Beramal Takut Riya, Atau Tinggalkan Saja Sekalian |
Perasaan yang sering menghantui kita ketika ingin beramal adalah riya. Seolah-olah riya sudah menjadi darah daging dalam setiap amalan kebaikan yang dilakukan. Karena syaitan selalu gigih dalam menggoda manusia.
Anehnya, syaitan tidak melulu menggoda manusia dengan hal yang berseberangan dengan syariat secara kasat mata.
Dan inilah trik ampuh mereka dalam menuntaskan misi mempengaruhi manusia
yaitu menyisipkan rasa riya pada amalannya. Baik ketika amal itu akan
dilakukan, pertengahan maupun setelah tuntas.
Lantas apa yang dimaksud dengan riya?
Riya adalah melakukan suatu hal bukan murni karena Allah SWT. Akan tetapi, mengerjakan sesuatu karena ada perasaan untuk dilihat dan mendapat pujian dari manusia.
Sifat riya ini bukanlah perkara
yang sepele. Karena berimplikasi kepada berpengaruhnya kualitas dan nilai suatu ibadah. Baca juga riya' dapat membuka aib seseorang.
Dilansir dari kitab al-Arba'in Fi Ushuliddin karangan Imam al-Ghazali beliau menjelaskan esensi dari riya adalah mencari kedudukan di dalam hati manusia dengan ibadah yang dilakukan ataupun amalan kebaikan.
Riya ini bisa muncul dari berbagai hal dan kondisi seseorang. Baik itu riya yang ditonjolkan melalui fisik, perkataan, pakaian, ibadah dan lain-lain.
Seberapa Parahkah Riya?
Riya termasuk penyakit yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW. Karena penyakit ini menggerogoti ibadah seseorang.
Hal ini tergambar dengan jelas dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad yang berbunyi: Rasulullah SAW bersabda;
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil
yaitu riya.” (H.R. Ahmad).
Dikutip dari kitab al-Mawa'idh al-'Ushfuriyyah karangan Syeikh Muhammad bin Abu Bakar tertera hadis Rasulullah SAW yang bersabda:
“Tidak ada
bagian sedikit pun bagi mereka yang suka riya dari amal perbuatan mereka
kecuali kerugian, penyesalan dan siksaan.”
Berdasarkan dari referensi di atas juga terdapat sebuah hadis yang menerangkan masalah riya yang diriwayatkan daripada Anas Bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila hari
kiamat telah tiba, maka ada penyeru yang menyeru. Dimanakah orang-orang riya
dan dimanakah orang-orang yang ikhlas? Berdirilah kalian semua dan tunjukkanlah
amal perbuatan kalian dan ambilkan pahala balasan dari tuan kalian.”
Dari hadis di atas Allah menegaskan bahwa kepada siapa kita beramal maka kepada orang tersebutlah kita meminta balasannya.
Maka alangkah sayang kalau amalan yang kita kerjakan hanya untuk mencari muka manusia, pujian dan kehormatan yang terbatas.
Jangankan memberi balasan kepada kita, status dirinya pun belum
jelas di mana tempat persinggahan terakhirnya. Lantas bagaimana bisa memberi
manfaat kepada orang lain.
Kita menyadari riya adalah penyakit akut yang seolah-olah telah mendarah daging di dalam setiap amalan kita. Apakah kita meninggalkan amalan tersebut karena hasilnya juga akan sama?
Kalau kita kerjakan suatu amalan dibarengi dengan sifat riya maka otomatis amalan kita tersebut akan tidak bernilai ibadah.
Sedangkan kalau kita tidak mengerjakannya maka kita tidak membuang energi untuk hal yang hasilnya akan sia-sia jua. Bagaimana menyikapi hal ini?
Di dalam kitab Nashaihul 'Ibad karangan Imam Muhammad Nawawi al-Jawi, beliau menukil pendapat Imam Syafii yang menjadi solusi terhadap persoalan besar di atas.
Imam Syafii menyadari bahwa hal ini pasti akan dipersoalkan
suatu hari nanti sehingga beliau memperjelas duduk perkaranya. Dengan tegas beliau
mengusut benang merah ini dengan berkata;
“Termasuk sebagian daripada tipu daya syaitan adalah meninggalkan suatu amalan karena takut diklaim oleh manusia bahwa dia beramal dengan riya.
Karena membersihkan amalan dari campur tangan dan tipu daya syaitan secara menyeluruh termasuk uzur yang umum.
Maka jikalau kita berhenti beribadah karena harus dilakukan dengan secara sempurna niscaya sungguh menjadi sulit untuk melakukan ibadah apa saja. Implikasinya akan meninggalkan ibadah tersebut.
Ketika ini yang terealisasikan maka itulah sebenarnya tujuan utama daripada maksud syaitan membuat makar tipu daya.
Berpijak dari alasan ini ada sebagian ulama yang berkata : berjalanlah kalian kepada Allah dalam keadaan pincang dan perasaan yang hancur.” Baca Juga biografi singkat Imam Syafi'i.
Alhasil, ketika kita beramal takut dihinggapi oleh sifat riya, lantas kita meninggalkan amalan tersebut, maka secara tidak langsung kita memuluskan hasrat tipu daya syaitan itu sendiri.
Oleh karena itu, sikap yang harus kita ambil
adalah lakukanlah amalan tersebut meskipun masih mengandung kecacatan. Karena Allah
menuntut kita beribadah dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang
kita miliki.
Ketika kita telah mengetahui hakikat daripada riya dan banyaknya kegiatan kita yang berhubungan dengan sifat riya, maka kita butuh usaha yang keras untuk mengobati penyakit akut riya ini.
Imam al- Ghazali memberi obat penawar untuk menghindari daripada terjangkiti penyakit riya.
Di dalam kitab karangannya al-Arba'in Fi Ushuliddin beliau
menerangkan bahwa adapun cara mengatasinya adalah dengan mengetahui sebab-sebab
yang dapat menimbulkan riya dalam suatu amalan yaitu tergiur dengan pujian,
takut dengan celaan dan rakus.
Dengan mengetahui biangkerok permasalahan dan gejala tumbuhnya riya maka kita dapat mengantisipasi sebab-sebab tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan langkah yang tepat serta konsistensi terhadap hal tersebut.
Yaitu senantiasa
beribadah dan menepis setiap goresan riya yang terlintas di hati, serta menancapkan tombak keikhlasan
secara perlahan-lahan dalam setiap amal ibadah kita.
Semoga Allah mempermudah segala urusan kita dan
diberi kesabaran. Konsisten dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Amin ya
rabbal alamin.
Wallahu musta’an...
8 komentar
Sangat bermanfaat kepoin hikmah selalu😉😉
Syukran atas support nya