![]() |
Peta kekhalifahan muslim pada masa lalu. Pentingnya mengenal konsep Imamah/Khalifah baik dari segi hukum, pengangkatan, syarat, dan ketentuan memilih |
P ada awal-awal
Islam dikenal dengan istilah khalifah atau imamah. Sistem pemerintahan seperti
ini berjalan dalam jangka waktu yang lama dalam jantung kekuasaan umat Islam.
Bagaimanakah sebenarnya
konsep imamah atau khalifah? Apakah kewajiban pengangkatannya secara syariat
atau logika? Bagaimana syarat dan ketentuan pengangkatannya?
Pengertian Imamah
Imamah adalah posisi yang ditunjukkan untuk mengganti kenabian dalam menjaga agama dan urusan dunia.
Mengangkat seorang imam atau pemimpin dalam masyarakat hukumnya wajib
dan sudah menjadi Ijma’ (konsensus) ulama. Baca juga: Nabi Musa menangis di hadapan Rasulullah, ada apa?
Kata Imamah dan Khalifah sebenarnya istilah yang sinonim. Pemakaian kata khalifah lebih dulu kepada para sahabat yang memimpin umat setelah Nabi Muhammad SAW wafat seperti khalifah yang empat.
Sedangkan kata imamah lebih identik istilah pemakaian oleh kaum Syiah. Baca juga: Agama samawi atau syariat samawi, mana yang tepat?
Apakah Imamah/Khalifah Wajib Secara Syariat atau Logika?
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai pengangkatan khalifah, apakah suatu kewajiban dalam syariat atau secara logika.
Ada satu kelompok yang mengatakan bahwa khalifah itu wajib secara logika. Baca juga: Idealkah ulama berpolitik?
Hal ini dilatarbelakangi dengan melihat sisi tabiat atau naluri orang-orang berakal yang tunduk bagi orang yang mampu melindungi mereka dari kezaliman dan melerai pertikaian jika terjadi di antara mereka.
Jikalau bukan dengan karena adanya
pemimpin maka mereka akan kacau balau
dan terabaikan.
Abdul Razaq al-Sanhuri
berkata: menurut Ahlussunnah dan muktazilah, berpendapat bahwa kekhalifahan
atau kepemimpinan adalah wajib secara syariat.
Meskipun sama-sama mengatakan wajib, namun dalam hal ini ahlussunnah dan muktazilah memiliki prinsip dasar yang berbeda.
Ahlussunnah mengatakan wajib karena berasaskan pada konsensus ulama alias ijma’. Baca juga: Perbedaan adil antara manusia dan Allah
Sedangkan kaum
muktazilah kewajiban ini dilandasi oleh logika dan nalar. Bahkan ada satu
kelompok dari muktazilah yang menganggap kewajiban khalifah ini wajib secara
bersamaan pada syara’ dan akal.
Di samping itu, ada kelompok lain yang mengatakan bahwa wajib khalifah ini dengan sebab syara’ bukan karena akal.
Alasannya adalah imam memiliki tugas dalam mengatur seluruh
hal yang berkaitan dengan syariat apalagi yang berkaitan dengan sesuatu yang
butuh kepada nalar tanpa adanya datang dalam konsep ta’abbudi.
Di sisi lain,
meskipun imamah ini sebagai jembatan dalam melestarikan syariat baik yang
berhubungan dengan agama maupun keputusan yang lahir dari penalaran, syariat
juga dengan gamblang menjelaskan untuk menyerahkan berbagai urusan kepada para
pemimpin.
Dalam surat an-Nisa’ ayat 59 Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ
وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin) di antara
kamu”.
Dalam hadis, Rasulullah SAW juga pernah menyinggung mengenai hal ini. Rasulullah SAW bersabda:
وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي
صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ:سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ،
وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ
مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا
فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari Abu Hurairah,
sesungguhnya nabi bersabda; Selagi kamu temui nanti ketika aku sudah
tiada akan pemimpin kalian, ada pemimpin yang baik akan memimpin dengan
kebaikannya dan pemimpin yang fajir (zalim) akan memimpin kalian dengan
kefajirannya”. (HR Dar al-Quthni).
Hukum Pengangkatan Khalifah
Apabila khalifah
atau imamah ditetapkan sebagai kewajiban, maka wajib di sini adalah wajib kifayah
sama halnya dengan kewajiban berjihad dan menuntut ilmu.
Jika seandainya telah ada orang yang menempati posisi imamah maka gugurlah kewajiban kifayahnya. Baca juga: Hikmah tersembunyi Rasulullah tumbuh yatim
Namun, jika tidak ada seseorang pun yang duduk pada posisi kepemimpinan atau imamah maka dalam hal ini manusia (masyarakat) terbagi menjadi dua kelompok yaitu:
Pertama, Ahli ikhtiyar yaitu orang-orang yang terpilih sehingga mereka memutuskan dengan memilih siapa yang akan menjadi pemimpin bagi umat.
Kedua, Ahli imamah yaitu para pemimpin sehingga melantik salah satu di antara mereka.
Sedangkan selain dari dua kelompok di atas
tidak berdosa dengan sebab lambannya dalam memilih dan melantik imamah.
Apabila dua kelompok ini berbeda bangsa dalam
wilayah imamahnya maka wajib mempertimbangkan syarat-syarat setiap dari dua
kelompok di atas tersebut.
Adapun syarat-syarat yang menjadi pertimbangan bagi ahli ikhtiyar ada tiga yaitu:
Pertama, Keadilan yang meliputi seluruh syarat-syaratnya.
Kedua, Intelektualitas yang menjadi sandaran untuk mengetahui orang-orang yang berhak menduduki posisi imamah berdasarkan syarat-syarat yang muktabar.
Ketiga, Analisa dan hikmah yang mampu mengantarkan kepada pemilihan imam yang terbaik dan lebih mengetahui dengan kemaslahatan umat dan kaum.
Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi Oleh Khalifah
Adapun syarat-syarat muktabar yang harus dipenuhi oleh ahli imamah ada tujuh yaitu:
Pertama, Keadilan yang meliputi seluruh syarat-syaratnya.
Kedua, Ilmu yang dibutuhkan untuk berijtihad pada persoalan hukum dan wawasan umum lainnya.
Ketiga, Keutuhan (kesehatan) panca indra yang lima supaya mudah dalam berinteraksi sesuai dengan fungsi panca indra.
Keempat, Sehat anggota badan dari suatu kekurangan yang dapat mencegah dan menghalangi pergerakan yang sempurna dan butuh gerak sigap.
Kelima, Analisa atau pandangan yang mengarah kepada menyiasati dan mengelola kemaslahatan.
Keenam, Memiliki keberanian dan kesungguhan yang mengarah kepada perlindungan negara serta dalam menghadapi musuh.
Ketujuh, Garis keturunan yaitu dari nasab Quraisy sesuai dengan adanya nash dalam hal ini dan sesuai konsensus ulama.
Dengan Apa Imamah Bisa Diangkat dan Dilantik?
Imamah bisa dilaksanakan pengangkatan (sah jadi imamah) dengan dua cara yaitu:
Pertama, Berdasarkan pilihan ahlu al-‘Iqdi wa al-Hilli
Kedua, Melalui janji atau penunjukan oleh imam sebelumnya
Ulama terjadi silang pendapat mengenai pengangkatan imam berdasarkan pilihan ahlu al-‘Iqdi wa al-Hilli.
Satu kelompok ulama
mengatakan bahwa tidak akan sah pengangkatan imam kecuali oleh mayoritas ahlu
al-‘Iqdi wa al-Hilli dari seluruh negeri supaya semua orang ridha dan
menerimanya.
Kelompok ulama lain mengatakan bahwa baru sah
pengangkatan imamah harus ada 5 orang yang sepakat untuk mengangkat
kepemimpinannya atau salah satu dari 5 orang tersebut namun 4 lainnya setuju
dan ridha dengan pilihan salah satunya.
Ulama Kufah mengatakan bahwa sahnya
pengangkatan imam oleh ahlu al-‘Iqdi wa al-Hilli harus ada tiga orang.
Satu yang melantik sedangkan dua lainnya menjadi saksi seperti halnya pada saat
akad nikah.
Ada juga kelompok lain mengatakan sah
pengangkatan imam dengan satu orang saja. Hal ini dilandasi oleh kejadian
pembaiatan Ibnu Abbas oleh Saidina Ali bin Abi Thalib.
Apakah Wajib Memilih yang Terbaik?
Apabila ahlu al-‘Iqdi wa al-Hilli sudah sepakat untuk memilih imamah maka
hendaklah memeriksa kondisi ahwal para ahli imamah yang memenuhi syarat-syaratnya
imamah.
Maka antara para imamah yang dipilih tadi
hendaklah dibaiat untuk diangkat menjadi pemimpin yang memiliki keutamaan dan
yang paling lengkap persyaratannya.
Di samping itu, juga melihat ahli imamah yang mudah
ditaati atau cepat patuh masyarakat kepadanya dan mereka tidak menarik diri
dari membaiatnya langsung.
Adapun jika sudah ditentukan imamah berdasarkan pilihan jamaah (masyarakat) yang tertuju kepada seseorang, maka orang tersebut yang diangkat menjadi pemimpin.
Maka wajib kepada seluruh masyarakat untuk
membaiatnya dan patuh dengannya. Baca juga: Kedudukan sanksi dalam syariat
Jika seandainya orang yang ditunjuk oleh
masyarakat tadi tidak mau memenuhi amanah yang diembankan kepadanya tersebut maka
tidak boleh dipaksakan untuk menjadi pemimpin.
Karena imamah adalah akad yang dilandasi oleh
keridhaan dan sifatnya pilihan sehingga tidak boleh adanya pemaksaan.
Apabila orang tersebut tidak berkenan maka
dialihkan kepada orang lain yang lebih berhak mengampunya.
Jika dua orang calon imamah sama dalam hal memenuhi kriteria dan syarat imamah maka yang dipilih adalah yang paling tua di antara keduanya meskipun pemilihan yang lebih tua dan sempurna balig adalah bukanlah suatu syarat.
Sehingga orang yang lebih muda pun boleh dipilih juga menjadi pemimpin
umat.
Adapun jika seandainya salah satu di antara
keduanya lebih dari segi keilmuan sedangkan yang satunya lagi lebih dari sisi
keberanian maka dipertimbangkan sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat
itu.
Jika sedang dalam kondisi dibutuhkan keberanian
dalam menghadapi berbagai konflik dan pemberontakan, maka orang yang paling
berani lebih diprioritaskan.
Namun jika dalam kondisi untuk memerangi
kesesatan dan menyadarkan umat dari propaganda bidah dan lainnya, maka orang
yang berilmu lebih diutamakan dan berhak.
Jika seandainya dua orang tersebut memiliki
kompetensi yang sama sehingga tidak ada yang lebih diunggulkan maka bisa
mengambil opsi dengan saling memberi argumen atau debat ilmiah.
Para fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat mengenai dua orang yang memiliki kapasitas yang sama.
Satu kelompok mengatakan
bahwa solusinya dengan mengundi serta yang keluar nama dari undian tersebut
yang dilantik menjadi imam.
Ada juga fuqaha yang lain mengatakan
dengan memilih siapa saja tanpa perlu diundi.
Seiring dengan telah adanya putusan siapa yang
menjadi imam, terdapatlah orang yang lebih baik dibandingkan dengan imam yang
telah diangkat tersebut maka status imamah pada imam tersebut tidak bisa
dicopot dan dipecat dengan sebab adanya orang lain yang lebih baik dari dia.
Jika seandainya ada orang yang lebih utama
untuk diangkat menjadi imam namun mengangkat orang lain yang statusnya berada
di bawah orang pertama tadi dalam kelayakannya, maka perlu dipertimbangkan
kembali untuk keabsahan pengangkatannya.
Seandainya orang yang paling layak tadi ada
suatu keuzuran seperti tidak berada dalam kawasan, sakit, atau orang yang
kurang layak tadi lebih dipatuhi oleh masyarakat maka pengangkatannya sebagai
imam itu sah.
Mengenai persoalan diangkatnya pemimpin orang
yang kurang layak sedangkan yang lebih layak ada serta tanpa adanya uzur, ulama
berbeda pendapat.
Satu kelompok ulama di antaranya yaitu
al-Jahidz mengatakan bahwa pembaiatan tersebut tidak sah.
Alasannya yaitu pada sesuatu yang sifatnya
pilihan mana yang lebih baik di antara dua hal maka tidak boleh berpaling
kepada yang tidak lebih baik seperti pada masalah ijtihad hukum syariat.
Mayoritas ulama fikih dan ulama kalam
mengatakan boleh mengangkatnya menjadi imam dan sah pelantikannya.
Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai tetapnya status imamah dan sah pengangkatannya dengan tanpa adanya pelantikan dan pilihan.
Sebagian dari ulama fikih dari Irak mengatakan sah imamah dan
wilayahnya.
Menurut mayoritas ulama fikih dan kalam mengatakan bahwa imamahnya tidak sah kecuali dengan adanya kerelaan dan pilihan.
Akan tetapi ahli ikhtiyar mesti mengangkatkan orang tersebut sebagai
imamah.
Maka jika semua setuju niscaya selesai sudah.
Hal ini karena imamah termasuk akad yang mana tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya akad.
Wallahu a’lam bisshawab
(Disarikan dari Kitab Ahkam al-Sulthaniyyah)
Posting Komentar