aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Alih-Alih Menjadi Tentara Nasional Indonesia Justru Tentara Allah Part #2

Dayah Raudhatul Ma'arif Cot Trueng

Saat ini aku menempuh pendidikan pesantren di dayah Raudhatul Ma’arif  Aceh Utara. Pada akhirnya jatuhlah pilihanku di dayah tersebut. Namun, pilihan tersebut disebabkan karena saat itu ada orang kampung yang kebetulan mondok di dayah itu juga.

Gure Zakaria beliau memberi peran dan andail besar dalam menentukan pilihanku di mana akan mondok. Beliau memberikan masukan supaya saya mondok saja di Dayah Cot Trueng, karena di sana ada orang kampung yang bisa menjaga saya. 

Saran dari gure tersebut saya sampaikan kepada kedua orang tua saya. Mereka pun mengamininya masukan dari gure tersebut.

Bertepatan pada hari Raya Idul Adha 2014, kebetulan orang yang sekampung denganku mondok di Dayah Cot Trueng pulang karena libur Idhul Adha. Saat itu, perasaanku sangat senang dan gembira karena benih-benih harapan dan peluang sangat besar bagiku untuk mondok di negeri yang lumayan jauh dari tanah kelahiran.

Pada suatu hari setelah lebaran usai, ayah memangil Tgk Yusuf (nama orang kampungku yang mondok di Cot Trung). Tujuan ayah memangil beliau untuk menanyakan bagaimana kondisi dan suasana Dayah, sistem belajarnya, dan persyaratan apa saja yang dibutuhkan untuk pendaftaran dayah tersebut.

Selang beberapa hari kemudian, keluargaku mengadakan acara turun tanah adik bungsuku sekaligus pelepasan bagiku untuk masuk pondok. Pada waktu yang sama, kakak sepupuku Desi Arita juga akan masuk pondok yang tidak jauh dari rumah.

Pada acara itu kami berdua ditepung tawari (adat di aceh) dengan harapan supaya bisa betah di dayah. Kami pun menikmati dan mengikuti acara tersebut dengan penuh khidmat. Kami juga melihat banyak yang berkomat-komit melafalkan doa dan harapan terbaik bagi kami.

Pada sore hari, bertepatan dengan tanggal 09 Oktober 2014, aku, kedua orang tua, dua adik perempuan, adik perempuan nenek serta dua orang sepupu saya, kami semua bersiap-siap untuk melakukan perjalanan nun jauh di sana yang belum tahu bagaimana sebenarnya kondisi di sana. Persiapan matang pun dipersiapkan karena akan mengarungi perjalanan melelahkan dari Pantai Selatan Aceh ke titik Pantai Utaranya. 

Sore itu, aku pergi ke seluruh sanak keluarga dan saudara untuk meminta izin serta doa. Aku juga tidak lupa berjumpa dan berpamitan kepada guru-guruku di desa. 

Selepas matahari terbenam serta langit memakai jubah hitamnya, azan magrib  berkumandang menggema ke seluruh pelosaok desa melalui cerobong TOA. Kemudian kami pun melaksanakan shalat magrib berjamaah.

Setelah dipastikan semuanya sudah siap, kami pun mulai berangkat. Suasana rombongan kami saat itu penuh dengan perasaan sedih bahagia dan bercampur haru. Kami berangkat dengan penumpang berjumlah delapan orang, yang juga ikut bersama kami Tgk Yusuf.

Mobil Avanza yang kami tumpangi mulai meluncur dan mengikuti sepanjang jalan yang belum tahu di mana akan berhenti dan kembali balik. Mobil tersebut sisupiri sendiri oleh abang sepupu.

Malam itu adalah malam pertama bagiku untuk menempuh perjalanan yang jauh. Hatiku terasa sangat gembira karena karena ini pertama kali dalam hidup saya melintas ke suatu tempat yang belum tau bagaimana kondisi dan letaknya. Aku pun hanya bisa menikmati perjalanan malam itu dengan melihat dan menikmati suasananya.

Gemerlap malam menemani perjalanan, dengan dihiasi lampu kendaraan yang berlalu lalang kedap-kedip tanpa diketahui kemana tujuan akhir mereka. Aku sangat menikmati perjalanan malam itu, dengan melihat-lihat apa yang aku lalui, desa demi desa, kota demi kota kami pun melaluinya. Ban mobil pun melintas dengan gesit menuju rumah kos sepupuku untuk istirahat sebelum melanjutkan perjalanan yang masih jauh.

Gunung demi gunung kami lalui yang menjulang tinggi dan mempunyai jurang yang dalam. Alhamdulillah tepat pada jam empat pagi, rombongan kami sampai juga di kos abang yang terletak di kota Banda Aceh (ibu kota provinsi Aceh).

Sebelum melanjutkan perjalanan menuju ke Aceh Utara, kami Istirahat di kos tersebut untuk menghilangkan kelelahan dan pegal karena duduk berjam-jam dalam mobil.

Ketika matahari menyapa bumi, mentari pun bersinar seolah-olah menyapa hangat kami saat itu, kami menikmati sarapan pagi yang dibeli oleh abang. Kemudian, kami pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan utama yaitu Dayah Cot Trueng.

Setelah selesai makan dan bersiap-siap, kami pun melanjutkan perjalanan. Namun, ketika kami melewati pusat kota, aku mengajak mampir di masjid terbesar di Aceh yang sangat bersejarah yaitu Mesjid Raya Baiturahman. Mumpung ini adalah kesempatan terbaik. Setibanya di masjid tersebut, aku menyempatkan diri untuk shalat dua rakaat dan berkeliling di seputaran masjid yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Aceh tersebut. 

Sebelum matahari tepat berada di atas kepala, saya dan rombongan meningalkan masjid dan melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami ini, penumpangnya bertambah menjadi sembilaan orang dalam mobil. Saat itu ayah juga mengajak Tgk. Pudin untuk ikut serta mengantarkanku masuk pondok.

Sepanjang perjalanan kali ini, sungguh sangat berbeda karena kami banyak melintasi kota-kota dan hanya melewati satu pengunugan yang kami lalui yaitu gunung Seulawah. 

Di pertengahan jalan, adik menangis yang masih berumur beberapa bulan di dalam mobil karena merasa kepanasan, saat itu abang menghentikan mobilnya di sebuah masjid (Masjid Kubue Lapan).

Berhubung berhenti di masjid itu kami memutuskan melakukan shalat dhuhur beserta Ashar secara jama’ dan qasar sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Setelah menghabiskan setengah jam istirahat, kami pun melanjutkan lagi perjalanan yang tidak kunjung sampai ke tempat tujuan. Terasa sangat lama dan jauh tanpa ada tepi batas. Mungkin karena ini perjalanan pertama kami, maka rasanya jauh dan melelahkan.

Pada jam enam sore, akhirnya kami sampai di kota juang atau yang sering disebut dengan kota Bireueun. Ketika kami memasuki kota ini, kami sempat mengalami kejadian yang ganjil dan agak sedikit memalukan. hhhhhh, karena kami sempat bingung dan berputar-putar karena tidak tahu arah jalan, bahkan kami hampir menuju jalan yang tembus ke Aceh Tengah.

Tapi Alhamduliah kejadian tersebut tidak terlalu lama. Di kota Bireueun kami tidak berhenti, kami langsung menuju ke dayah, karena menurut Tgk Yusuf, kami hampir sampai ke tujuan yang kami tuju.

Azan berkomandang dan saling bersahutan pun memberi tau kami bahwa waktu shalat Magrib sudah tiba. Kami masih terombang-ambing dalam mobil karena tak kunjung sampai pula. Bahkan ibu pun sempat terpikir untuk mengajak putar balik saja, karena merasa tempatnya jauh sekali dan beliau sangat kawatir sewaktu-waktu kalau aku tertimpa sakit.

Saat orang-orang sedang melakukan Shalat Mangrib, kami tiba juga di gerbang Dayah RAMA dan di sambut oleh dua Santri senior yang berasal dari Aceh Selatan. Dalam hati kami terbesit rasa syukur Alhamdulillah yang akhirnya sampai juga. Mereka berdua adalah Tgk Muhammad Wali dan Tgk Buhaitri. Kemudian keduanya mengajak kami ke Rumah Walidi Muzakir Walad.

Walidi merupakan putra Asli Aceh Selatan yang sudah lama menimba ilmu di dayah tersebut dan menjadi guru senior. Di rumah beliaulah kami Shalat Magrib dan Istirahat untuk beberapa saat.

Beberapa jam pun berlalu dengan perasaan yang tak menentu, keluraga saya harus langsung pamit pulang. Mereka menyerahkan dan memercayakanku kepada Walidi.

Momen ini aku masih mrerasa biasa-biasa saja karena masih diselimuti dengan perasaan bahagia. Mereka pun berangkat menuju Banda Aceh sebelum bertolak langsung ke kampung halaman nun jauh di sana.

Pada tanggal 10 Oktober 2014, sembilan tahun yang lalu, hari pertama aku menginjakkan kaki di tanah taman surga ini. Pada malam itu aku langsung diajak oleh Tgk Yusuf untuk masuk ke Dayah dan kemudian memasuki kamar.

Ketika memasuki gerbang, aku sangat terpesona melihat para santri yang memancarkan senyuman dan bersikap dengan penuh keramahan. Kemudian aku melangkahkan kaki mengikuti Tgk Yusuf di belakangnya menuju ke kamarnya.

Tibalah aku di sebuah asrama yang kelihatan sudah tua terbuat dari kayu, setelah itu, saya menaiki tangga lantai dua karena di sana letak kamarnya.

Akhirnya, sampai juga di kamar yang tgk Yusuf maksud.  Kami disambut hangat oleh para santri yang berasal dari daerah yang sama. Setelah usai berbincang-bincang dengan mereka yang ramah-ramah, saya merebahkan badan yang sangat lelah di lantai yang hanya beralaskan sehelai tikar.

Sebelum tertidur, aku memperhatikan kamar yang sangat sederhana. Jauh berbeda dengan ekspektasi aku sebelumnya. Di waktu yang sama, aku juga menangis tanpa bersuara, merindukan orang tua dan merasa sedih dengan realita saat itu.

Hari demi hari berlalu, aku berjumpa dengan banyak teman-teman baru di dunia yang baru. aku sangat menikmatinya karena banyak yang ramah, mereka duluan menyapa dan minta berkenalan denganku, walaupun saat itu aku masih minim ngerti berbicara memakai bahasa Aceh. 

Dua bulan kemudian setelah aku melewati hari-hari yang penuh duka cita, Tgk Yusuf, orang yang membawaku ke dayah, beliau pulang ke kampung dan berhenti mengaji. Pada saat itu aku pun merasa bingung dan serba salah karena orang yang satu-satunya akrab denganku sudah gagal dan pulang dari medan perjuangan.

Namun seiring waktu, kegundahan itu semua sirna dan bisa cepat beradaptasi dengan kawan-kawan sehingga akrab dengan santri-santri Aceh Selatan yang lainnya. Mereka pun bagaikan keluarga dan sudah aku anggap begitu dalam perantauan ini.

Allahamdulilah dengan berkat doa orang tua, guru, serta keluarga, sekarang aku sudah memasuki tahun ke sembilan di dayah terncinta ini. Sekarang lagi berjuang untuk menyelesaikan studi S1 di Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif, sekaligus mengabdi di Dayah. 

Hal yang tidak pernah terbayangkan di waktu kecil, bahwa aku akan mondok selama ini bahkan di tempat yang sangat jauh dari kampung halaman. Tapi aku sangat bersyukur dengan profesi saat ini, karena bagi  aku, ini adalah profesi terbaik dari pada yang lain yaitu belajar dan mengajarkan umat.

Begitulah cara Allah menjalankan takdir terhadap kita yang tidak bisa ditebak sedikit pun, bahkan ekspektasi kita terlalu  jauh dari jalan takdir, seperti halnya kondisi aku yang awal mulanya ingin menjadi Tentara Indonesia berakhir menjadi Tentara Allah. Inilah yang aku maksud dengan pernyataan sebelumnya “Tersesat Di Jalan Yang Benar”.

 

 

Di tulis di Cot Trueng, 1 November 2022

Oleh : Wandi Ajiruddin (Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif, Cot Trueng)

 

 

Posting Komentar

Posting Komentar