![]() |
Apakah Benar Hadis Rawan Kesesatan? |
Oleh: Muhammad Busro HS, S.Ag*
D
ewasa ini, tentu kita sering mendengar slogan dari
sebagian publik figur yang mengatakan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.” Slogan
ini tentu tidak asing lagi bagi kita, baik di media sosial maupun media
lainnya. Bahkan ada juga sebagian ulama yang mengatakan hadis rawan kesesatan.
Lalu bagaimanakah maksud dan kedudukan slogan tersebut?
Apakah pernyataan di atas dapat dibenarkan? Di sini penulis akan menjelaskan
sedikit pembahasan agar tidak gagal paham mengenai hal ini.
Mari simak penjelasan berikut...
Pengertian Hadis
Secara bahasa hadis dapat diartikan dengan sesuatu yang
baru atau lawan dari kata qadim (kekal). Sedangkan secara terminologi, Syeikh
Hafizh Hasan al-Mas’udi menjelaskan definisi hadis dengan:
ما أضيف إلى
النبي صلى الله عليه وسلم قولا أو فعلا أو تقريرا أو صفة
“Sesuatu
yang dinisbatkah kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan, pengakuan maupun sifat.”
Pengertian Sesat
Sesat atau dhalalah dapat diartikan dengan:
سلوك الطريق
الموصل إلى غير المطلوب
“Menempuh jalan yang tidak sampai kepada tujuan.”
Slogan Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis
Secara substansi, pernyataan “Kembali kepada Al-Qur’an
dan Hadis.” dapat dibenarkan. Namun bila dilihat hanya dari sisi tekstualnya, pernyataan
ini perlu ditinjau ulang. Mari ikuti penjelasan berikut.
Pembenaran Slogan
Pembenaran terhadap slogan tersebut, dapat dilihat dari
sisi bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا مَسَكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ نَبِيّهِ
“Aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang tidak akan
pernah kalian sesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Al-Qur’an
dan Hadis.”
Dan juga pembenaran slogan dapat dilihat dari sisi bahwa sekalian
dalil selain Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi sumber hukum, hakikatnya juga
bersumber dari Al-Qu’an dan Hadis. Baca Juga: Sering Merasa Cemas? Amalkan Segera Doa Ini
Contohnya seperti ijma’. Sebuah hukum yang dikategorikan
hasil ijma’, ketika terjadi persamaan pendapat para ulama mujtahid, yang mana
para mujtahid menggali hukum tersebut dari Al-Qu’ran dan Hadis. Sebagaimana
ijma’ didefinisikan dengan:
هو اتفاق مجتهدي
الأمة بالقول أو الفعل أو التقرير
“Kesepakatan para mujtahid dalam perkataan, perbuatan,
atau pengakuan.”
Tinjauan Ulang Slogan
Jika dilihat hanya dari tekstualnya saja, slogan di atas
perlu ditinjau ulang. Karena untuk memahami Al-Qur’an dan Hadis memerlukan
kapasitas yang mumpuni, yakni memerlukan berbagai keilmuan serta pemahaman yang
mendalam untuk dapat memahami isi kandungan dari Al-Qur’an dan Hadis, yaitu para
mujtahid.
Artinya, seseorang yang hanya mengetahui beberapa
keilmuan saja serta pemahaman yang dangkal, belum mampu untuk memahami isi
kandungan Al-Qur’an dan Hadis. Peluang mujtahid tentu masih terbuka lebar
hingga hari kiamat. Namun kapasitas yang diperlukan untuk menjadi seorang
mujtahid sangat sulit ditemukan.
Hadis Rawan Kesesatan
Syeikh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan pernyataan Ibnu
Uyainah di dalam kitabnya Fatawa Haditsiyah yang mengatakan:
الحديثُ مَضَلَّةٌ
إلا للفُقَهاءِ
“Hadits itu merupakan rawan kesesatan kecuali bagi para
Fuqaha`.”
Syeikh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Hadits itu sama
seperti Al-Qur’an, terkadang memiliki pemahaman yang umum secara tekstual,
namun khusus secara substansinya atau sebaliknya. Al-Qur’an dan Hadis juga
terdapat Nasikh dan Mansukh, ada pula yang problematis yang memerlukan
perumpamaan untuk memahaminya dan lain-lain. Baca Juga: Kisah Ibnu Hajar Menimba Emas di Sumur Zam-Zam
Hal ini hanya dapat diketahui oleh para fuqaha, yakni
para ulama yang memiliki kapasitas dalam memahaminya. Maka hadis dapat
menyesatkan bagi seseorang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam
memahami isi kandungannya.
Di sini lah letak perannya para ulama, dengan perjuangan
mereka dalam menyalurkan ilmu agama di berbagai karyanya, melalui murid yang
telah diajarkan, generasi ke generasi, dan juga tulisan dan karangan yang telah
mereka tulis, khususnya karya-karya yang dapat kita saksikan sekarang.
Dan yang perlu digarisbawahi dan tak dapat dipungkiri bahwa kita tidak akan mengetahui bahwa nash Al-Qur’an itu adalah al-Qur’an, tanpa penyampaian dan penjelasan dari para ulama sebelumnya.
Begitu juga dengan
redaksi hadis, kita tidak akan mengetahui bahwa itu merupakan hadis, tanpa penjelasan
dan penyampaian dari mereka. Karena kita hidup di abad yang sangat jauh setelah
masa kenabian.
Rujukan Hukum
Seseorang yang telah mempelajari dan memahami berbagai
disiplin ilmu, walaupun bertahun-tahun, belum tentu memiliki kapasitas dalam
memahami isi kadungan Al-Qur’an dan Hadis, apalagi orang-orang awam.
Sepatutnya bagi orang awam untuk mengikuti uraian dari
para mujtahid yang telah disampaikan oleh para ulama yang telah diakui
kebenarannya, baik dalam bentuk tulisan maupun yang lainnya. Karena fatwa para
mujtahid bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid.
Sebagaimana Imam al-Syathibi mengungkapkan di dalam kitabnya, al-Muwafaqat:
فتاوى المجتهدين
بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين
“Fatwa para mujtahid bagi orang awam itu ibarat dalil
syar’i bagi para mujtahid.”
Sebagian ulama mengatakan:
قول المجتهد
بالنسبة إلى العوام كالنص بالنسبة إلى المجتهدين
“Pendapat para mujtahid bagi orang awam itu ibarat nash
syara’ bagi para mujtahid.”
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa ulama yang memiliki kapasitas untuk menjadi seorang mujtahid, sangat sulit ditemukan. Karena itu, dapat dipahami dari maksud ungkapan Imam Syathibi dan ulama lainnya di atas, bahwa posisi para ulama yang telah diakui kebenarannya sama seperti mujtahid bagi orang awam sebagai rujukan untuk memahami segala hukum.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Sumber: Fatwa Haditsiyah, Ghayah al-Wushul, Al-Muwafaqat, dan Minhah al-Mughits.
*Penulis adalah mahasantri Marhalah Tsaniyah (pasca sarjana) Ma’had Aly MUDI. Beliau saat ini aktif menulis seputar keilmuan dalam berbagai disiplin ilmu yang dikaji pada umumnya di pondok pesantren. Silakan mampir ya di Rujukan Santri.
Posting Komentar