aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Sanksi Dalam Syariat, Upaya Preventif atau Eksekusi?

Sanksi Dalam Syariat, Upaya Preventif atau Eksekusi?

Penerapan sanksi terhadap pelanggar syariat menjadi isu yang memancing kericuhan dalam skala global. Seolah-olah keberadaan syariat membatasi gerakan dan kebebasan manusia.

Sehingga HAM diagungkan dan digaungkan sebagai pemerhati tatanan kehidupan yang idealis di dunia ini dalam segala aspek kehidupan.

Penerapan hukum syariat secara komprehensif adalah musuh utama bagi mereka yang mengerti dan memahami agama Islam hanya cover saja. Dalam mindset mereka, ketegasan syariat menjadi titik utama persoalan kehidupan ini dan mengabaikan berbagai kemudahan-kemudahan lainnya. Baca juga cara sederhana menjalani hidup.

Di samping itu, orang yang mengandalkan logika atas agama maka dia sedang berada di tepi jurang yang berbahaya. Mereka menjadikan akal sebagai pedang untuk menebas setiap syariat yang tidak logis tanpa kompromi.

Argumen yang ditawarkan pun membuat banyak orang goyah iman. Pendekatan secara logika lebih mengena dibandingkan harus tunduk patuh dengan setiap dalil yang berasaskan keimanan.

Tanpa disadari mereka sedang meracuni umat dengan menularkan virus yang mudah menyebar hanya dengan hembusan pemahaman sosial dalam konteks antara keselarasan syariat dan kasus aktual masyarakat.

Mereka disesatkan oleh hasrat. Sebuah tali yang seringkali lepas dari tangan mereka dan menjatuhkan mereka ke dalam jurang kebinasaan dan kehancuran.

Ketika kita berbicara dan bersikukuh bahwa akal adalah sebagai hakim yang mandiri terhadap pertimbangan setiap kemaslahatan dalam kehidupan di dunia ini, maka apa fungsi syariat yang bersumber dari al-quran dan hadis. Padahal kedudukan keduanya menjadi sakral bagi kita umat Islam.

Kerancuan pemahaman terhadap fungsi akal telah banyak menyeret manusia dalam kesesatan pemikiran. Padahal faktanya, banyak sekali hal-hal yang tidak mampu dinalar oleh akal tetapi al-quran mampu membuktikannya.

Berbicara masalah logika bisa membuat kita terhanyut bahkan tenggelam dalam lautan kesesatan kalau tanpa dilindungi oleh keimanan yang mantap. Neraca syariat bukan menggunakan akal semata. 

Tetapi dalil naqli (al-qur’an dan hadis) adalah prioritas. Apabila bertentangan di antara keduanya maka yang didahulukan adalah dalil naqli. Baca juga Apakah Takdir Bisa Berubah?

Kesalahpahaman mendasar dalam memahami syariat adalah mengutamakan akal dalam mempertimbangkan kemaslahatan dalam hidup di permukaan dunia ini.

Banyak yang beranggapan bahwa dengan penerapan syariat secara totalitas dan komprehensif membuat ruang lingkup yang semakin menyempit dan kaku. Seolah-olah keberadaan syariat hanya memasung aktivitas manusia itu sendiri dengan banyak perintah-perintah dan larangan-larangan.

Maka dari itu kita perlu meluruskan kembali bagaimana sebenarnya esensi dari penerapan sanksi dalam syariat. Imunisasi pemahaman ini perlu dilakukan secara ekstra agar tidak menjadi penyakit yang menular.

Untuk memahami ini secara logis maka kesampingkan logika dulu agar bisa diterima secara sempurna. Artinya kita memakai neraca dalil dulu baru kita selaraskan dengan akal kita. Kenapa begitu?

Coba kita perhatikan Sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 179 Allah berfirman:

ولَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya; “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.

Coba analogikan dan pikirkanlah bagaimana alqur’an berbicara bahwa dengan pembunuhan terdapat jaminan kehidupan?

Kalau dipahami secara tekstual, maka kita akan menyerang ayat tersebut, menggugat bahkan menuduh bahwa al-quran tidak konsisten. Bagaimana al-quran yang kesakralannya telah diakui tetapi berbicara penuh dengan kontradiksi.

Kalau kita berfikiran seperti itu berarti kita telah terjangkiti virus yang sangat di wanti-wanti di atas. Itu adalah bukti kalau kita mengadalkan logika dalam memvonis setiap hukum syariat.

Makanya penulis sampaikan kesampingkan dulu logika, mari kita memahami berdasarkan konsep nash syariat agar tidak tersesat dalam berfikir.

Ketika seseorang melakukan pembunuhan maka dalam al-quran menyatakan bahwa sanksi orang tersebut juga harus dibunuh. Begitu juga dengan pelaku kriminal yang lainnya yaitu diberi sanksi sesuai dengan tindakan kriminal yang dilakukannya.

Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh syara’ terhadap pemberlakuan sanksi terhadap pelaku kriminal?

Disadur kita kitab Fiqh Al-Muqaran karangan Syeikh Ramadhan Al-Bhuti, beliau menjelaskan secara detail maksud esensial dari penerapan sanksi bagi pelaku kriminal dan penyimpangan.

Beliau menjelaskan bahwa: “fungsi penerapan sanksi kepada pelaku kriminal dan penyimpangan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah mengarahkan pelaku kriminal dan orang lain agar menjauhi dari terjerumus dalam pelanggaran-pelanggaran syariat dengan wasilah yang membuat pelakunya jera/sakit dan merasa sempit yang mana itu sebanding dengan perbuatan yang dilakukan untuk bisa merasakan nikmat ataupun usaha yang tidak sesuai dengan syariat”.

Oleh karena demikian, setiap usaha yang dilakukan tidak sesuai dengan yang disyariatkan, maka ada kemudharatan khusus yang diberikan kepada pelaku tersebut.

Efek positifnya adalah orang lain akan terhambat untuk melakukan hal yang sama karena mereka menyaksikan konsekuensi langsung dari pelaku kriminal tersebut.

Secara tidak langsung, dengan penerapan sanksi syariat tersebut mampu mencegah orang lain dan banyak pertimbangan untuk melakukan hal yang sama.

Di sisi lain, dalam penerapan sanksi terhadap pelanggar syariat diberlakukan secara menyeluruh tanpa pandang kasta dan derajat dalam kelas sosial maupun agama.

Perlu kita pahami bahwa, sebenarnya syara’ menginginkan bahwa bukan eksekusi dari setiap pelanggaran yang dilakukan oleh manusia. Tetapi lebih mengarah kepada upaya pencegahan terjadinya kriminal. Karena kalau kita melihat syarat untuk bisa diterapkan sanksi sangat sukar. baca juga cara cerdas menyiasati masalah.

Seperti harus menghadirkan saksi yang adil, menghadirkan 4 orang saksi yang menyaksikan langsung dalam kasus zina, kalau tidak mampu membawa saksi yang sesuai dengan syariat ketika menuduh orang bisa terkena had tuduh dan lain-lain.

Ini menunjukkan bahwa syariat tidak menginginkan terwujudnya sanksi secara semena-mena, tetapi harus dengan bukti-bukti yang konkrit yang sebagian besar susah untuk kita hadirkan. Bahkan kita dianjurkan untuk tidak mencari atau mengintip kesalahan orang lain.

Oleh karena itu, kita dapat mengambil poin inti bahwa penerapan sanksi dalam syariat hanya sebagai upaya preventif (pencegahan) bukan untuk menerapkan sanksi atau eksekusi.

Lantas kenapa eksekusi tetap dilakukan kepada pelaku kriminal? Karena dengan pemberlakuan sanksi tersebut dapat mendorong pelaku dan orang lain agar tidak terjerumus dalam bentuk kriminal apapun.

Sehingga ketika ingin melakukan kriminal akan berfikir dua kali dan mempertimbangkannya kembali karena mengingat sanksi yang berat apabila melakukan hal tersebut.

Bukankah indah kemaslahatan dan hikmah yang ditawarkan oleh syara’ dibandingkan mengunggulkan logika yang tidak mendasar. Bahkan akan menjadi lebih indah lagi mengontrol akal dan membawanya sesuai dengan konsep syariat.

 

Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

 

 

Posting Komentar

Posting Komentar