aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Menikah Demi Bahagia? Siap-Siap Akan Dihancurkan Oleh Harapanmu Sendiri

Sepasang pengantin saling menggenggam tangan dalam balutan busana adat putih—awal manis yang sering kali dibayar mahal oleh kenyataan.

B anyak orang mendambakan pernikahan sebagai gerbang menuju kebahagiaan abadi. 

Di benak mereka, menikah berarti tenang, dicintai tanpa syarat, dan tak lagi merasa sepi. 

Gambaran ini sering ditanamkan oleh cerita-cerita romantis, media sosial, dan ekspektasi budaya yang menjanjikan bahwa hidup akan lengkap setelah menemukan pasangan. 

Tapi kenyataannya, tidak sedikit yang justru merasa terasing, tertekan, bahkan terluka setelah menikah. Kenapa bisa begitu?

Artikel ini lahir dari keprihatinan terhadap banyaknya pernikahan yang hancur hanya karena salah niat. 

Karena menikah demi kebahagiaan diri sendiri adalah alasan yang rapuh bahkan begitu rapuhnya hingga goyah oleh konflik pertama. 

Simak juga; Orang tua bercerai, sebaiknya anak ikut siapa? 

Padahal dalam Islam, pernikahan bukanlah surga dunia, melainkan ladang ujian yang mengharuskan dua jiwa saling bertahan, bersabar, dan saling mendewasa. 

Jika kita belum siap menghadapi luka dan kecewa, maka sebaiknya tunda dulu keinginan menikah. 

Artikel ini akan membongkar realita pernikahan dari sisi yang jarang dibicarakan, agar kita tak salah melangkah hanya karena harapan yang salah.

Bahagia Itu Bukan Tujuan Pernikahan

Pernah kita berpikir menikah itu jalan pintas menuju kebahagiaan? 

Mungkin kita perlu berpikir ulang. Banyak orang melangkah ke pelaminan dengan harapan hidupnya akan tenang, indah, dan tanpa luka. 

Padahal, justru setelah akad, hidup baru saja dimulai dengan ujian-ujian yang tidak ringan.

Menikah bukan tiket masuk surga dunia. Bahkan Rasulullah saw. pun, yang maksum, menghadapi ujian besar dalam rumah tangganya. 

Simak juga; belajar cinta sejati dari kisah Sayyidah Zainab binti Rasulullah

Maka, jika tujuan kita menikah adalah untuk bahagia, sebaiknya… jangan menikah dulu.

Kenapa Banyak Pernikahan Justru Menjadi Sumber Luka?

Mari kita jujur. Realita pernikahan tidak seperti adegan sinetron yang penuh bunga. 

Setelah ijab kabul, kita tidak hanya menerima pasangan yang cantik atau tampan, tapi juga menerima:

  • Trauma masa lalunya
  • Keluarganya
  • Egonya
  • Kebiasaannya
  • Kekurangannya

Cinta yang tidak dibarengi kesiapan akan berubah menjadi tuntutan. 

Lalu muncul pertengkaran demi pertengkaran. Yang awalnya janji ingin bersama sampai akhir, berubah jadi diam-diam mencari pelarian.

Inilah kenapa banyak pasangan yang menikah justru merasa sendirian.

Baca juga: Rahasia terbesar di balik pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah

Pernikahan Bukan Surga, Tapi Tempat Ujian Paling Nyata

Allah Swt. berfirman:

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang."

(QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini sering disalahpahami. Kata "sakinah" bukan berarti pernikahan akan bebas masalah. 

Tapi pernikahan adalah proses menuju ketenangan dan proses itu melewati ribuan kali ujian.

Ada hari ketika kita lelah dengan sikap pasangan. Ada saat kita ingin menyerah karena perbedaan terlalu besar. 

Baca juga: Jodoh tak kunjung datang? Amalkan ini! 

Tapi justru di situlah Allah menumbuhkan rasa kasih sayang yang sejati bukan yang manis di awal saja, tapi yang teruji oleh kesabaran.

Pernikahan Itu Madrasah Sabar dan Syukur

Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar ego kita sampai saatnya kita menuju jenjang pernikahan. 

Karena setiap konflik, setiap kesalahpahaman, akan menguji:

  • Sejauh mana kita bisa merendahkan diri
  • Seberapa dalam kita bisa memaafkan
  • Dan seberapa tulus kita bisa bersyukur

Banyak orang gagal karena mereka tidak belajar bersabar. 

Mereka ingin pasangan sempurna, hidup yang mulus, dan cinta yang tidak pernah menuntut pengorbanan.

Padahal, sabar dan syukur adalah dua pilar rumah tangga. 

Tanpanya, rumah hanya jadi bangunan kosong yang tanpa ruh, tanpa kehangatan.

Baca juga: Mana lebih unggul sabar atau syukur? 

Kalau Ingin Bahagia, Bahagialah Sebelum Menikah

Menikah bukan untuk mengisi kekosongan jiwa. Kalau kita belum selesai dengan diri kita sendiri, kita hanya akan menyakiti pasangan nantinya.

Bahagia itu bukan tanggung jawab pasangan kita. Itu tugas kita.

Jangan nikahi seseorang hanya karena kita kesepian. 

Jangan cari pasangan hanya karena ingin dimengerti. 

Karena jika kita sendiri belum utuh, kita akan menuntut lebih banyak dari yang bisa diberikan oleh pasangan kita.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata:

“Jangan berharap pasanganmu adalah malaikat, jika kamu sendiri masih membawa luka dan dendam.”

Simak juga; 30 ungkapan cinta yang menyentuh hati dan penuh makna

Menikah Itu Perjuangan Dua Orang yang Sama-Sama Lelah Tapi Tidak Menyerah

Banyak pasangan berpisah bukan karena tidak saling cinta, tapi karena tidak saling berjuang.

Cinta bisa pudar, tapi komitmen tidak.

Ketika kita menikah, kita akan tahu betapa sulitnya menyamakan persepsi, menyatukan dua kepala, dua latar belakang, dan dua kebiasaan. 

Akan ada ribuan hal kecil yang bisa memicu pertengkaran. Dari cara memeras odol hingga cara mengatur uang belanja.

Tapi mereka yang bertahan bukan karena tidak pernah bertengkar. 

Mereka bertahan karena tidak pernah lelah memperbaiki.

Simak juga; 4 Kriteria penting agar tidak diremehkan pasangan

Kalau Menikah Demi Bahagia, Kamu Akan Mudah Ingin Berpisah

Bahagia itu rasa, bukan tujuan akhir. Kalau pernikahan kita tidak sesuai ekspektasi, kita akan mudah kecewa. 

Dari kecewa jadi frustasi. Dan dari frustasi jadi ingin menyerah.

Pernikahan yang dibangun dengan ekspektasi romantis akan tumbang oleh kenyataan.

Maka sebelum kita berkata, 

“Aku ingin menikah karena ingin bahagia,” 

Tanyakan dulu:

  • Sudahkah kita siap menderita bersama?
  • Sudahkah kita siap tidak dimengerti?
  • Sudahkah kita siap berkorban?

Kalau belum, maka menikah hanya akan membuat kita lebih terluka.

Islam Mengajarkan Tujuan Menikah yang Lebih Tinggi: Ibadah

Rasulullah saw. bersabda:

“Nikah itu sunnahku. Siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar pelampiasan cinta. Tapi sebuah bentuk ibadah. 

Artinya, pernikahan adalah jalan panjang menuju ridha Allah.

Ketika kita menikah dengan niat karena Allah, maka setiap peluh, setiap tangis, bahkan setiap luka akan bernilai pahala.

Ibadah itu tidak selalu menyenangkan. Tapi selalu mendekatkan.

Baca juga; Mengenal lebih dekat dengan seluruh istri Rasulullah

Menikah Itu Jalan Panjang Menuju Surga Bersama, Tidak Sendiri

Maka jangan menikah hanya untuk membahagiakan diri kita masing-masing. Tapi menikahlah untuk berjuang bersama.

Karena ketika dua orang saling menggenggam tangan di tengah badai, mereka akan saling menguatkan. 

Dan saat satu jatuh, yang lain akan mengangkatnya.

Menikah bukan tentang saling menyenangkan, tapi saling mengingatkan jalan ke surga.

Sebagaimana firman Allah:

"Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka."

(QS. At-Tahrim: 6)

Pernikahan adalah bahtera menuju surga. Tapi hanya akan sampai jika dua orang di dalamnya terus mendayung walau dalam keadaan lelah, luka, atau kecewa.

Baca juga: Jodoh tak akan ke mana, benarkah? 

Kesimpulan: Kalau Tujuan Menikah Untuk Bahagia, Tunggulah Sebentar Lagi

Tumbuhkan dulu bahagia dalam diri kita. Belajarlah bersyukur dalam kesendirian. 

Selesaikan dulu luka-luka masa lalu. Dan belajarlah mencintai tanpa harus memiliki.

Karena pernikahan bukan soal memiliki, tapi soal memberi.

Jika kita sudah bisa bahagia meski sendiri, maka kita akan jauh lebih siap membahagiakan orang lain dalam ikatan suci bernama pernikahan.


Posting Komentar

Posting Komentar