aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Benarkah Hewan Qurban Jadi Kendaraan di Shirath? Mengoreksi Kekeliruan yang Mengakar

Seorang anak perempuan menaiki kerbau di tengah sawah berlumpur, menggambarkan keyakinan populer bahwa hewan qurban akan menjadi tunggangan di shirath.

S etiap tahun, jutaan umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah qurban sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt. 

Namun, di balik semangat berqurban ini, beredar sebuah kepercayaan yang cukup populer di tengah masyarakat: 

"Hewan qurban akan menjadi kendaraan untuk melewati Shirath di akhirat."

Bayangkan, Anda menyembelih hewan qurban dengan penuh harap, yakin bahwa kelak ia akan menjadi kendaraan Anda melintasi Shirath yang mengerikan. 

Tapi, bagaimana jika keyakinan itu ternyata tidak memiliki dasar yang kuat dalam Islam? 

Bagaimana jika kita selama ini terbuai oleh hadis yang bahkan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya?

Inilah saatnya kita mengoreksi pemahaman keagamaan yang keliru tapi telanjur membudaya. 

Simak juga; Meluruskan pemahaman terhadap pembelahan dada Rasulullah

Bukan untuk mengurangi semangat beribadah, melainkan justru agar kita kembali kepada ajaran yang murni dan bersumber dari dalil yang shahih. 

Salah satu anggapan yang cukup populer di tengah masyarakat adalah bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya saat melewati Shirath di akhirat kelak.

Mari kita bahas tuntas pandangan para ulama hadis, keabsahan riwayat yang dijadikan sandaran, serta dampaknya terhadap pemahaman umat tentang makna sebenarnya dari berqurban.

Simak juga; Bolehkah wanita menyembelih hewan kurban? 

Benarkah Qurban Menjadi Kendaraan di Shirath atau Hanya Mitos?

Keyakinan  dan anggapan bahwa hewan qurban menjadi kendaraan di atas Shirath merujuk pada sebuah sumber hadis yang berbunyi:

عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ

Artinya: "Muliakanlah hewan qurban kalian, karena ia akan menjadi kendaraan kalian di atas Shirath."

Hadis ini sering dikutip dalam ceramah, media sosial, bahkan buku keagamaan. 

Namun, apakah hadis ini benar-benar berasal dari Rasulullah saw?

Sepintas, hadis ini sangat menggetarkan hati dan mampu memotivasi orang untuk berqurban. 

Tapi, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah hadis ini benar-benar sahih? 

Kalau tidak shahih, di mana level hadis ini dalam Islam? 

Komentar dan Penilaian Kritis oleh Para Ulama Ahli Hadis 

Para ulama hadis terkemuka telah meneliti hadis ini dan memberikan penilaian kritis terhadap keabsahannya.

1. Al-Imam Ibnu Shalah

Dalam kitab Syarh Musykil al-Wasith, beliau tegas menyatakan:

"Hadis ini tidak dikenal, bahkan sejauh yang saya ketahui, hadis ini tidak ada."

Pernyataan ini sangat tegas. Tidak hanya menyebut hadis ini lemah, namun tidak ada dalam sumber hadis yang terpercaya.

Kalimat yang tajam ini cukup untuk membuat kita meragukan validitas hadis tersebut.

Simak juga: Sahkah seekor kambing atau sapi disembelih untuk kurban dan aqiqah sekaligus? 

2. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani

Salah satu ulama hadis paling dihormati ini menyatakan:

"Saya belum pernah menemukan hadis ini. Hadis ini disebutkan dalam kitab al-Wasith dan Nihayat al-Mathlab. Maknanya adalah hewan qurban menjadi kendaraan bagi orang-orang yang berqurban."

Ibnu Hajar kemudian menyebutkan satu-satunya versi hadis yang memiliki sanad yaitu dari Musnad al-Firdaus. 

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak, dari Yahya bin Ubaidillah bin Mauhab, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu: 

اسْتَفْرِهُوا ضَحَايَاكُمْ؛ فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاط

"Pilihlah hewan qurban yang baik, karena ia adalah kendaraan kalian di atas Shirath."

Namun, hadis ini diriwayatkan melalui jalur yang lemah yaitu sanad hadis ini mengandung perawi bernama Yahya bin Ubaidillah, yang dikenal sangat lemah (dhaif jiddan).

Baca juga: Kisah Ibnu Hajar menimba emas dari sumur zamzam karena istri

3. Al-Imam Ibnul ‘Arabi

Dalam Syarh al-Tirmidzi, beliau bahkan menyatakan:

"Seluruh hadis tentang keutamaan berqurban adalah dhaif. Di antara hadis-hadis itu adalah hadits: Sesungguhnya ia (qurban) adalah kendaraan kalian menuju surga."

Kenapa Hadis Dhaif Tidak Bisa Dijadikan Sandaran?

Pertanyaan penting yang muncul adalah bolehkah menyebarkan hadis ini untuk menyemangati orang berqurban, karena termasuk fadhail a‘mal (keutamaan amal)?

Banyak yang berdalih bahwa hadis dhaif masih bisa diamalkan untuk fadhail a‘mal (keutamaan amal). 

Tapi, ada syarat yang ketat untuk itu. Dalam kaidah ilmu hadis, hadis dhaif boleh diamalkan untuk fadhail a‘mal hanya jika:

  1. Hadis tidak terlalu lemah (bukan dhaif jiddan).
  2. Tidak berkaitan dengan akidah atau hukum halal-haram.
  3. Tidak diyakini sebagai sabda mutlak Nabi.

Sayangnya, hadis tentang "kendaraan di Shirath" ini masuk kategori sangat lemah bahkan oleh sebagian ulama dianggap tidak ada asalnya. 

Baca juga: Pilih hadis atau mazhab Ulama? 

Maka, menyebarkannya dengan keyakinan bahwa itu sabda Nabi justru bisa menjadi bentuk penyebaran kebohongan atas nama Rasulullah.

Oleh karena itu, tidak layak diamalkan atau pun disebarluaskan, karena berpotensi menyesatkan umat dan mengaburkan nilai sejati dari ibadah qurban.

Tokoh Besar Seperti Imam Ghazali Pernah Menyebut Hadis Ini?

Menariknya, hadis ini pernah dikutip oleh beberapa ulama besar. 

Hadis ini dikutip dalam beberapa kitab ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Imam Ar-Rafi’i, dan Imam Ibnu Rifa’ah. 

Namun, penting untuk dipahami bahwa para ulama fikih berbeda tugasnya dengan ulama hadis. 

Mereka mengutip banyak hadis dari sumber yang tersedia, namun tidak semuanya mereka takhrij dan verifikasi tingkat keshahihannya.

Maka, klaim bahwa hadis ini "sudah disebut ulama besar" bukan jaminan bahwa hadis itu shahih.

Baca juga: Alasan ilmiah kenapa lebih diunggulkan Imam Nawawi atas Imam Rafi'i

Mengapa Ini Harus Diluruskan?

Keyakinan yang telah mengakar kuat dalam pemahaman masyarakat perlu diluruskan. 

Hal ini bisa berdampak dan membawa konsekuensi serius seperti;

  • Mengurangi semangat berqurban setiap tahun. Banyak orang merasa cukup berqurban sekali seumur hidup karena sudah merasa "punya kendaraan ke surga".
  • Menanamkan akidah yang tidak berdasar. Hal ini bisa merusak aqidah umat yang seharusnya dibangun di atas dalil shahih.
  • Menghalangi pemurnian agama. Islam yang murni dibangun dari dalil yang kuat, bukan dari kisah-kisah motivatif tanpa dasar.

Hadis Shahih Tentang Keutamaan Qurban

Alih-alih menyebarkan hadis lemah apalagi sampai pada taraf palsu, mari kita sebarkan hadis-hadis yang shahih dan menggetarkan hati. 

Salah satunya adalah hadis dari Imam al-Hakim yang sanadnya shahih. 

قَالَ صلى الله عليه وسلم لِفَاطِمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: قومي إلى أضحيتكِ فاشهديها؛ فإنه بأول قطرة من دمها يُغفر لكِ ما سلف من ذنوبكِ

Artinya: Rasulullah saw. berkata wahai Fathimah, bangkitlah menuju hewan qurbanmu dan saksikanlah (penyembelihannya), karena setiap tetesan darah darinya, dosamu yang telah lalu akan diampuni." 

(Hasyiyah Al-Bajuri, jilid 4, hal. 361)

Hadis ini memiliki sanad yang shahih dan maknanya juga luar biasa. 

Ini menunjukkan bahwa berqurban adalah amal besar yang mampu menghapus dosa.

Baca juga: Kisah Sayyidah Fatimah mendapatkan hadiah dari surga pada hari raya

Sunnah Qurban Bukan Sekali Seumur Hidup

Kesalahan lain yang lahir dari mitos kendaraan Shirath ini adalah anggapan bahwa qurban cukup dilakukan sekali saja. Ini keliru besar. 

Sunnah Nabi Muhammad saw. adalah berqurban setiap tahun.

Nabi Muhammad saw. berqurban setiap tahun hingga beliau wafat.

Jika beliau saja yang sudah dijamin masuk surga masih rutin berqurban setiap tahun, bagaimana dengan kita?

Penutup: Prioritaskan Hadis Shahih, Tinggalkan yang Lemah

Mulai saat ini jangan lagi menyebarkan hadis palsu atau lemah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Agama bukan cerita motivasi kosong. Agama adalah ajaran suci yang harus dijaga keasliannya.

Berqurbanlah karena Allah. Berqurbanlah karena sunnah Rasul. 

Bukan karena janji "naik kendaraan di Shirath" yang tidak pernah benar-benar dijanjikan seperti pemahaman yang telah mengakar ini

Kita butuh kemurnian ajaran, bukan penghiburan semu. 

Dan itu dimulai dari menyebarkan kebenaran yang bersumber dari dalil shahih. 

Karena Islam tidak butuh mitos, Islam butuh umat yang berilmu.

Maka, mari kita bangun pemahaman yang benar dalam masyarakat dengan menyebarkan hadis-hadis shahih, bukan mitos atau riwayat yang lemah. 

Qurban bukan sekadar simbol, melainkan manifestasi dari ketaatan dan cinta kepada Allah SWT.

Referensi

1. Mughni al-Muhtaj jilid 6 hal 122
وذكر الرافعي وابن الرفعة «عظموا ضحاياكم فإنها على الصراط مطاياكم» لكن قال ابن الصلاح: إنه غير ثابت.

2. Ibnu Salah, Syarah musykil al-wasith jilid 4 hal 199
ومن كتاب الضحايا
حديث (عظموا ضحاياكم، فإنها على الصراط مطاياكم) (١) حديث غير معروف، ولا ثابت فيما علمناه (٢). والله أعلم. وقد قال شيخه (٣) في تفسيره، قيل: تهيأ مراكب للمضحين (٤) يوم القيامة. وقيل: المراد أن التضحية بها تسهل الجواز على الصراط. والله أعلم.

3. Ibnu hajar Al-'asqalani, al-Talkhisul Habir jilid 4 hal 341
ومن كتاب الضحايا
حَدِيثُ: «عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ؛ فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ»، لَمْ أَرَهُ، وَسَبَقَهُ إلَيْهِ فِي «الْوَسِيطِ»، وَسَبَقَهُمَا فِي «النِّهَايَةِ»١، وَقَالَ مَعْنَاهُ: إنَّهَا تَكُونُ مَرَاكِبَ الْمُضَحِّينَ.
وَقِيلَ: إنَّهَا تُسَهِّلُ الْجَوَازَ عَلَى الصِّرَاطِ.
قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ: هَذَا الْحَدِيثُ غَيْرُ مَعْرُوفٍ وَلَا ثَابِتٌ فِيمَا عَلِمْنَاهُ، انْتَهَى.
وَقَدْ أَشَارَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ إلَيْهِ فِي «شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ» بِقَوْلِهِ: لَيْسَ فِي فَضْلِ الْأُضْحِيَّةِ حَدِيثٌ صَحِيحٌ، ومنها قوله: «إنها مطايكم إلَى الْجَنَّةِ».
قُلْت: أَخْرَجَهُ صَاحِبُ «مُسْنَدِ الْفِرْدَوْسِ» مِنْ طَرِيقِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: اسْتَفْرِهُوا ضَحَايَاكُمْ؛ فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ، وَيَحْيَى ضَعِيفٌ جِدًّا.

4. Minhalul Lathif hal 67
حكم الحديث الضعيف:
أولاً: الحديث الضعيف لا يُعمَلُ به في العقائد والأحكام، ويجوز العمل به في الفضائل، والترغيب والترهيب، وذِكْرِ المناقب، وهذا هو المعتمد عند الأئمة ، وإلا فإنَّ في المسألة خلافاً، مع أنَّ الَّذِينَ أجازوا العمل به ؛ جعلوا لذلك شروطاً ذكرها الحافظ ابن حجر وهي:
( 1 ) أن يكون في الفضائل العملية كما تقدم .
( ۲ ) أن لا يشتد ضعفه، فلا يُعمَلُ بما انفرد بهِ الكَذَّابُ والمتهم بالكذب، وَمَنْ فَحُشَ غلطه
( ٣ ) أن يندرج تحت أصل معمول به .
( ٤ ) أن لا يُعتقد عند العمل به ثبوتُه، بل يُعتقد الاحتياط
هذا؛ وقد نص على قبول الضعيف في الفضائل الإمام النووي في ( التقريب ) ، والعراقي في (شرحه على الفيَّتِهِ» ، وابْنُ حَجَرٍ العسقلاني في (شرح النخبة)، والشيخ زكريا الأنصاري في شرح ألفية العراقي، والحافظ السيوطي في التدريب, وابنُ حَجَرٍ المكي في (شرحه على الأربعين) »


(Dikembangkan dari tulisan Tgk. Muhammad Abdullah dalam channelnya Secangkir Kopi Santri

Posting Komentar

Posting Komentar