Hikmah Di Balik Pandemi Corona |
Saat ini kita masih digemparkan oleh virus
yang bergentayangan menjelajahi seluruh dunia yang bersumber dari negeri tirai
bambu.
Virus yang berukuran sangat kecil ini mampu membuat manusia kocar-kacir
dan porak-poranda dalam segala situasi dan kondisi tanpa pandang bulu.
Berbagai
inisiatif muncul dan diaplikasikan demi wabah ini dapat segera minggat di atas
permukaan bumi.
Meskipun kenyataannya para ahli medis kewalahan menghadapi
covid-19 ini dengan teori dan praktik mereka, tetapi tetap berusaha dan
memberikan pelayanan terbaik kepada siapa saja.
Pemerintah dan aparat keamanan mencoba berpartisipasi dan bertanggung
jawab dalam meredamkan penularan corona
sehingga berbagai kebijakan muncul demi keselamatan warga negaranya.
Di samping
itu, ulama juga berusaha dan berijtihad untuk menenangkan masyarakat dengan
merujuk literatur Islam dan referensi terlengkap dalam memfatwakan hukum dengan
mempertimbangkan keserasian instruksi pemerintah dan kondisi kemasyarakatan.
Ironisnya, bagai pungguk merindukan bulan. Setiap
hari kita mendengar berita duka cita menghantui. Saban hari pasien positif
corona dan yang meninggal semakin
melonjak. Seolah-olah upaya yang telah dilakukan hanya sia-sia belaka.
Dan
lebih sedihnya, mereka yang telah dinyatakan positif harus melawan penyakit itu
sendirian. Tanpa ada yang menghibur dan membesuknya.
Alhamdulillah
akhir-akhir ini mulai terkontrol dan tenang dengan sikon yang ada. Mungkin sudah
bisa berdaptasi dengan keadaan seperti ini.
Di tengah puncak kesusahan dan kecemasan virus
corona, manusia mulai timbul berbagai asumsi dan persepsi tentang virus ini
dengan multitafsir pandangan.
Berbagai buruk sangka dan energi negatif lainnya
muncul spontan di kepala sesuai dengan prinsip dan keyakinan masing-masing,
bahkan media pun mengambil alih dan berperan besar dalam menghantui masyarakat.
Dalam perspektif Islam, corona adalah penyakit
yang sejenis dengan tha’un. Dalam kitab al-mausu’ah al buraithiyyah,
tha’un merupakan sebuah istilah yang dipakaikan kepada jenis penyakit
apa saja yang dapat menyebar secara luas dan menyebabkan kematian secara
berkelompok.
Menurut Ibnu Arabi dalam syarah at-Tirmizi, alasan penamaan
dengan tha’un karena besar musibahnya dan dapat menyebabkan kematian
yang cepat.
Berdasarkan ini maka masuklah seluruh penyakit yang serupa dengan tha’un
yaitu seperti corona.
Kalau kita mengkaji literatur Islam tentang
wabah tha’un, sudah ada semenjak kekhalifahan Saidina Umar
Bin Khattab yang melanda negeri Syam.
Menariknya, Syeikh Al-Hafidh Ibnu
Hajar Al-Asqalani terinspirasi dalam dukanya untuk menyumbang sebuah hadiah
tulisan sebagai pelipur lara atas kehilangan buah hatinya karena wabah tha’un
yang dipersembahkan untuk umat yang berjudul Bazlu Al-Ma’un Fi Fadhli
Al-Tha’un.
Di dalam kitab tersebut beliau memberi jawaban
terhadap keresahan dan kecemasan umat dalam menghadapi wabah seperti covid-19.
Beliau menukilkan Hadis dalam musnad Imam Ahmad.
Diriwayatkan daripada
Aisyah RA bahwasanya Aisyah berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
tha’un.
Maka beliau memberitahu aku bahwa tha’un merupakan azab
yang diturunkan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah dan menjadikannya
rahmat bagi orang-orang mukmin.
Maka tidaklah seseorang yang terinfeksi tha’un
mengisolasikan diri di rumahnya dengan sabar dan meyakini bahwasanya tidak akan
menimpa sesuatu di atasnya kecuali sudah menjadi ketetapan dari Allah, maka
baginya mendapatkan balasan seperti
pahala orang mati syahid.
Memahami kondisi pandemi covid-19 menurut
kacamata agama merupakan rahmat bagi orang-orang mukmin. Di balik wabah ini
banyak hikmah yang tersirat, baik itu dilihat dari sisi agama maupun dari
seluruh lini kehidupan masyarakat.
Tetapi kalau kita melihat dengan pandangan
dan tatapan kosong tanpa didasari oleh peka sosial dan lingkungan, maka corona
ini merupakan sebuah bencana dan musibah besar yang melanda umat saat ini alias
laknat.
Di antara
hal positif yang timbul di balik corona ini adalah sebagai ujian dan teguran
dari Allah SWT. Dari sekian banyak cara untuk mengingatkan dan membuat mereka
kembali kepada Allah adalah ditimpakan musibah yang rendah (as-sajdah
32:21).
Manusia disadarkan kembali dengan sifat kesombongan dan egois dengan
harta yang akhirnya harus mendekam di dalam rumah tanpa bisa kemana-mana.
Apakah harta digunakan untuk sarana ibadah di tempat yang megah ataupun
menghamburkannya ke berbagai tempat wisata.
Di sini Allah ingin melihat dan
menguji apakah kita beribadah karena tempat ataupun dilatarbelakangi oleh
penghambaan yang tulus tanpa didasari oleh embel-embel pamer dan riya’.
Di
samping itu, corona juga mengajarkan hal yang remeh dan sepele dalam anggapan manusia
yaitu bagaimana untuk hidup bersih dan menjaga kebersihan.
Dalam ranah sosial
kita dididik bagaimana bersikap dengan keluarga dan peduli sosial.
Keintiman
dalam kekeluargaan baru dirasakan di saat wabah ini terjangkit. Karena dalam sikon
seperti ini, semua orang bersikukuh untuk menghadapi semua ini bersama keluarga
meski harus menyalahi aturan dan kebijakan yang ada.
Di tengah kegentingan wabah covid-19 ini, kita
diuji sekaligus ditantang untuk melihat ranah kerahmatan yang dimiliki oleh umat
Islam.
Paradigma Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam harus dibuktikan
secara ril.
Karena ketulusan dan kejernihan dalam menjalankan visi dan misi
ibadah adalah di saat berada pada konflik yang klimaks. Apakah manusia bisa peduli
dan peka terhadap orang lain atau malah menari di atas penderitaannya.
Dengan menyadari konsep ini, maka kita dapat
memahami bahwa dengan musibah ini merupakan metode dan langkah awal untuk merajut kembali dan meng-update
hubungan kekeluargaan sesama muslim.
Inilah puncak rahmat yang harus kita bina
dan bangun di tengah wabah covid-19 ini, bukan paradigma negatif terhadap
saudara kita sesama muslim.
Maka sebesar apapun musibah akan terasa ringan
apabila dihadapi dengan penuh rasa kekeluargaan.
Wallahu a’lam bisshawab..
Posting Komentar