![]() |
Tiga batang emas murni dengan nilai 999,9, mencerminkan mahar dalam pernikahan yang menggunakan emas sebagai simbol nilai dan kesepakatan sosial. |
Oleh: Tgk. Wandi Saputra, S. Ag, (Alumni Mahad Aly Raudhatul Ma’arif Aceh)
B ulan Syawal selalu menghadirkan semarak yang khas di berbagai penjuru dunia, termasuk di Nanggroe Aceh Darussalam.
Di bulan ini, aroma keberkahan Idulfitri masih terasa hangat setelah berlalunya bulan suci Ramadhan dan nuansa suka cita pesta pernikahan yang banyak mewarnai rumah masyarakat Aceh.
Syawal memang dikenal sebagai bulan yang baik untuk menikah, mengingat Rasulullah saw sendiri melangsungkan pernikahan beliau dengan Sayyidah Aisyah ra. di bulan ini. Simak juga 5 fakta pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah
Maka, tidak heran bila banyak pasangan di Aceh memilih bulan Syawal sebagai momen suci untuk membangun rumah tangga yang diharapkan menjadi keberkahan. Baca: 5 peristiwa penting yang terjadi di bulan Syawal
Namun, di balik semarak dan kehangatan suasana itu, terdapat realita yang memprihatinkan: menurunnya angka pernikahan di kalangan masyarakat Aceh, terutama di kalangan usia muda.
Salah satu faktor utama yang menjadi penghambat adalah besarnya nilai mahar yang ditetapkan dalam adat dan praktik sosial.
Realita ini bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kegagalan masyarakat dalam menyeimbangkan nilai syariat dan simbol sosial dalam urusan pernikahan.
Menurut berbagai sumber, angka pernikahan menurut data Kemenag Aceh terjadi penurunan hampir 12% dari tahun sebelumnya.
Bahkan setiap tahun terjadi penurunan yang signifikan.
Menurut data BPS 2023, Aceh menduduki posisi kedua dengan jumlah pemuda yang belum menikah, 75,94%.
Mahar: Antara Tuntunan Syariat dan Beban Sosial
Mahar dalam Islam adalah pemberian wajib dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai bentuk penghormatan, bukan sebagai alat jual beli atau pengukur nilai perempuan. Simak juga sahkah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil?
Al-Qur’an menyebutnya sebagai “shaduqāt” yang berarti pemberian dengan niat tulus.
Dalam Surah An-Nisa ayat 4, Allah berfirman: "Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..."
Namun, seiring waktu, nilai mahar di sebagian masyarakat kita mengalami pergeseran makna.
Di banyak wilayah di Aceh, mahar tidak lagi dimaknai sebagai wujud penghormatan kepada perempuan semata, tetapi lebih kepada simbol status sosial keluarga.
Semakin tinggi nilai mahar, semakin dianggap “terhormat” status si mempelai perempuan dan keluarganya.
Padahal, paradigma ini sangat rawan memunculkan dampak negatif, terutama bagi pasangan muda yang berasal dari kalangan sederhana.
Mereka perlu menyiapkan mahar senilai 50-150 juta untuk menikahi kekasih hati.
Akibatnya, tidak sedikit pemuda Aceh yang menunda atau bahkan membatalkan niat menikah karena tidak mampu memenuhi tuntutan mahar yang tinggi.
Banyak juga yang merantau ke luar negeri untuk memenuhi tuntutan mahar itu, Malaysia sebagai tujuan favorit mengadu nasib.
Realita ini memperlihatkan bagaimana mahar yang semestinya menjadi bentuk penghormatan justru berubah menjadi beban psikologis dan finansial.
Bahkan mahar juga dijadikan bisnis yang menguntungkan bagi sebagian kalangan. Baca juga: Jodoh tak kunjung datang? Amalkan segera doa ini
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa salah satu penyebab utama kegagalan pernikahan di Aceh bukan terletak pada restu orang tua atau perasaan cinta yang pupus, melainkan pada ketidakmampuan memenuhi ekspektasi mahar yang terlalu tinggi.
Meneguhkan Kembali Nilai Kesederhanaan dalam Mahar
Dalam konteks ini, sikap para pemangku adat di Aceh seharusnya memerhatikan kegelisahan ini.
Seharusnya mereka mulai menetapkan batas maksimal mahar layak diapresiasi dan didukung penuh.
Gagasan untuk membatasi mahar bukan bertujuan merendahkan nilai perempuan, melainkan mengembalikan esensi mahar sesuai tuntunan Islam: sederhana, terjangkau, dan bermakna.
Salah satu contoh nyata yang perlu dijadikan contoh adalah ketetapan masyarakat adat di Aceh Selatan, khususnya di Desa Simpang Dua, yang menetapkan mahar hanya sebanyak tiga mayam emas (9.9 Gram) — tanpa boleh lebih atau kurang—baik bagi yang berasal dari keluarga kaya maupun miskin.
Langkah ini bukan hanya bijak secara sosial, tetapi juga selaras dengan semangat syariat.
Ketentuan ini telah berhasil menciptakan kesetaraan dan menghapuskan tekanan sosial yang sebelumnya mengakar kuat.
Dengan adanya ketentuan yang seragam, masyarakat tidak lagi terjebak dalam kompetisi simbolik mengenai “berapa mahar” yang diberikan. Baca juga: Jangan salah pilih pasangan! Perhatikan 4 kriteria ini agar tidak diremehkan istri.
Hal ini turut memulihkan niat tulus para pemuda dan pemudi untuk menikah, tanpa merasa terhalang oleh persoalan biaya.
Aturan ketetapan maksimal mahar di Desa Simpang Dua sudah berlaku sejak zaman dahulu sampai saat ini.
Merupakan hal yang patut diapresiasi, dan dijadikan contoh bagi masyarakat adat di daerah lainnya.
Sikap masyarakat Simpang Dua ini menunjukkan bagaimana hukum adat dapat bersinergi dengan nilai-nilai Islam untuk menghadirkan solusi yang kontekstual dan aplikatif.
Di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang beragam, penetapan batas maksimal mahar menjadi langkah strategis untuk menjawab tantangan zaman, tanpa mengabaikan nilai-nilai luhur dalam pernikahan.
Lebih-lebih nilai rupiah yang makin merosot, berbanding harga emas yang makin menjulang.
Menjaga Martabat Tanpa Membebani
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kalangan berpendapat mahar adalah bentuk penghargaan yang seharusnya disesuaikan dengan kondisi keluarga, bahkan kadang dijadikan sarana untuk menunjukkan kelas sosial.
Namun, sejauh mana ukuran material dapat mewakili penghargaan sejati terhadap perempuan?
Islam tidak pernah mengajarkan bahwa nilai perempuan ditakar dari mahalnya mahar.
Bahkan, Rasulullah saw. sendiri menikahkan putri beliau, Fatimah Az-Zahra ra. dengan mahar yang sangat sederhana. Simak juga; buah ketulusan Sayyidah Fatimah dan hadiah dari surga pada hari Idulfitri
Sebagian riwayat menyebutkan hanya berupa baju besi yang seharga 500 Dirham (1500g perak murni).
Apakah kita merasa lebih mulia dari keluarga Rasul, sehingga merasa layak untuk menetapkan mahar yang memberatkan?
Kita perlu kembali mengedepankan prinsip-prinsip syariat dalam memandang mahar.
Bahwa penghormatan kepada perempuan tidak harus diwujudkan dalam bentuk nominal besar, melainkan dalam bentuk kesungguhan niat, tanggung jawab, dan kesiapan membangun keluarga sakinah.
Inilah nilai yang justru paling mahal, dan tak bisa dibeli dengan emas seberat apapun.
Namun, bagi pemuda yang memiliki finansial yang lebih tidak dilarang untuk memberi mahar dengan jumlah yang signifikan.
Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. memberi mahar 400 Dinar. Baca juga: pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah sebagai bentuk pembungkaman terhadap orang kafir
Penutup: Mengembalikan Fungsi Sosial Mahar Secara Proporsional
Sudah saatnya masyarakat Aceh secara kolektif merefleksikan kembali nilai-nilai yang melekat dalam tradisi mahar.
Bila mahar dijadikan alat ukur status, maka kita telah menyimpang dari semangat Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kesederhanaan, dan kasih sayang.
Langkah-langkah konkret seperti yang dilakukan masyarakat Desa Simpang Dua perlu menjadi inspirasi bagi gampong-gampong lainnya di Aceh.
Penetapan batas mahar secara kolektif bukanlah bentuk pemaksaan, tetapi wujud kepedulian sosial demi menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.
Dengan semangat kembali kepada syariat dan akhlak yang mulia, mari jadikan mahar sebagai simbol cinta yang tulus dan penghargaan yang hakiki—bukan sebagai beban yang menghalangi jalan menuju kehidupan rumah tangga yang diridhai Allah SWT.
Posting Komentar