Sikap Terbaik Saat Harapan Tidak Terwujud |
Dalam kehidupan ini, tidak semua harapan dapat dicapai sesuai dengan kalkulasi kita. Kadangkala berhasil, kadang pula sering disapa oleh gagal.
Kadang sukses berada dalam wujud nyata, kadang pula hanya sebatas keinginan dan impian saja alias kurang beruntung.
Umumnya kita akan merasa
kecewa bila harapan atau keinginannya tak tercapai. Tetapi bagi seorang muslim
sejati, sebenarnya bagaimana sikap terbaik ketika harapannya tak kunjung
menjadi kenyataan?
Kalam Hikmah Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiecenya al-Hikam.
beliau mencoba untuk memberi jawaban
terhadap realita yang banyak kita alami. Beliau menyatakan:
رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ
فَأَعْطَاكَ
Artinya: “kadangkala Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu dari anugerah tersebut dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yang lain.”
Menurut Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari, anugerah sebenarnya yang patut disyukuri adalah anugerah memeluk agama Islam sebagai nikmat yang benar-benar hakiki.
Segala pemberian yang Allah berikan terhadap kita, tidak ada yang dapat menandingi anugerah keislaman yang Allah tanamkan dalm jiwa kita.
Ketika kita
masih berada dalam pangkuan agama Islam, berarti kita masih dan sedang menikmati
anugerah yang sangat besar dari Allah SWT.
Dari kalam hikmah di atas, Imam Ibnu Athaillah seakan-akan hendak menenangkan kita dan menghibur terhadap problem yang menimpa kita.
Terkadang Allah memberikan sesuatu yang dianggap baik menurut pikiran kita selaku manusia, dan kita pun sangat sadar dengan batasan jangkauan nalar kita.
Namun tanpa kita sadari pemberian itu dalam ilmu-Nya Allah SWT sebenarnya dapat menghalangi diri kita dari taufiq dan hidayah untuk semakin dekat kepada-Nya.
Apalah artinya terpenuhi semua keinginan, ekspektasi
dan harapan, sementara cahaya Islam dan iman di hati justru beku dan padam?
Namun, yang sering terjadi adalah kita sangat sulit memahami hakikat anugerah yang diberikan oleh Allah. Ketika harapan tidak menuai sesuai kenyataan, betapa banyak dari kita yang sering menyalahkan takdir dan nasib yang menimpa, seolah-olah Allah tidak adil perlakuannya kepada kita.
Padahal,
jika kita mau menyadari dan memahami, semestinya kita akan sadar bahwa semua
anugerah yang telah Allah berikan maupun yang Allah halangkan kita untuk
mendapatkannya merupakan hikmah tersendiri bagi kita yang allah sembunyikan
ketika itu.
Berapa banyak dari kita ketika keinginannya tidak terwujud dan baru terjawab beberapa waktu kemudian merasa menyesal kalau keinginannya terwujud langsung ketika diminta.
Tanpa ada yang memandu lisan kita akan mengungkapkan
untungnya kalau..., untungnya... dan lain-lain
Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari melanjutkan kalam hikmahnya:
مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ
عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ
Artinya, “Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang
pecegahan-Nya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah atau
kembali menjadi anugerah yang sebenarnya.”
Dilansir dari kitab Îqâdhul Himam Syarhu Matnil Hikam karangan Syekh Ibnu Ajibah dalam menjelaskan kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari, beliau mengibaratkan pemberian Allah kepada manusia dengan orang yang diundang ke suatu jamuan makanan pada tempat yang gelap gulita tanpa ada lampu.
Makanan yang disediakan begitu banyak, namun bisakah saat itu kita mengetahui makanan mana yang akan diambil dan apa yang akan dimakan?
Begitulah
pemberian Allah kepada manusia, ketika diberi kecukupan di satu sisi, maka ia
akan selalu merasa kekurangan di sisi lainnya.
Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas sesuai dengan instrumen
yang tertera dalam ayat Al-Qur’an:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui..” (QS
al-Baqarah:216)
Orang-orang pilihan yang telah mencapai derajat ma’rifah billâh,
sering merasa takut ketika ia menerima suatu anugerah dari Allah SWT.
Syekh Ibnu Ajibah mengatakan bahwa:
اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ
إِذَا قُبِضُوْا
Artinya, “Orang-orang ‘ârifbillâh lebih takut ketika
diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan.”
Terpenuhinya semua harapan merupakan kebahagiaan dan seakan menjadi nikmat yang sangat besar bagi kita.
Karena menganggap kebahagian yang nyata adalah terpenuhinya semua keinginan sesuai dengan harapan.
Namun, semua itu
justru sebaliknya bagi orang-orang ‘ârifbillâh dan membuat mereka
semakin takut kepada Allah SWt.
Kenapa demikian? Sebab, bagi mereka orang-orang ‘ârifbillâh, dalam keadaan sempit orang yang dekat kepada Allah akan lebih tenang dan lebih tentram dalam menjalankan semua perintah-perintah-Nya.
Sedangkan jika berada dalam kondisi semua keinginannya terpenuhi, orang akan
berpotensi timbul penyakit sombong dan tidak bersyukur atas segala nikmat yang
telah Allah berikan kepadanya.
Lantas kita bertanya bagaimana cara menyikapi kelapangan dan kesempitan dalam hidup ini. karena dua hal tersebut adalah representasi dari persoalan di atas.
Dalam menyikapi realita tersebut, Syekh Ibnu Ajibah
mengatakan:
اَلْبَسْطُ تَأْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهَا بِوُجُوْدِ
الْفَرْحِ، وَالْقَبْضُ لَاحَظَّ لِلنَّفْسِ فِيْهِ
Artinya: “Dalam kelapangan hidup, nafsu manusia ikut ambil bagian
(menikmatinya), sebab adanya rasa gembira, sedangkan dalam kondisi sempit,
nafsu manusia tidak ikut ambil bagian (merasakannya).”
Begitulah kelapangan, ia bisa menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan kecenderungan nafsu untuk melupakan Allah SWT yang telah memberikan kita banyak anugerah.
Orang yang berada dalam kondisi lapang, cenderung akan memanjakan dirinya dengan segala sesuatu yang diinginkan. Sikap memanjakan diri inilah yang terkadang menjadi penyebab utama orang menjadi lalai dan bermalas-malasan.
Seolah-olah saat demikian, kewajiban agama menjadi beban dan ibadah pun dilakukan dengan hati gundah tidak sepenuhnya ikhlas kepada Allah SWT.
Berbeda ketika kita berada dalam kondisi yang sempit atau kesusahan. Banyak hal yang tertahan dan tidak bisa didapatkan atau dilakukan pada saat itu karenamengingat banyak hal yang terhalang.
Kondisi penuh keterbatasan ini, menjadikan manusia tidak dapat memanjakan dirinya.
Karenanya, tidak ada godaan untuk lalai memanjakan diri dan bersantai ria sehingga kewajiban agama pun dapat ditunaikan tanpa beban.
Bagaimana mungkin kita bisa
memanjakan diri, sedangkan kita berada dalam keadaan yang serba kekurangan?
Dalam redaksi lain Syekh Ibnu Ajibah juga mengibaratkan manusia itu
seperti anak kecil yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa yang
menginginkan mencicipi manisan atau permen beracun. Ia berkata:
فَكُلَّمَا بَطَشَ الصَّبِيُّ لِذَلِكَ الطَّعَامِ
رَدَّهُ أَبُوْهُ، فَالصَّبِي يَبْكِي عَلَيْهِ لِعَدَمِ عِلْمِهِ، وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ
بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ
Artinya, “Ketika Si Anak mengambil makanan beracun, Sang Ayah
menolaknya. Maka Anak tersebut menangisi karena ketidaktahuannya, sedangkan
Ayah menolaknya secara paksa karena tahu ada racunnya.”
Begitulah gambaran hubungan kita selaku manusia dengan Allah SWT
berkaitan dengan harapan dan anugerah. Manusia tak ubahnya bagaikan anak kecil
yang masih lugu dan sangat polos, sementara Allah menghalangi berbagai harapan
dan keinginannya karena bahaya yang tidak kita ketahui terhadap keinginan kita
tersebut.
Penilaian akhir yang terbaik dalam hidup ini adalah ketika sesuai dengan kehendak-Nya. Sangat mungkin, segala anggapan baik yang kita wacanakan saat ini, justru merupakan keburukan yang tidak Allah inginkan terhadap kita.
Tidak ada hal yang lebih baik terhadap apa saja yang terjadi dan menimpa kita melainkan dengan mempelajari dan menggali hikmah di balik itu semua demi meraih keridhaan-Nya.
Karena setiap ketentuan
Allah SWT selalu beriringan dengan kebijaksanaan-Nya. Tetapi kita saja yang
masih tertutup dengan hikmah tersebut.
Syair Imam al-Bushiri dalam al-Burdahnya telah mengingatkan kita
dan selaras makna dengan kalam hikmah Ibnu Athaillah dan penjelasan Syekh Ibnu
Ajibah :
كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً مِنْ حَيْثُ
لَمْ يَدْرِ أَنَّ السَّمَّ فِى الدَّسَمِ
Artinya, “Betapa banyak kenikmatan justru berujung pada kematian,
karena orang tidak menyadari bahaya racun yang terkandung di dalamnya.”
Wallâhu a’lam.
Posting Komentar