aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Membaca: Aktivitas Mulia yang Sering Gagal Bikin Kita Cerdas

Ilustrasi anak kecil sedang asik membaca sendiri di perpustakaan

B anyak orang percaya bahwa membaca adalah tiket emas menuju kecerdasan. 

Bahwa setiap halaman yang dibalik akan menambah satu lapis kilau pada otak kita. 

Bahwa dengan membaca buku, terutama yang tebal-tebal dan penuh istilah asing, otomatis kita akan naik kelas dari manusia biasa menjadi makhluk intelektual yang layak dipuja di forum-forum diskusi.

Tapi mari kita berhenti sejenak dan hadapi kenyataan bahwa  membaca bukan jaminan cerdas.

Ya, Anda tidak salah baca. Membaca buku bukan formula ajaib yang akan langsung meng-upgrade Anda menjadi versi terbaik dari diri sendiri. 

Faktanya, banyak orang yang rajin membaca justru berakhir menjadi ensiklopedia berjalan yang... yah, tetap saja tidak bisa membedakan opini dengan fakta. 

Mereka hafal teori, tapi gagal mengaplikasikan logika. 

Mereka kutu buku, tapi tersesat dalam debat karena tak mampu menyaring mana yang penting dan mana yang hanya noise (bising) intelektual.

Simak juga: Baca buku lupa isinya, sia-siakah membaca? 

Di era digital, ketika informasi bisa diakses dengan satu klik dan semua orang bisa “terlihat pintar” hanya karena mengutip satu kalimat dari buku yang bahkan belum selesai dibacanya. 

Klaim bahwa membaca otomatis membuat kita cerdas mulai terdengar seperti mitos klasik yang perlu dipertanyakan ulang.

Artikel ini tidak akan mencela kegiatan membaca karena tentu saja, membaca punya banyak manfaat. 

Tapi mari kita bahas sisi yang sering dilupakan: bagaimana membaca bisa jadi aktivitas kosong, penuh ilusi, dan kadang malah menjauhkan kita dari kebijaksanaan sejati.

Siap mempertanyakan semuanya? Yuk, kita mulai dari mana mitos ini dibangun.

Simak juga: Mind Mapping, metode mudah memahami pelajaran

Membaca, Aktivitas Suci yang Diagung-agungkan

Dalam dunia yang dipenuhi dengan "quotes inspiratif" tentang betapa hebatnya membaca, izinkan saya menulis sebuah artikel yang — secara sarkastik — mempertanyakan semua kemuliaan itu. 

Kita semua pernah mendengar mantra-mantra seperti:

“Membaca membuka jendela dunia.”

“Orang yang membaca akan menguasai dunia.”

“Pemimpin adalah pembaca.”

Oh, betapa agungnya kalimat-kalimat itu terdengar di telinga. 

Sampai akhirnya Anda duduk dengan sebuah buku setebal 500 halaman tentang ekonomi global, lalu tertidur di halaman ke-17 sambil mempertanyakan: 

“Untuk apa sih gue baca ini?”

Maka lahirlah pertanyaan mendasar yang menjadi tema besar artikel ini: untuk apa sih membaca? 

Dan mari kita jawab dengan gaya yang tidak biasa: sarkasme yang mendalam, penuh opini, dan tentunya dibumbui dengan racikan unik. 

Baca juga: 8 alasan santri wajib punya website sendiri

Membaca Supaya Pintar? Ya Kali...

Salah satu manfaat membaca yang paling sering dikhotbahkan adalah agar kita menjadi lebih pintar. 

Pintar apa dulu? Pintar menelan teori konspirasi? Pintar debat di kolom komentar Facebook? 

Atau pintar membuat argumen panjang yang sebenarnya tak membawa kita ke mana-mana?

Mari kita bersikap realistis, membaca tidak otomatis membuat Anda cerdas. 

Anda bisa membaca 100 buku dalam setahun dan tetap percaya bahwa bumi itu datar. 

Membaca hanya memperluas informasi, bukan kebijaksanaan. 

Tapi tentu, dalam dunia di mana semua orang ingin terlihat intelek di medsos, baik di Instagram, X, LinkedIn, dan lainnya, aktivitas membaca bisa menjadi kosmetik intelektual yang cukup murah. 

Cukup foto buku dan tambahkan caption: “Finally finished this thought-provoking book.” Done. 

Kecerdasan Anda sudah sah di mata netizen. Hahaa

Simak juga; Cara membaca agar tidak mudah lupa

Membaca Untuk Kesuksesan? Lebih Baik Scroll TikTok

Apakah Anda berpikir membaca buku self-help akan membuat Anda kaya raya? Mari kita tinjau. 

Anda membaca Think and Grow Rich, lalu keesokan harinya saldo ATM tetap di bawah Rp100.000. 

Buku itu menjanjikan perubahan hidup, tetapi yang berubah cuma level kecemasan Anda karena terlalu banyak refleksi diri.

Sementara itu, seorang anak muda di TikTok bisa mendapatkan jutaan views hanya dengan joget pakai lagu trending. 

Tidak perlu membaca The 7 Habits of Highly Effective People

Cukup tahu angle kamera yang bagus dan tahu kapan harus berkata, “Check this out, guys!”

Membaca tidak menjamin sukses. Yang menjamin sukses adalah privilege, timing, dan algoritma yang menyukai Anda.

Simak juga: 5 cara mudah meningkatkan daya ingat

Membaca untuk Jadi Manusia Lebih Baik? HAHAHA

Banyak yang percaya bahwa membaca membuat kita menjadi pribadi yang lebih empatik, lebih sabar, dan lebih mengerti dunia. 

Tapi pernahkah Anda melihat para kutu buku berdebat di Facebook, Goodreads, dll atau forum online? 

Mereka bisa saling menghina hanya karena beda pendapat tentang tokoh fiksi favorit. 

Bahkan dalam diskusi buku spiritual, tak jarang terjadi perang komentar yang lebih mirip ajang pencak silat digital.

Membaca tidak otomatis mengubah watak. Anda bisa membaca 20 buku tentang perdamaian dunia, lalu tetap meneriakkan hoaks politik di media sosial.

Membaca di Era Digital: Mencari Makna di Tengah Noise

Di era digital, kebiasaan membaca telah mengalami transformasi. 

Kita tidak lagi membaca karena haus ilmu. 

Kita membaca karena takut ketinggalan. 

Setiap hari kita membaca notifikasi, headline, status teman, artikel clickbait, dan tentu saja komentar netizen. 

Semuanya mengklaim kebenaran, semuanya menganggap penting untuk dibaca.

Simak juga: Benarkah Islam egois dalam mengklaim kebenaran? 

Namun pada akhirnya, kita hanya kelelahan. Otak penuh tapi kosong. 

Sudah membaca ratusan postingan, tapi tak ada satu pun yang benar-benar mengubah cara kita berpikir. 

Kita tidak membaca untuk mencari makna, tapi sekadar bertahan di tengah banjir informasi.

Membaca Buku Fiksi: Melarikan Diri atau Mengembangkan Imajinasi?

Katakanlah Anda membaca novel fantasi. Orang akan bilang, “Itu bagus, bisa memperluas imajinasi!” Tapi mari kita jujur. 

Terkadang Anda hanya ingin kabur dari kenyataan. Dunia ini begitu absurd dan melelahkan, jadi Anda memilih untuk membaca kisah tentang dunia paralel, sihir, atau cinta yang terlalu manis untuk menjadi nyata.

Apakah itu salah? Tidak. Tapi jangan pula menganggap bahwa membaca fiksi otomatis membuat Anda jadi lebih kreatif. 

Kadang, kita hanya sedang melarikan diri dengan gaya. Bedanya dengan nonton drama Korea? Tidak banyak. Cuma medianya saja yang berbeda.

Membaca: Antara Gaya Hidup dan Gaya-Gayaan

Mari kita akui bahwa membaca sudah menjadi gaya hidup, dan kadang, hanya sebatas gaya-gayaan. 

Kita membaca agar terlihat sibuk. Kita mengunggah foto buku agar terlihat intelek. 

Kita ikut klub buku tapi tidak pernah benar-benar menyelesaikan bukunya. 

Tapi hey, at least kita sudah niat.

Tidak sedikit orang yang membeli buku hanya untuk hiasan rak. 

Cover-nya aesthetic, judulnya menggugah, dan penulisnya populer. 

Apakah dibaca? Nanti dulu. Masih antre. Tumpukan “to be read” makin tinggi, tapi ya setidaknya terlihat seperti pembaca sejati.

Simak juga; Tanda-tanda rezeki tidak berkah dalam rumah tangga

Jadi... Untuk Apa Sih Sebenarnya Membaca?

Mari kita tutup dengan pertanyaan awal bahwa untuk apa membaca?

Jawabannya? Terserah Anda.

Jika membaca membuat Anda merasa lebih hidup, silakan.

Jika membaca adalah pelarian dari tekanan hidup, tidak masalah.

Jika membaca adalah bagian dari pencitraan digital, juga tidak apa-apa.

Namun satu hal yang pasti yaitu jangan menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada aktivitas membaca. 

Ia bukan jaminan sukses, bukan jaminan pencerahan, dan bukan pula ukuran moralitas. 

Membaca hanyalah alat. Yang penting adalah bagaimana kita menggunakannya, merenungkannya, dan menghidupkannya dalam tindakan nyata, bukan sekadar dalam caption Instagram atau status WhatsApp.

Baca juga: 7 life hack ampuh mengatasi overthinking

Kesimpulan: Membaca Itu Penting, Tapi Jangan Didewakan

Jika Anda membaca artikel ini sampai akhir, berarti Anda masih punya stamina literasi yang luar biasa. 

Atau mungkin Anda hanya terhibur oleh sarkasme yang dibalut dalam kalimat berbumbu  ini. 

Either way, kita bisa sepakat bahwa membaca masih penting, tapi:

  • Tidak semua orang perlu membaca hal yang sama.
  • Tidak semua bacaan perlu dimuliakan.
  • Dan tidak semua orang yang membaca, otomatis bijaksana.

Membaca bisa jadi kegiatan revolusioner, tapi juga bisa jadi rutinitas kosong tanpa makna. 

Yang menentukan bukan pada apa yang dibaca, tapi pada siapa yang membaca, dan untuk apa ia membaca.

Jadi, next time seseorang menyuruhmu membaca karena “itu penting,” Anda boleh menjawab: “Penting untuk siapa dulu nih?”

Setuju atau tidak, ayuuuk kita diskusi di komentar! 


Posting Komentar

Posting Komentar