aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Detik-Detik Wafatnya Imam Al-Ghazali


Monitor detak jantung di ruang medis dengan tanda-tanda menurun, menggambarkan suasana sakral menjelang kematian

D i tengah sunyi fajar hari Senin, cahaya sebuah jiwa agung berpulang dalam damai. 

Itulah hari di mana dunia Islam kehilangan salah satu tokoh terbesarnya yaitu Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. 

Namun, yang membuat detik-detik wafat beliau begitu istimewa bukan hanya karena kedudukan keilmuannya, tetapi juga karena cara beliau menghadapi kematian dengan tenang, sadar, dan penuh persiapan.

Baca juga: 8 hal yang menarik tetapi palsu

Kisah ini diabadikan dalam kitab "Thabaqat asy-Syafi'iyah al-Kubra" karya Syekh Tajuddin As-Subki (727–771 H / 1327–1370 M), cetakan Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, jilid 6, halaman 201:

ﻭﻛﺎﻥ ﻭﻓﺎﺗﻪ، ﻗﺪﺱ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﻭﺣﻪ، ﺑﻄﻮﺱ ﻳﻮﻡ ﺍﻻﺛﻨﻴﻦ ﺭﺍﺑﻊ ﻋﺸﺮ ﺟﻤﺎﺩﻯ ﺍﻷﺧﺮﻩ ﺳﻨﺔ ﺧﻤﺲ ﻭﺧﻤﺴﻤﺎﺋﺔ، ﻭﻣﺸﻬﺪﻩ ﺑﻬﺎ ﻳﺰﺍﺭ ﺑﻤﻘﺒﺮﺓ ﺍﻟﻄﺎﺑﺮﺍﻥ.

"Wafatnya beliau—semoga Allah mensucikan ruhnya—di kota Thus, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. 

Makamnya berada di pekuburan Thabaran dan senantiasa diziarahi orang."

Imam Al-Ghazali: Menghadapi Ajal dengan Penuh Kesadaran

Dalam kitab "Ats-Tsabat 'Inda al-Mamat" karya Abul Faraj bin Al-Jauzi, dikisahkan oleh saudaranya sendiri:

ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻤﻤﺎﺕ: ﻋﻠﻲ ﺑﺎﻟﻜﻔﻦ. ﻓﺄﺧﺬﻩ ﻭﻗﺒّﻠﻪ ﻭﻭﺿﻌﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﻴﻨﻴﻪ، ﻭﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺎً ﻭﻃﺎﻋﺔً ﻟﻠﺪﺧﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻠﻚ.

"Beliau berkata: 'Bawakan kafanku.' Lalu beliau mengambil kain kafan itu, menciumnya, meletakkannya di atas kedua matanya, dan berkata: 'Aku dengar dan taat untuk masuk menghadap Raja (Allah).'"

Begitu tenang. Begitu siap. Tidak ada ketakutan, tidak ada kegelisahan. Yang ada hanyalah penyerahan total kepada Allah. 

Beliau lalu menjulurkan kedua kakinya, menghadap kiblat, dan tidak lama kemudian, ruhnya berpulang ke hadirat Ilahi.

Baca juga; Syahidkah jika meninggal karena melahirkan anak zina? 

Sebuah Kematian yang Mulia: Cermin Husnul Khatimah

Kisah wafatnya Imam Al-Ghazali bukan sekadar narasi sejarah. Ia adalah cermin dari kehidupan yang dijalani dengan penuh ketakwaan. 

Bahkan menjelang kematian, beliau tetap menjaga sunnah yaitu berwudhu, menunaikan shalat, meminta dikafani, dan berbaring menghadap kiblat.

Simak juga: Doa ketika membasuh dan mengusap anggota wudhu

Ruh yang tenang seperti inilah yang digambarkan dalam Al-Qur'an:

يا أيّتها النَّفْسُ المُطْمَئِنَةُ ارِجِعِي إِلى رَبِّكِ رَاضِيَةً مِرْضيَةٌ

"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai."

(QS. Al-Fajr: 27-28)

Persiapan Seorang Kekasih Allah

Disebutkan pula dalam riwayat, bahwa Imam Ghazali telah merasakan tanda-tanda kematiannya sendiri. 

Beliau mandi, berwudhu, dan bahkan mempersiapkan kafanannya sendiri. 

Ketika sampai pada bagian tubuh dan kepala, beliau memanggil saudaranya, Ahmad, untuk menyelesaikan pengafanan.

Sungguh, seorang wali Allah yang diberi firasat oleh-Nya. Inilah kematian yang dirindukan berupa kematian yang tidak mengejutkan, tetapi disambut dengan hati yang siap.

Simak juga: Waspadalah 8 penyebab mati suul khatimah

Tanda Kematian yang Tidak Dirasakan Semua Orang

Imam Al-Ghazali menyadari tanda-tanda kematiannya karena ia adalah hamba yang dekat dengan Allah. 

Tanda-tanda ini, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai literatur Islam, hanya diberikan kepada orang-orang beriman.

Sebaliknya, bagi orang-orang yang kufur, kematian datang dengan keras:

"Dan kalau kamu melihat orang-orang zalim di dalam sakaratul maut, dan para malaikat memukul tangan mereka (seraya berkata): 'Keluarkanlah nyawamu!'"

(QS. Al-An’am: 93)

Mereka tidak diberi waktu untuk mempersiapkan diri, bahkan tidak merasakan tanda-tanda kedatangan maut.

Baca juga: Kenali malaikat Ruman yang lebih dulu datang sebelum Mungkar dan Nakir! 

Renungan: Sudahkah Kita Siap Seperti Imam Ghazali?

Membaca kisah wafatnya Imam Al-Ghazali membuat hati bergetar. 

Apakah kita akan diberi akhir yang serupa? Ataukah sebaliknya?

Kita mungkin bukan ulama besar. Kita bukan penulis Ihya’ Ulumuddin. 

Tapi kita bisa meneladani persiapannya. Kita bisa menyiapkan hati untuk pulang kapan saja di antaranya:

  1. Dengan memperbanyak amal saleh
  2. Dengan menjaga wudhu dan shalat
  3. Dengan membersihkan hati dari dendam dan penyakit jiwa
  4. Dengan mencintai Al-Qur’an dan sunnah

Kata Mereka yang Mengenalnya

Para murid dan sejarawan menulis bahwa Imam Al-Ghazali adalah ulama yang ilmunya tembus langit, namun zuhud terhadap dunia. 

Beliau pernah berkata:

"Dunia ini ibarat bayangan. Jika kamu kejar, dia akan lari. Tapi jika kamu berpaling darinya, dia akan mengikuti."

Begitulah beliau. Bahkan menjelang wafat pun, tidak sibuk menyelamatkan harta, tapi sibuk menyucikan jiwa.

Makam yang Tak Pernah Sepi

Kini, makam beliau yang berada di Thabaran, kota Thus, Khurasan (Iran) masih terus diziarahi. 

Orang-orang datang membawa doa, kenangan, dan harapan agar diberi akhir hidup yang serupa.

Karena kematian yang baik adalah cermin dari kehidupan yang baik.

Simak juga: Cara membedakan ujian dan azab dalam rumah tangga

Kesimpulan: Saat Kematian Menjadi Anugerah

Kisah wafatnya Imam Al-Ghazali mengajarkan kepada kita bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi permulaan. 

Dan cara kita menghadapinya adalah cermin dari hidup yang telah kita jalani.

Mari kita jadikan kisah beliau sebagai cermin refleksi, bahwa orang-orang saleh tidak takut mati. 

Mereka justru menyambutnya dengan senyum, karena tahu siapa yang akan mereka temui.

اللهم اختم لنا بحسن الخاتمة ، ولا تختم علينا بسوء الخاتمة

“Ya Allah, wafatkanlah kami dalam husnul khatimah, dan jangan Engkau wafatkan kami dalam su’ul khatimah.”


Posting Komentar

Posting Komentar