
Ilustrasi kemajuan Dayah Sebagai Continuous Improvement dalam menghadapi dinamika digital

Dayah Sebagai Continuous Improvement, Kenapa dan Mengapa? (Surat Cinta untuk Pemerintah Aceh)
Oleh: Tgk. Muhammad Khalidin
A khir-akhir ini kalangan Dayah mendapatkan
sorotan khusus dalam masyarakat Aceh. Keterlibatan aktif beberapa pihak dalam
ranah sensitif seperti politik mampu menimbulkan atensi yang serius.
Di balik itu semua, tidak sedikit yang
mempertanyakan kualitas dan keahlian dalam bidang yang sedang digeluti dan
diemban ke depannya.
Optimisme masyarakat juga tak kalah banyak meskipun mereka akan membisu dan membeku ketika keuntungan mendadak yang membuat mata terbelalak.
Hal ini tidak dipersoalkan secara nyata, tetapi dikesampingkan karena berdalih mempertahankan kesucian. Baca juga: 3 Kelompok hakim tapi hanya satu masuk surga
Secara rasional lucu
namun, fakta lugu ini benar adanya. Kenapa harus kalangan Dayah dan mengapa
mesti mereka?
Eksistensi Dayah di Aceh sudah tercatat dalam catatan sejarah. Pada zaman pra-kolonial di Aceh, Dayah merupakan institusi pendidikan resmi Kesultanan Aceh Darussalam.
Dari rahim Dayah inilah
masyarakat Aceh lahir dan tumbuh dewasa sehingga mengakar kuat keislamannya.
Dayah menjadi markaz besar dalam menyusun
strategi peperangan melawan penjajah. Ulama menjadi panglima perang dan
memurnikan hati para pasukan untuk berjuang meraih kemenangan atau syahid demi
terbebasnya dari jajahan kafir dan pendudukan.
Di samping itu, Dayah juga melahirkan sosok yang menjadi teladan dalam bermasyarakat yaitu para ulama. Baca juga: 6 Orang masuk neraka dan salah satunya ulama, mengapa?
Mereka yang
mendidik umat bagaimana cara berinteraksi sosial sesuai dengan konsep syariat
dan maslahat masyarakat.
Para ulama juga ikut andil dalam
pemerintahan karena mendapatkan peran krusial dalam mengarahkan politik umat
yang sesuai dengan syariat serta mempertimbangkan kemaslahatan, kemakmuran, dan
kesejahteraan masyarakat.
Keterlibatan dalam seluruh lini kehidupan
masyarakat menjadikan Dayah ini sebagai continuous improvement yang efektif.
Jargon yang selalu digemborkan oleh setiap
politisi Aceh untuk memakmurkan Aceh adalah menyandingkan Ulama dan Umara.
Setiap lapisan masyarakat juga sadar hal
ini. Namun, seberapa besar porsi keseimbangan kebijakan demi umat dengan
kepentingan kelompok pribadi tertentu.
Fakta situasi dan kondisi di atas yang
berlangsung sekian lama hingga saat ini tidak terbantahkan. Silih berganti
pemimpin di Aceh tidak mampu memberi warna yang signifikan dalam kehidupan
masyarakatnya.
Khususnya dalam bidang pendidikan. Alokasi dana yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak mampu mengantarkan Aceh keluar dari jeratan kemiskinan.
Padahal Aceh merupakan wilayah istimewa yang mendapatkan otonomi khusus. Baca juga: perbedaan adil versi Allah dan manusia
Berkaca dari seluruh aspek yang ada baik pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan lainnya, apa yang paling menonjol di Aceh?
Serambi Mekkah adalah sebutan populer membanggakan yang tersemat indah dan
terlintas ketika nama Aceh disebutkan. Hanya itu yang masih eksis hingga saat
ini.
Mengapa Dayah Aceh tidak bisa menjadi
simbol pendidikan yang high value? Bukankah itu rahim yang melahirkan
keharuman nama para pendahulu kita? Apa kontribusi nyata pemerintah dalam hal
ini?
Dayah Sebagai Continuous Improvement
Keterlibatan kalangan Dayah dalam seluruh lini adalah harapan nyata yang tidak hanya menjadi tonggak rujukan agama saja.
Wujud dari kontinuitas ini agar seluruh elemen masyarakat tidak alergi dengan
berkiprah dan mengabdi di luar zonasi yang terpatri baku di kacamata masyarakat
yaitu sebagai tokoh agama dan tenaga pengajar di lembaga pendidikan.
Peran warga Dayah diharapkan mampu ikut mewarnai segenap lini kehidupan masyarakat. Hal yang urgent adalah bagaimana mengentaskan pertanyaan tentang keraguan terhadap kualitas dan kapabilitas orang Dayah.
Di sinilah titik temu penting persoalan fakta di atas dan menjadikan Dayah sebagai continuous improvement. Baca juga: Kabar gembira khusus bagi pemerintah dan pemimpin
Continuous improvement secara harfiah adalah peningkatan
berkelanjutan. Continuous Improvement merupakan upaya untuk memperbaiki
sekaligus mengembangkan suatu program yang berkelanjutan agar lebih praktis dan
fleksibel yang dilakukan secara terus menerus.
Istilah continuous improvement pada
dasarnya dikenal dalam dunia bisnis sebagai sebuah konsep dan strategi untuk
senantiasa menjaga ketahanan dalam pesatnya persaingan pasar.
Meminjam istilah tersebut, maka Dayah ini harus bisa menjadi wadah yang efektif dalam menjalankan konsep continuous improvement dalam segala lininya.
Artinya, Dayah ini harus mampu menjadi
wadah perbaikan berkelanjutan yang
efisien, efektif, fleksibel, dan mencetak kader umat yang tidak terbatas pada orientasi
yang khusus.
Mengapa demikian? Pada dasarnya, setiap insan Aceh sudah mendapatkan porsi dasar agama. Keberadaan Meunasah-meunasah adalah saksi terhadap pedulinya pendidikan agama di Aceh.
Kita mengakui bahwa
Aceh memiliki tradisi kental dalam menanamkan nilai Islam kepada setiap
generasi seperti banyaknya balai pengajian, beut ba’da magreb, dan
lain-lainnya.
Tradisi positif tersebut saat ini masih
eksis dan semakin menunjukkan kemajuan bahkan dalam raung lingkup yang lebih
luas.
Namun yang sangat disayangkan adalah dalam konteks tertentu kalangan Dayah ini dimarjinalkan dengan beragam dalih.
Hal ini
tidak sepenuhnya bisa disalahkan sebab kontribusi yang diberikan mungkin tidak
sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan.
Bahkan jauh sebelum itu sudah memvonis
ketidaklayakan terjun dalam bidang yang bukan keahliannya. Di sinilah konsep continuous
improvement perlu diterapkan agar kalangan Dayah dapat porsi yang sama
dengan elemen masyarakat lainnya.
Merujuk pada catatan sejarah yang
melahirkan banyak tokoh muslim ahli dalam berbagai bidang maka sangat
memungkinkan kalangan santri dan Dayah unjuk gigi dengan kapasitas yang
mumpuni.
Banyak tokoh agama yang tertulis dengan tinta emas sejarah seperti Ibnu Sina yang merupakan ilmuan muslim yang paling berpengaruh dan terkemuka dalam bidang kedokteran.
Al-Farabi, ilmuan muslim yang memberi kontribusi besar dalam bidang filsafat, politik, dan ilmu sosial. Baca juga: Adakah cinta yang terlarang?
Tokoh lainnya yaitu seperti Ibn al-Haytam
dijuluki sebagai Bapak Optik, Ibn Rusyd merupakan tokoh teologi, Ibn Khaldun
seorang sejarawan dan ahli sosiologi, dan banyak tokoh-tokoh lainnya yang
memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Islam dan non-Islam.
Berkaca pada catatan sejarah tersebut, maka kalangan Dayah sangat besar potensial menjadi ahli dalam beragam bidang yang ada.
Sebab, ilmu agama adalah dasar utama yang sudah menjadi konsumsi wajib
bagi setiap insan Aceh apalagi kalangan Dayah itu sendiri.
Di sinilah continuous improvement memiliki peran penting untuk menghasilkan output yang berkualitas. Oleh sebab itu, seberapa besar keterlibatan pemerintah Aceh dalam mengutamakan pendidikan Dayah.
Bahkan Aceh memiliki lembaga istimewa yang khusus membidangi kedayahan
yaitu Dinas Pendidikan dayah. Baca juga: Kedudukan sanksi dalam pandangan syariat
Fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa
tidak semua santri dan kalangan Dayah akan menjadi ulama. Sehingga ini adalah
celah terbaik untuk menumbuhkembangkan keilmuan santri dalam bidang yang lain.
Kenapa dan Mengapa Dayah
Menjawab pertanyaan di atas cukup dengan
mempertanyakan seberapa besar investasi pendidikan khususnya Dayah di Aceh. Berapa
banyak program berkelanjutan dalam mencerdaskan generasi muda Aceh.
Pendidikan harus menjadi tonggak utama
perhatian pemerintah. Semakin cerdas anak bangsa maka semakin besar
kontribusinya dalam memajukan negaranya.
Pemerintah Indonesia melalui Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mengerahkan segenap usahanya untuk menjamin
keberlangsungan pendanaan program pendidikan.
Beasiswa ini cukup menarik minat para
mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi. Di
samping itu, Kemenag juga ikut berinvestasi dalam dunia pendidikan pada program
beasiswa prestisius yang berkolaborasi dengan LPDP Kementerian Keuangan.
Dari sisi lembaga, Ma’had Aly adalah jawaban yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama sebagai jalur efektif untuk mampu bersanding dengan lembaga akademik lainnya.
Hal ini disebabkan Ma’had Aly adalah jenjang pendidikan tinggi bagi kalangan pesantren. Baca juga: 3 model orang menghadiri majelis ilmu
Penyetaraan pendidikan ini untuk tidak
lahirnya dikotomi yang saling memarjinalkan. Sehingga setiap orang memiliki kesempatan
yang sama sesuai dengan keinginan yang diharapkan.
Kembali lagi dengan persoalan Dayah yaitu seyogyanya pemerintah memiliki perhatian dan prioritas dalam pendidikan Dayah.
Sebab,
pemerintah Indonesia dan Kemenag sudah memberikan porsi khusus dalam bidang
pendidikan yang bisa diakses oleh seluruh anak bangsa di seluruh pelosok
wilayah.
Sedangkan pemerintah Aceh perlu memberi perhatian lebih khusus lagi untuk pendidikan Dayah agar bisa bangkit dan bersaing.
Bentuk perhatian pemerintah bisa dengan mencanangkan program beasiswa bagi santri Dayah untuk menekuni bidang tertentu.
Kouta beasiswa ini diperbesar
bagi santri yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikan sesuai dengan minat
yang mereka idamkan.
Ketika kembali ke Aceh, mereka menjadi
pakar di bidangnya dan ikut serta berkontribusi dalam membangun sumber daya
manusia dan alam. Terlibat dalam beragam instansi pemerintah dan aktivitas yang
memajukan mutu masyarakat.
Wadah ini perlu diberikan kepada para kalangan Dayah agar ketika mereka terjun dalam masyarakat memiliki kemampuan yang memadai.
Mereka tidak hanya diidentikkan dengan pengajar agama saja namun
mereka juga memiliki kecakapan dalam segala bidang.
Ketika konsep tersebut dijalankan maka akan hadir banyak kalangan Dayah yang pakar dalam bidang yang digelutinya.
Pakar politik, pakar ekonomi, pakar hukum, dan lainnya lahir dari alumni Dayah
dan ikut terlibat aktif dalam memajukan bangsa.
Ini merupakan konsep continuous improvement yang perlu kita jalankan di Dayah. Perkembangan zaman dan teknologi menuntut kita untuk selalu mampu beradaptasi agar tidak ketinggalan.
Maka sekarang banyak lahir pendidikan Dayah yang dipadukan dengan sistem modern. Baca juga: Dunia ini jamban, tamu VIP atau ekonomi Anda?
Demi kemajuan bangsa kita, khususnya Aceh
maka banyak PR bersama yang perlu dipikirkan dengan seksama. Semua kalangan
yang memiliki potensial harus diposisikan sama tanpa harus membenturkan dengan
kepentingan-kepentingan semu pribadi maupun kelompok.
Transparansi kualitas mesti dimunculkan nyata di depan publik agar persaingan sehat dan spirit intelektual dapat dinilai sendiri oleh masyarakat. Intimidasi dan praktik kotor lainnya harus bisa diminimalisirkan.
Hal itu baru terwujud ketika mampu menyadarkan
masyarakat dari hipnotis jenaka orang yang tidak mengindahkan nilai-nilai Islam
demi terwujudnya ambisi.
Dayah memiliki tanggung jawab besar
menjaga konsistensi integritasnya sebagai kiblat pendidikan. Sebagaimana halaqah-halaqah
ulama terdahulu mampu melahirkan para tokoh dan pakar maka Dayah harus mampu melahirkan
dan menunjukkan hal tersebut.
Maka dari itu butuh penguatan melalui
konsep continuous improvement dari seluruh pihak khususnya pemerintah
Aceh. ketika wujud ini nyata maka kekhawatiran terhadap problem di atas berupa
keraguan terhadap kualitas dan kapabilitas akan terjawab.
Di balik kewajibannya sebagai pendidik, mereka juga mampu berkonsolidasi dengan pihak mana pun dan dalam ranah apa pun.
Walhasil,
Umara dan Ulama berjalan seimbang dan seiringan karena berada pada derajat yang
sama (berkualitas dan kompeten) tanpa adanya keresahan dan ketidakpercayaan.
Ini merupakan surat cinta untuk pemerintah Aceh agar jargon menyandingkan ulama dan umara tidak hanya sebagai komoditas yang menggiurkan penarik minat masyarakat ketika pemilihan umum.
Namun, ini menjadi
tanggung jawab bersama dalam menyandingkan para pakar agama dalam segenap
aktivitas dan aspek kehidupan dengan seluruh pihak.
Memberdayakan Dayah sebagai continuous
improvement merupakan wujud nyata dari aksi peduli dengan Dayah. Lebih lagi
dalam peningkatan mutu dan kualitas yang tidak hanya berpaku pada sarana dan
infrastruktur semata.
Posting Komentar