidak benar-benar dihargai. Jerih payah mereka mencerdaskan umat dituntut murni ikhlas tanpa ada akomodasi yang memadai. 

Bayangkan saja, jerih payah yang harus mereka korbankan hanya untuk mendapatkan sertifikasi legal agar dapat intensif yang mencukupi membutuhkan waktu yang tidak singkat. Bertahun-tahun bahkan puluhan lamanya. Ironisnya, belum tentu ada jaminan yang membuat mereka tersenyum menerima hasilnya. 

Mungkin karena menjadi guru adalah pilihan dan pengabdian maka kesannya wajar-wajar saja. Niat mulia mereka sudah cukup sebagai penghibur agar konsisten dalam mendidik generasi bangsa. Ya semudah itu cara berpikir positifnya. 

Kesejahteraan guru dan kebahagiaan hanya berbasis keikhlasan tanpa harapan pamrih dari keringat mulia mereka. Meskipun akhir-akhir ini mulai bersuara dan meminta penghargaan yang layak bagi profesi guru. 

Fenomena ini menyadarkan kita begitu samar-samarnya makna pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, pantaskah seorang guru protes terhadap tunjangan kerja mereka. 

Layakkah guru dianggap sebagai sebuah profesi sehingga perlu disetarakan hak? Perlukah kita memahami makna guru dari sudut tanggung jawab moral saja tanpa memperhatikan keberadaan mereka dalam bingkai sosial? 

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Direvisi

Lagu hymne guru sering kali digaungkan dan diperdengarkan sebagai pengingat jasa seorang guru. Siapa sangka lirik dari hymne tersebut ada revisi tepatnya pada kalimat terakhir. Bahkan banyak yang tidak menyadari hal ini.

Perubahan lirik tersebut telah disepakati bersama dengan adanya surat edaran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Nomor 447/Um/PB/XIX/2007 tanggal 27 November 2007.

Lagu hymne guru diciptakan oleh Sartono. Beliau adalah seorang guru musik di SMP Swasta Madiun. Lirik akhir lagu tersebut versi lamanya yaitu Tanpa Tanda Jasa. Sehingga itu yang masih sangat familiar hingga saat ini, padahal lirik tersebut sudah diganti dengan Pembangun Insan Cindekia. 

Perubahan kalimat tersebut dilakukan karena adanya kesan yang menyudutkan profesi guru. Keikhlasan dan ketulusan mereka dalam mengajar menunjukkan jasa mereka yang tidak bisa dibalas dengan apa pun.

Pada dasarnya kalimat tersebut ditujukan untuk mengangkat martabat dan mulianya profesi seorang guru, namun sayangnya konotasi lebih rentan pada negatif. Hal ini diperkuat dengan fakta lapangan yang menyulitkan para guru untuk menerima hal yang sepantasnya didapatkan meskipun tidak bisa memperoleh yang di atas kata layak. 

Antara Tanpa Tanda Jasa dan Pembangun Insan Cindekia

Insan cindekia lahir dari terampilnya seorang guru dalam mendidik dan menerapkan pola pendidikan tertentu. Barometer kemahiran seorang guru tidak bisa diukur dengan kasat mata apalagi menerapkan suatu ujian kompetensi. 

Lahirnya marketplace guru seolah-olah ingin menyeragamkan kualitas dan menumbuhkan kasta profesi. Menyeragamkan kualitas dengan hasil uji kelayakan dan performa terbaik layaknya barang yang dijajakan pada etalase toko. 

Pola asuhan dan didikan anak-anak yang berada di pelosok kampung tentu berbeda dengan siswa yang ada di perkotaan. Model didikan juga sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya di suatu daerah. Hal ini sangat sulit diseragamkan.

Belum lagi berbicara dengan sarana dan prasarana yang lengkap di suatu lembaga pendidikan. Akses informasi dan pendidikan yang terbatas juga berpengaruh besar dalam proses menggodok generasi bangsa yang cindekia.

Menurut hemat penulis, sebaiknya tidak hanya fokus dalam penyetaraan kompetensi guru, tetapi juga harus menitikberatkan perhatian terhadap penyetaraan pendidikan dan akses digital. Tanpa membedakan kasta sosial apalagi diskriminasi ras dan suku. 

Meskipun guru “tanpa tanda jasa” sebagai label keistimewaan dan ta'dhim terbesar, namun sejatinya keberadaan mereka serta eksis di dunia pendidikan tidak hanya sebatas profesi. Keikhlasan mereka dalam mendidik umat dan mencerdaskan bangsa tidak bisa dihargai dengan uang seberapa besar pun itu.

Ironisnya, berbagai peraturan dan ketentuan yang diterapkan justru seolah-olah menimbulkan kasta antar profesi. Gelombang protes ini sebenarnya tidak layak muncul ke permukaan. Karena itu sudah menyalahi nilai dan moral seorang guru yang mengajarkan cara terbaik dalam menjalani kehidupan. 

Apalagi setiap guru yang berprinsip mengajar bukanlah ladang mencari penghasilan tetapi tanggung jawab moral terhadap umat manusia.

Logika sederhananya adalah setiap orang menyadari bahwa guru merupakan insan cindekia yang mampu melahirkan insan cindekia lainnya sehingga peka terhadap jasa dalam mencerdaskan mereka. 

Kenapa tidak bisa mengapresiasi lebih terhadap kinerja keras mereka dengan memberi hak yang setara bahkan lebih. Bukankah mereka mendapatkan hak tersebut sebagai ganti dari pekerjaan lainnya untuk memenuhi kehidupannya. Kenapa investasi mereka dalam dunia pendidikan dianggap biasa-biasa saja. 

Adapun cara yang bisa dilakukan untuk menyejahterakan guru dalam mengemban amanat suci mengajarkan umat yaitu mempermudah urusan guru baik dengan kebijakan atau lainnya, dan mengapresiasi kinerja tanpa mendiskriminasikan profesi mereka. 

Di samping itu, keikhlasan mereka juga patut dipertahankan tanpa mencorengnya dengan beragam kebijakan-kebijakan yang membuat luntur hati nuraninya. Kalau ikhlas yang merupakan prinsip sakral ini mulai luntur karena terkontaminasi oleh berbagai faktor yang menyudutkan. Akibatnya, tidak akan sedikit yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai alat dan tempat pengepul kekayaan. 

Maka suatu kewajaran apabila lembaga pendidikan menjadi tempat kejahatan terstruktur, manipulasi data bahkan sampai korupsi. Saat ini bisa kita saksikan sendiri berapa banyak insan cindekia yang lahir dari dunia pendidikan tapi korupsi. 

Oleh karena itu, tugas kita bersama menjaga stabilitas pendidikan dan moral anak bangsa. Kesejahteraan guru adalah sebuah kewajiban bersama agar totalitas mereka dalam mendidik umat semakin besar. 

Dengan hal ini, moral dan etika yang akan mewarnai kehidupan bermasyarakat sehingga terwujudlah harapan dan kejayaan bersama.

 

 

Posting Komentar

Posting Komentar