![]() |
Kisah Pengkhiatan Seekor Ular dan Sabarnya Seorang Ahli Wara’ |
Oleh: Tgk. Wandi Ajiruddin
A da seorang pemuda yang dikenal dengan nama Ibnu Humair. Beliau mempunyai sebuah wirid (doa yang selalu beliau baca) dan termasuk seorang Ahli Wara'.
Pada siang hari beliau berpuasa sedangkan malamnya melaksanakan shalat Tahajud.
Beliau juga seorang yang suka berburu dan berkelana ke berbagai
penjuru.
Pada suatu hari, beliau pergi untuk berburu. Tiba-tiba datang
kepadanya seekor ular yang tergesa-gesa seperti ada orang yang mengejarnya.
Dengan raut wajah ketakutan ular itu meminta bantuan kepada dirinya.
“Wahai Muhammad bin Humair! selamatkan saya
maka Allah akan menyelamatkan Anda”. Ibnu Humair kebingungan dan
mengajukan pertanyaan kepada si ular.
“Diselamatkan dari siapa?” Tanya Beliau heran.
“Dari musuh yang telah menzalimi saya” jawab si ular.
"Di mana Dia?" Ibnu Humair bertanya lagi dengan
suara bergetar.
"Dia berada di belakang Saya" Jawab
si ular.
"Kamu itu dari umat mana?" Tanya lagi Ibnu Humair.
"Saya umat Muhammad SAW" jawab si
ular.
Ibnu Humair membuka rida'nya dan berkata kepada si ular: "Masuklah
kamu di dalamnya!". Ternyata permintaan itu ditolak oleh si ular
"Musuh saya bisa dengan mudah melihat saya" ujar ular dan beralasan enggan.
Kemudian Ibnu Humair meminta saran apa yang bisa dilakukan untuk menolong
si ular. "Apa yang bisa saya lakukan untuk bisa menyelamatkanmu?" Tanya Ibnu Humair.
"Jika kamu
ingin melakukan kebajikan, bukalah mulutmu sehingga aku bisa masuk ke dalam
perutmu" pinta si ular kepada beliau.
Ibnu Humair merasa ragu terhadap sikap keamanahan si ular. "Saya takut
kamu akan membunuhku" sanggah Ibnu Humair menolak permintaan ular.
"Tidak, Demi Allah saya
tidak akan membunuhmu. Allah sebagai saksi atas ini dan juga para malaikatnya, para Ambiya-Nya, para
Rasul-Nya, penanggung Arsy-Nya serta para penghuni langit. Dengan ini saya
bersaksi akan tidak akan membunuhmu" jawab si
ular diikuti dengan kata
sumpah untuk meyakinkan Ibnu Humair.
Kemudian Ibnu Humair membuka mulutnya. Dalam sekejap ular tersebut langsung masuk ke dalamnya dan berdiam di sana. Setelah beberapa waktu ular tersebut berada dalam
mulut Ibnu Humair, datanglah seorang pemuda bersenjata menghadang beliau sambil
menggenggam erat pedang yang ada di tangganya.
"Wahai Muhammad!" seru
pemuda itu dengan nada amarahnya.
"Apa yang engkau inginkan dariku?"
jawab Ibnu Humair dengan kelembutan.
"Apakah kamu berjumpa dengan musuhku?" tanya pemuda tersebut kepadanya.
"Siapa musuh engkau?" Ibnu
Humair balik bertanya.
"Ular" Jawab singkat pemuda tersebut.
"Saya tidak tahu" jawab Ibnu Humair
dengan berbohong.
Setelah kejadian itu, Ibnu Humair
beristigfar sebanyak seratus kali karena merasa telah berbohong.
Ibnu Humair melanjutkan perjalanannya dan
meninggalkan si pemuda yang masih gelisah karena tidak tahu arah mana dan di mana ular yang
dia kejar bersembunyi. Setelah beberapa langkah dia berjalan, keluarlah kepala
ular dari mulutnya Ibnu Humair sambil bertanya.
"Lihatlah! apakah musuhku telah
berlalu?"
Ibnu Humair melihat ke sekitarnya dan
tidak terlihat siapa pun. lalu Ibnu Humair memberi tahu ular tersebut.
"Jika kamu hendak keluar maka silakan
keluar, tidak saya lihat seorang manusia pun" pinta
Ibnu Humair kepada ular.
"Wahai Muhammad! sekarang kamu
pilih salah satu dua ini, yaitu apakah saya robek limpamu atau melubangi hatimu
dan aku akan meninggalkanmu dalam keadaan mati" ular mencoba mengancam Ibnu Humair.
"Subhanallah, mana janjimu
yang telah kamu ucapkan dan sumpah yang telah engkau lantunkan, alangkah cepatnya kamu
lupa dengan janjimu sendiri" sahut Ibnu Humair dengan nada gelisah dan kecewa karena tidak
menyangka akan terjadi hal itu.
"Wahai
Muhammad! apakah kamu telah lupa permusuhan antara aku dan bapakmu, yaitu Adam?
aku telah mengeluarkan dia dari surga. Mengapa kamu berbuat ma'ruf kepada yang
bukan ahlinya?" cibir si ular atas anggapan kecerobohan Ibnu Humair.
"Kamu hendak membunuhku?" tanya Ibnu Humair kembali.
"Ya, aku mesti membunuhmu" jawab tegas si ular.
Setelah mendengar ancaman dari si ular, Ibnu Humair
meminta penundaan eksekusi yang dilakukan oleh si ular terhadap dirinya.
"Berilah aku tempo sampai aku berada di
bawah gunung ini. Aku akan mempersiapkan suatu tempat untuk kuburanku" pinta Ibnu Humair kepada ular
"Terserah kamu" Jawab lantang si ular
dengan nada tidak peduli.
Dengan demikian, Ibnu Humair berjalan ke gunung
dalam keadaan hampir putus asa. Sambil berjalan dia menatap ke arah langit seraya
melantunkan zikir dan berdoa:
"Yaa Lathiif, Ya Lathiif, ulthuf bii,
biluthfikal khafiyyi. Yaa Laathiif, bilqudlratil latii istawaita
bihaa a'la 'arsy, fa lam ya'lamil 'arsyu aina mustaqarruka minhu illaa
maa kafaitanii hadzihil hayata”
Artinya: “Wahai Zat yang Maha Pelindung! Wahai Zat yang Maha Pelindung! lindungilah aku
dengan lindungan-Mu yang tersembunyi. Wahai Zat yang Maha Pelindung, selamatkan
aku dari ular ini dengan kekuasaan Engkau yang menguasai Arasy. Sedangkan Arasy
tiadalah yang mengetahui di mana Engkau telah menetapkannya”.
Kemudian, Ibnu Humair meneruskan perjalanannya. Beberapa saat setelah itu datanglah seorang pemuda yang menghadangnya. Pemuda itu dalam raut wajah
ceria dan bersih dari kotoran.
"Assalamulaikum" sapa pemuda yang
rupawan kepadanya.
"Waalaikum salam." Sahut Ibnu Humair
dengan nada lemah karena efek kegelisahan.
"Aku melihat wajahmu pucat, mengapa?"
tanya si pemuda.
"Karena musuhku telah menzalimiku."
Jawabnya singkat dengan
nada penuh kecewa. Kemudian si pemuda heran dan
bingung Karena tidak melihat siapa-siap selain dia.
"Di mana musuhmu itu?" tanya pemuda tersebut yang tersirat dari
wajahnya penuh keheranan.
Ibnu Humair menjawab “Musuhku, berada di dalam
perutku”.
"Bukalah mulutmu!” perintah si
pemuda.
Kemudian Ibnu Humair membuka mulutnya. Lalu si
pemuda meletakan sehelai daun yang bentuknya serupa daun zaitun yang hijau ke
dalam mulut Ibnu Humair. Setelah itu, si pemuda memintanya untuk mengunyahnya.
"Kunyahlah dan telanlah!" pinta pemuda tersebut.
Ibnu Humair mengunyahnya dan menelannya. Tidak
lama berselang setelah itu, perutnya terasa dipukul-pukul dan terasa ular di
dalamnya berputar-putar. Tanpa berselang beberapa waktu kemudian, ular itu terlempar keluar dari perutnya dengan bentuk
potongan-potongan kecil.
Ibnu Humair dengan rasa bahagia bercampur aduk
dengan keheranan, memegang si pemuda seraya berkata, "Wahai Saudaraku! siapakah kamu?
aku telah diberi anugerah oleh Allah SWT melalui dirimu."
Orang tersebut tertawa sambil bertanya, "Apakah kamu tidak mengetahui siapa aku?" Ibnu Humair menjawab, "Aku tidak mengetahui siapa dirimu".
Si pemuda kemudian memperkenalkan diri kepadanya dan menjelaskan
kronologi kenapa dia berada di situ. "Sesungguhnya ketika terjadi peristiwa antara kamu dan ular,
dan kamu berdoa dengan doa tadi, maka para malaikat di tujuh langit menyeru kepada
Allah Azza Wa Jalla.
Karena itu Allah SWT berfirman: “Demi
kemuliaan dan keagunganku, aku akan menolong hambaku yang dibinasakan oleh ular”
lalu Allah SWT memerintahkan kepadaku agar datang kepadamu dan akulah yang
disebut al-Ma'ruf, yang tinggal di langit ke empat.
Allah SWT berfirman kepadaku: “Berangkatlah
kamu ke Surga, lalu ambillah daun yang hijau dari sana, lalu temuilah hambaku,
yaitu Muhammad ibnu Humair”.
“Wahai Muhammad! berbuatlah yang ma'ruf. Sesungguhnya
ma'ruf itu menjaga dari serangan-serangan jahat. Jika ma'ruf itu disia-siakan oleh orang-orang yang diberikan ma'ruf, maka ma'ruf tidak akan disia-siakan di sisi Allah Azza Wa Jalla". Pesan
malaikat Ma’ruf kepada Ibnu Humair.
Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah bantu siapa saja atau berbuat baik kepada siapa saja. Jangan hanya melihat siapa orangnya. Kebaikan yang kita lakukan pasti tidak akan sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Bagi orang yang zalim, berhati-hatilah Anda karena kezaliman Anda
akan diperhitungkan. Ingatlah! Meskipun tidak nampak di dunia maka akhirat sudah pasti.
Referensi : Kitab Majlis al-saniyyah, hadis ke-13.
Posting Komentar