![]() |
Ilustrasi pria berjalan kaki di padang pasir demi ibadah haji, menggugah pertanyaan: pengorbanan suci atau sekadar mencari sensasi di era modern? |
F enomena haji jalan kaki kembali menyita perhatian masyarakat.
Beberapa individu memilih menempuh ribuan kilometer dengan berjalan kaki untuk mencapai tanah suci, bahkan ada yang nekat menggunakan perahu rakitan dari galon untuk menyeberangi lautan. (Simak di sini)
Bukannya diperingatkan akan bahayanya, mereka justru dilepas dengan upacara syukuran, seolah-olah sedang menjalankan misi keimanan yang luar biasa.
Namun, muncul pertanyaan yang patut direnungkan: apakah haji memang harus dilakukan dengan perjuangan ekstrem agar lebih bernilai?
Simak juga: Benarkah pemyematan gelar haji warisan kolonial?
Apakah Islam benar-benar menganjurkan perjalanan haji yang penuh risiko, atau fenomena ini lebih banyak dipengaruhi oleh pencitraan dibandingkan esensi ibadah itu sendiri?
Untuk memahami persoalan ini, kita perlu menelaahnya dari sudut pandang syariat Islam dan prinsip dasar ibadah haji.
Islam dan Kemudahan dalam Ibadah
Islam adalah agama yang mengedepankan kemudahan dalam beribadah. Simak juga: 5 amalan ibadah berpahala haji
Kewajiban haji, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi, hanya berlaku bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial.
Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah ï·º bersabda:
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah."
Lalu seseorang bertanya, "Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?"
Rasulullah terdiam, hingga orang itu mengulangi pertanyaannya tiga kali.
Kemudian Rasulullah bersabda, "Seandainya aku katakan 'ya', maka niscaya haji akan diwajibkan setiap tahun, dan kalian tidak akan mampu melakukannya."
Hadis ini menegaskan bahwa Islam tidak menghendaki umatnya menjalankan ibadah dengan kesulitan yang tidak perlu.
Jika haji diwajibkan setiap tahun saja bisa menjadi beban berat, maka jelas bahwa Islam tidak mewajibkan umatnya untuk beribadah dengan cara yang membahayakan diri sendiri.
Baca juga: Kisah mengharukan jemaah haji ngesot dari Samarkand ke Baitullah
Selain itu, dalam kaidah fikih terdapat prinsip yang berbunyi:
"La dharara wa la dhirar", yang berarti tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.
Prinsip ini menegaskan bahwa Islam melarang tindakan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain, termasuk dalam menjalankan ibadah.
Simak juga: Misteri Hajar Aswad yang hilang selama 22 tahun
Syarat Haji: Antara Kemampuan dan Nekat
Dalam ilmu fikih, salah satu syarat wajib haji adalah istita’ah atau kemampuan.
Ini mencakup beberapa aspek, yaitu:
Kemampuan Finansial
Seorang muslim wajib memiliki biaya yang cukup untuk perjalanan haji, termasuk transportasi, makan, dan akomodasi.
Mengandalkan donasi atau meminta-minta untuk berhaji bukanlah tindakan yang dianjurkan dalam Islam.
Kemampuan Fisik
Haji adalah ibadah yang membutuhkan stamina dan kesehatan yang prima.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh memaksakan diri jika kondisi fisiknya tidak memungkinkan.
Keamanan Perjalanan
Perjalanan menuju Makkah harus dilakukan dalam kondisi yang aman.
Simak juga: bolehkah safar tanpa mahram?
Jika perjalanan berisiko tinggi, seperti berjalan kaki melintasi berbagai negara tanpa jaminan keselamatan, maka tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip keamanan dalam Islam.
Berdasarkan kriteria ini, haji yang dilakukan dengan berjalan kaki tanpa alasan yang jelas atau tanpa kesiapan yang matang dapat dianggap sebagai tindakan yang kurang bijak.
Haji Jalan Kaki: Ibadah atau Pencitraan?
Dalam beberapa kasus, perjalanan haji jalan kaki yang viral di media sosial justru menimbulkan pertanyaan besar.
Apakah niat mereka benar-benar murni untuk beribadah, atau ada unsur pencitraan dan sensasi di dalamnya?
Fenomena ini sering kali menarik perhatian publik dan mendapatkan liputan luas di media.
Tidak jarang, para pelaku aksi ekstrem ini mendapat simpati besar, bahkan sumbangan dari masyarakat.
Namun, apakah ini sesuai dengan semangat ibadah haji yang seharusnya dilakukan dengan penuh keikhlasan?
Baca juga; beramal takut riya atau tinggalkan aja sekalian
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab Mafatihul Ghaib, seseorang yang mampu berhaji dengan kendaraan tetapi memilih berjalan kaki tanpa alasan syar’i tidak memiliki landasan yang kuat dalam syariat.
Sementara itu, Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa:
Jika seseorang mampu berjalan kaki dan memiliki bekal yang cukup, maka hajinya sah dan bisa bernilai ibadah lebih.
Namun, jika seseorang berhaji dengan cara meminta-minta atau bergantung pada belas kasihan orang lain, maka hal tersebut dimakruhkan.
Dari pandangan ulama ini, terlihat bahwa haji jalan kaki bukanlah sesuatu yang terlarang, tetapi juga bukan ibadah yang dianjurkan jika dilakukan tanpa alasan yang jelas.
Baca juga: Kisah heroik Ibnu Hajar menimba emas dari sumur zamzam
Jika perjalanan tersebut hanya dilakukan untuk mencari perhatian atau mengundang simpati, maka esensinya justru melenceng dari tujuan utama ibadah haji.
Kesimpulan
Haji adalah kewajiban bagi umat Islam yang mampu, bukan ajang pembuktian diri atau sarana mencari sensasi.
Jika seseorang memiliki kemampuan finansial dan fisik, maka sebaiknya ia menggunakan fasilitas yang ada agar ibadahnya lebih khusyuk dan aman.
Fenomena haji jalan kaki seharusnya tidak dijadikan sebagai ukuran ketakwaan seseorang.
Ibadah bukan tentang seberapa ekstrem perjalanan yang ditempuh, tetapi tentang bagaimana menjalankannya sesuai dengan tuntunan syariat.
Alih-alih mengagumi atau mendukung aksi yang berisiko ini, umat Islam seharusnya lebih fokus pada esensi ibadah haji yang sejati yaitu memenuhi panggilan Allah dengan keikhlasan, kesiapan, dan ketaatan kepada syariat-Nya.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar