Sanksi Dalam Syariat, Upaya Preventif atau Eksekusi? |
Penerapan
sanksi terhadap pelanggar syariat menjadi isu yang memancing kericuhan dalam skala
global. Seolah-olah keberadaan syariat membatasi gerakan dan kebebasan manusia.
Sehingga
HAM diagungkan dan digaungkan sebagai pemerhati tatanan kehidupan yang idealis
di dunia ini dalam segala aspek kehidupan.
Penerapan
hukum syariat secara komprehensif adalah musuh utama bagi mereka yang mengerti
dan memahami agama Islam hanya cover saja. Dalam mindset mereka, ketegasan
syariat menjadi titik utama persoalan kehidupan ini dan mengabaikan berbagai
kemudahan-kemudahan lainnya. Baca juga cara sederhana menjalani hidup.
Di
samping itu, orang yang mengandalkan logika atas agama maka dia sedang berada
di tepi jurang yang berbahaya. Mereka menjadikan akal sebagai pedang untuk
menebas setiap syariat yang tidak logis tanpa kompromi.
Argumen
yang ditawarkan pun membuat banyak orang goyah iman. Pendekatan secara logika
lebih mengena dibandingkan harus tunduk patuh dengan setiap dalil yang
berasaskan keimanan.
Tanpa
disadari mereka sedang meracuni umat dengan menularkan virus yang mudah
menyebar hanya dengan hembusan pemahaman sosial dalam konteks antara keselarasan
syariat dan kasus aktual masyarakat.
Mereka disesatkan oleh hasrat. Sebuah tali yang seringkali lepas dari tangan mereka dan menjatuhkan mereka ke dalam jurang kebinasaan dan kehancuran.
Ketika
kita berbicara dan bersikukuh bahwa akal adalah sebagai hakim yang mandiri terhadap
pertimbangan setiap kemaslahatan dalam kehidupan di dunia ini, maka apa fungsi
syariat yang bersumber dari al-quran dan hadis. Padahal kedudukan keduanya
menjadi sakral bagi kita umat Islam.
Kerancuan
pemahaman terhadap fungsi akal telah banyak menyeret manusia dalam kesesatan
pemikiran. Padahal faktanya, banyak sekali hal-hal yang tidak mampu dinalar
oleh akal tetapi al-quran mampu membuktikannya.
Berbicara masalah logika bisa membuat kita terhanyut bahkan tenggelam dalam lautan kesesatan kalau tanpa dilindungi oleh keimanan yang mantap. Neraca syariat bukan menggunakan akal semata.
Tetapi dalil naqli (al-qur’an dan hadis) adalah
prioritas. Apabila bertentangan di antara keduanya maka yang didahulukan adalah
dalil naqli. Baca juga Apakah Takdir Bisa Berubah?
Kesalahpahaman
mendasar dalam memahami syariat adalah mengutamakan akal dalam mempertimbangkan
kemaslahatan dalam hidup di permukaan dunia ini.
Banyak yang beranggapan bahwa dengan penerapan syariat secara totalitas dan komprehensif membuat ruang lingkup yang semakin menyempit dan kaku. Seolah-olah keberadaan syariat hanya memasung aktivitas manusia itu sendiri dengan banyak perintah-perintah dan larangan-larangan.
Maka
dari itu kita perlu meluruskan kembali bagaimana sebenarnya esensi dari
penerapan sanksi dalam syariat. Imunisasi pemahaman ini perlu dilakukan secara
ekstra agar tidak menjadi penyakit yang menular.
Untuk
memahami ini secara logis maka kesampingkan logika dulu agar bisa diterima secara
sempurna. Artinya kita memakai neraca dalil dulu baru kita selaraskan dengan
akal kita. Kenapa begitu?
Coba kita perhatikan Sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah
[2]: 179 Allah
berfirman:
ولَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى
الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya;
“Dan dalam qisas itu ada (jaminan)
kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa”.
Coba
analogikan dan pikirkanlah bagaimana alqur’an berbicara bahwa dengan pembunuhan
terdapat jaminan kehidupan?
Kalau dipahami secara tekstual, maka kita akan menyerang ayat tersebut, menggugat bahkan menuduh bahwa al-quran tidak konsisten. Bagaimana al-quran yang kesakralannya telah diakui tetapi berbicara penuh dengan kontradiksi.
Kalau
kita berfikiran seperti itu berarti kita telah terjangkiti virus yang sangat di
wanti-wanti di atas. Itu adalah bukti kalau kita mengadalkan logika dalam
memvonis setiap hukum syariat.
Makanya
penulis sampaikan kesampingkan dulu logika, mari kita memahami berdasarkan
konsep nash syariat agar tidak tersesat dalam berfikir.
Ketika seseorang melakukan pembunuhan maka dalam al-quran menyatakan bahwa sanksi orang tersebut juga harus dibunuh. Begitu juga dengan pelaku kriminal yang lainnya yaitu diberi sanksi sesuai dengan tindakan kriminal yang dilakukannya.
Apa
sebenarnya yang dikehendaki oleh syara’ terhadap pemberlakuan sanksi terhadap
pelaku kriminal?
Disadur
kita kitab Fiqh Al-Muqaran karangan Syeikh Ramadhan Al-Bhuti, beliau menjelaskan
secara detail maksud esensial dari penerapan sanksi bagi pelaku kriminal dan
penyimpangan.
Beliau
menjelaskan bahwa: “fungsi penerapan sanksi kepada pelaku kriminal dan
penyimpangan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah
mengarahkan pelaku kriminal dan orang lain agar menjauhi dari terjerumus dalam
pelanggaran-pelanggaran syariat dengan wasilah yang membuat pelakunya jera/sakit
dan merasa sempit yang mana itu sebanding dengan perbuatan yang dilakukan untuk
bisa merasakan nikmat ataupun usaha yang tidak sesuai dengan syariat”.
Oleh
karena demikian, setiap usaha yang dilakukan tidak sesuai dengan yang
disyariatkan, maka ada kemudharatan khusus yang diberikan kepada pelaku
tersebut.
Efek
positifnya adalah orang lain akan terhambat untuk melakukan hal yang sama
karena mereka menyaksikan konsekuensi langsung dari pelaku kriminal tersebut.
Secara
tidak langsung, dengan penerapan sanksi syariat tersebut mampu mencegah orang
lain dan banyak pertimbangan untuk melakukan hal yang sama.
Di
sisi lain, dalam penerapan sanksi terhadap pelanggar syariat diberlakukan
secara menyeluruh tanpa pandang kasta dan derajat dalam kelas sosial maupun
agama.
Perlu
kita pahami bahwa, sebenarnya syara’ menginginkan bahwa bukan eksekusi dari
setiap pelanggaran yang dilakukan oleh manusia. Tetapi lebih mengarah kepada
upaya pencegahan terjadinya kriminal. Karena kalau kita melihat syarat untuk
bisa diterapkan sanksi sangat sukar. baca juga cara cerdas menyiasati masalah.
Seperti
harus menghadirkan saksi yang adil, menghadirkan 4 orang saksi yang menyaksikan
langsung dalam kasus zina, kalau tidak mampu membawa saksi yang sesuai dengan
syariat ketika menuduh orang bisa terkena had tuduh dan lain-lain.
Ini
menunjukkan bahwa syariat tidak menginginkan terwujudnya sanksi secara
semena-mena, tetapi harus dengan bukti-bukti yang konkrit yang sebagian besar
susah untuk kita hadirkan. Bahkan kita dianjurkan untuk tidak mencari atau
mengintip kesalahan orang lain.
Oleh karena itu, kita dapat mengambil poin inti bahwa penerapan sanksi dalam syariat hanya sebagai upaya preventif (pencegahan) bukan untuk menerapkan sanksi atau eksekusi.
Lantas
kenapa eksekusi tetap dilakukan kepada pelaku kriminal? Karena dengan
pemberlakuan sanksi tersebut dapat mendorong pelaku dan orang lain agar tidak
terjerumus dalam bentuk kriminal apapun.
Sehingga
ketika ingin melakukan kriminal akan berfikir dua kali dan mempertimbangkannya
kembali karena mengingat sanksi yang berat apabila melakukan hal tersebut.
Bukankah
indah kemaslahatan dan hikmah yang ditawarkan oleh syara’ dibandingkan mengunggulkan
logika yang tidak mendasar. Bahkan akan menjadi lebih indah lagi mengontrol
akal dan membawanya sesuai dengan konsep syariat.
Wallahu
a’lam bisshawab.
Posting Komentar