![]() |
Idealkah Ulama Berpolitik? Meluruskan Cacat Pikir Tentang Politik |
Akhir-akhir ini pembicaraan seputar politik mulai mencuat ke permukaan dan memanas. Pengiringan opini mulai dipancarkan. Kontestasi politik semakin terasa keruh imbas propagandanya.
Kesan menyudutkan suatu pihak dan golongan mulai tercium. Doktrin sesat dan tak bertanggung jawab mulai menyebar bak virus. Imbasnya adalah timbulnya alergi dan latah dengan apa saja yang berbau politik.
Ironisnya, penyematan gelar kehormatan pun ikut tercoreng di mata orang-orang yang alergi dengan perkembangan isu tersebut. Baca juga: Nabi berpesan berhati-hatilah dengan iparmu seperti menghindari kematian
Maka dari itu, pentingnya mengetahui apa itu politik agar kita tidak termakan doktrin sesat tentang politik dan orang yang terjun dalam dunia tersebut. Dari situ kita bisa memahami idealkah ulama berpolitik.
Apa Itu Politik?
Dilansir dari laman web wikipedia, Politik adalah proses pembentukan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini adalah upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat Jabatan politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Pengertian di atas dapat kita pahami secara jelas bahwa politikus memiliki peran penting dalam memutuskan suatu perkara. Baca juga: Kisah heroik Ibnu Hajar menimba emas dari sumur Zam-Zam
Pengaruh dan efek dari keputusan tersebut akan menjadi titik persetujuan yang dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat.
Sakralkah jabatan politik itu? Apakah Anda yakin dengan hasil pilihan dari praktik kotor politik? Bukankah mereka memberi sebanyak-banyaknya agar mereka mampu merenggut seluruhnya dan Anda hanya bisa diam?
Ketika itu terjadi, apakah demo dan protes Anda didengarkan? Sudah sadarkah kita dengan praktik politik saat ini? Semoga kita terjaga dan terbangun dari hipnotis sesat pemburu kekuasaan sementara.
Apakah Politik Itu Negatif?
Sejak zaman dulu masyarakat awam termakan dengan opini sesat tentang politik. Berbicara politik langsung tergambar dalam pikirannya adalah sesuatu yang berbau negatif.
Padahal, politik sendiri maknanya sangat bagus sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Lantas siapakah yang menodai makna politik? Apakah faktor terbesarnya karena pengaruh konflik kepentingan?
Semua kita tahu bahwa hanya segelintir dari oknum yang berpolitik melakukan hal demikian. Faktanya, bukan segelintir orang saja sehingga bisa begitu menyengat konotasi negatif terhadap politik.
Maka dari itu, politik pada dasarnya bersih dan boleh siapa saja berkecimpung di dalamnya. Namun, ketika ada pengiringan opini tidak sehat maka tugas kita untuk mensterilkan makna politik tanpa menyudutkan kelompok atau golongan tertentu yang ikut terjun berkiprah memperbaiki citra politik dan bangsa.
Idealkah Ulama Berpolitik?
Pada dasarnya, itu bukanlah pertanyaan yang tepat untuk dipertanyakan. Mengapa demikian? Secara tidak langsung terpahami bahwa berpolitik itu bukan ranahnya ulama.
Mengingat kondisi dan fakta lapangan saat ini, maka sungguh sangat tidak baik ulama berkecimpung dalam ranah tersebut. Kesimpulan tersebut yang kesannya terlalu gegabah terlebih dahulu mendominasi pikiran masyarakat terhadap politik.
Cacat berpikir seperti inilah yang patut diluruskan dan disosialisasikan kepada masyarakat umum. Bagian tugas terbesar ulama adalah mendidik umat. Mengarahkan kepada yang benar sesuai dengan konsep syariat.
Ragukah kita dengan para ulama? Kenapa kepercayaan kita mendadak turun drastis ketika mereka berjas politik? Kenapa kita begitu yakin terhadap tidak berkualitasnya para ulama dalam ranah tersebut?
Ketika ulama terjun dalam dunia politik apakah mereka juga melakukan praktik kotor politik? Apakah dengan sebab terjun dalam dunia politik derajat keulamaannya akan tercoreng?
Bukankah keputusan mereka terhadap suatu hal lebih bermanfaat untuk seluruh masyarakat dengan peraturan khusus di bawah wewenangnya? Coba perhatikan mana lebih efektif berdakwah di atas mimbar bandingkan dengan satu tanda tangan seruan untuk seluruh masyarakat!
Bukankah mimbar terbatas pendengarnya dibandingkan tanda tangan yang menjadi peraturan baku untuk seluruhnya? Baca juga: Misteri umur 40 tahun yang jarang diketahui
Anehnya, kepercayaan ulama begitu mudah tergerus dan terkikis ketika mereka terjun dalam dunia politik padahal sebelumnya mereka tunduk patuh dengan titahnya.
Apakah karena kualitasnya dalam politik masih dipertanyakan sehingga muncul benih-benih keraguan? Bukankah orang berilmu akan berpikir positif dan sadar dengan kualitas diri. Apakah berani berpolitik hanya mempertimbangkan kepentingan pribadi? Bukankah tidak berurusan dengan pemerintahan lebih aman dan santai hidup dengan mendidik generasi?
Kalau ada kepentingan pribadi atau landasan konflik kepentingan, tentu lebih banyak praktik politik tidak sehat yang terjadi. Meskipun bersih dari itu semua, tetapi ada tuntutan moral dan jasa lainnya yang akan dibalas bahkan harus ketika sudah mencapai puncak target.
Di samping itu, bukankah sudah menjadi tradisi para calon yang akan terjun dalam jabatan strategis dalam pemerintahan menyambangi para ulama meminta izin restu. Jangan-jangan hanya sebagai formalitas dan curi perhatian serta memanfaatkan masyarakat yang masih fanatik dengan ulama.
Islam Berdiri dengan Sistem Pemerintahan
Kita tidak bisa membantah dengan adanya sistem pemerintahan dalam dunia Islam. Sejak masa Rasulullah SAW sudah ada praktik politik.
Coba perhatikan siapa yang menjadi pejabat saat itu. Apakah mereka orang kaleng-kaleng? Bukankah mereka orang yang taat dan patuh? Bukankah mereka orang yang benar-benar takut kepada Allah?
Lihatlah bagaimana puncak keemasan Islam saat itu. Bagaimana mereka mampu menstabilkan hak seluruh manusia. Baca juga: Kabar gembira spesial bagi pemimpin
Bukankah kepentingan sosial yang menjadi prioritas mereka? Pasti kita merindukan kepemimpinan seperti Saidina Abu Bakar. Ketegasan seperti Saidina Umar dan yang lain-lainnya.
Oleh karena itu, cacat pikir tentang politik ini harus diobati agar tidak menjadi pemahaman sesat permanen dan menyebar luas. Politik dan ulama tidaklah berseberangan. Bahkan ketika mereka memimpin hati kita semakin tenang.
Landasan berpikir mereka sesuai dengan konsep yang diajarkan oleh Rasulullah SAW bukan karena bekingan dan pengaruh orang dalam dan luar lainnya.
Banyak kelompok yang dibentuk oleh ulama bukan untuk saling dibenturkan. Tetapi itu merupakan wadah terbesar untuk bisa bersanding.
Tidaklah orang yang suka membenturkan dan mengadu domba para ulama, melainkan orang yang tidak menginginkan dan setuju dengan program sesuai konsep agama.
Semakin banyak kelompok yang digagas oleh para ulama maka semakin besar untuk menenggelamkan praktik kotor dalam dunia politik. Baca juga: jangan tertipu dengan 8 hal yang menarik tapi palsu
Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk tidak tergoda dengan hal-hal yang berbau batil. Semoga kita juga diberikan kekuatan untuk melenyapkan kebatilan serta menebarkan buih-buih kebaikan. Amin amin amin.
Posting Komentar