![]() |
Masjid Nabawi di Madinah dengan kubah hijau yang ikonik dan menara-menara menjulang di bawah langit biru cerah, tempat adzan terakhir Bilal bin Rabah dikumandangkan. |
B ilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad saw, yang namanya akan selalu abadi dalam sejarah Islam.
Ia dikenal sebagai muadzin pertama dalam Islam, seorang sahabat setia yang memiliki suara indah dan menggetarkan jiwa saat mengumandangkan adzan.
Namun, tahukah Anda bahwa ada sebuah kisah yang begitu mengharukan tentang adzan terakhir yang dikumandangkan oleh Bilal bin Rabah?
Simak juga: 10 kondisi yang disunnahkan azan selain waktu Shalat
Kisah ini bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga sarat makna tentang cinta, rindu, dan kesetiaan kepada Rasulullah saw.
Siapakah Bilal bin Rabah?
Bilal adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (Ethiopia) yang memeluk Islam di masa awal dakwah.
Ia disiksa oleh majikannya karena keimanannya, tetapi tetap tegar mengucapkan "Ahad, Ahad!" tanda keteguhan tauhidnya.
Bilal kemudian dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, dan menjadi salah satu sahabat paling dekat dengan Rasulullah saw.
Bilal (5 Maret 580 — Maret 640) wafat di Syam dalam usia sekitar 60 tahun. Kata-kata terakhir yang keluar dari lisannya adalah:
"Besok aku akan bertemu dengan Muhammad dan para sahabatnya!"
Subhanallah, betapa rindunya Bilal kepada Rasulullah saw. Semoga Allah meridhainya.
Simak juga: Kisah nyata dicium Rasulullah dalam mimpi
Bilal bin Rabah: Muadzin yang Menggetarkan Madinah
Bilal bin Rabah adalah budak yang dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. karena keimanannya yang kokoh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ia menjadi salah satu sahabat yang paling dicintai Rasulullah.
Suara adzan Bilal mampu menembus dinding hati kaum muslimin di Madinah, membangkitkan semangat ibadah, dan menjadi panggilan yang penuh keberkahan.
Setiap kali ia mengumandangkan adzan, para sahabat merasa seolah-olah Rasulullah saw. masih hidup dan menyaksikan mereka bersiap-siap untuk salat.
Namun semua itu berubah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
Baca juga: 5 Keistimewaan bernama Muhammad
Saat Rasulullah Wafat, Suara Adzan Bilal Terdiam
Ketika Rasulullah saw. wafat, dunia Bilal berubah.
Duka yang menyelimuti dirinya begitu mendalam.
Ia merasa kehilangan sosok yang bukan hanya pemimpin, tetapi juga kekasih sejati dalam iman.
Dalam kesedihan yang mendalam itu, Bilal bin Rabah menghadap Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan meminta izin untuk tidak lagi mengumandangkan adzan.
"Wahai Abu Bakar, izinkan aku berhenti menjadi muadzin. Aku tidak sanggup lagi menyebut nama Rasulullah dalam adzan. Terlalu berat bagiku."
Abu Bakar yang juga sedang dirundung duka akhirnya mengizinkannya.
Bilal pun memutuskan untuk meninggalkan Madinah dan menetap di Syam (sekarang wilayah Suriah).
Sejak saat itu, suara adzan Bilal tidak pernah terdengar lagi di kota Nabi.
Simak juga: 8 Pesan dari Al-Quran ketika hidup terpuruk
Rindu yang Tak Tertahankan: Madinah Merindukan Suara Adzan Bilal
Waktu terus berjalan, namun kerinduan kaum muslimin di Madinah kepada suara adzan Bilal semakin dalam.
Bukan sekadar rindu pada suara indah itu, tetapi rindu akan masa-masa penuh keberkahan ketika Rasulullah saw. masih bersama mereka.
Simak juga: Semangat rindu memenuhi harapan Ayah dan Ibu
Banyak dari sahabat dan penduduk Madinah yang berharap agar Bilal bersedia kembali dan mengumandangkan adzan meski hanya sekali.
Sayangnya, Bilal tetap menolak setiap permintaan tersebut.
Hatinya masih terlalu pilu. Setiap lafadz adzan yang ia kumandangkan selalu membuatnya terbayang akan sosok Rasulullah saw. yang tak lagi bersamanya.
Umar bin Khattab Membujuk Sang Muadzin
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang tengah berada di Syam menyempatkan diri untuk menemui Bilal.
Ia mengetuk pintu rumah sahabat lamanya itu, lalu berkata dengan penuh harap:
"Wahai Bilal, umat Islam di Madinah sangat merindukanmu. Mereka ingin mendengarkan lantunan adzanmu sekali lagi. Suaramu telah menyentuh hati mereka selama bertahun-tahun. Sudikah engkau mengabulkan permintaan ini?"
Namun Bilal kembali menolak dengan mata berkaca-kaca.
Baginya, mengumandangkan adzan tanpa kehadiran Rasulullah adalah luka yang terus menganga.
Ia merasa belum siap untuk membangkitkan kembali kenangan-kenangan itu.
Mimpi yang Mengubah Segalanya
Waktu berlalu. Hingga suatu malam, Bilal bermimpi.
Dalam tidurnya, ia melihat Rasulullah saw. datang menghampirinya dengan wajah penuh kasih.
"Wahai Bilal, mengapa engkau tidak mengunjungiku?"
Mimpi itu mengguncang hati Bilal. Ia terbangun dalam linangan air mata.
Kerinduan yang selama ini ia pendam meledak seketika.
Baca juga: Fakta jarang diketahui tentang Ayah Nabi Muhammad
Ia merasa inilah saatnya untuk kembali ke Madinah, bukan untuk menetap, melainkan untuk menuntaskan sebuah kerinduan yang lama terpendam.
Pertemuan dengan Hasan dan Husain
Sesampainya di Madinah, Bilal disambut hangat oleh para sahabat dan penduduk kota.
Ia lalu mengunjungi makam Rasulullah saw. dan menangis tersedu-sedu.
Di sana, ia juga bertemu dengan cucu-cucu kesayangan Nabi, yakni Hasan dan Husain r.a.
Simak juga: Mengenal lebih dekat dengan seluruh cucunya Nabi Muhammad
Salah satu dari mereka berkata dengan polos namun menyayat hati:
"Paman, maukah engkau adzan sekali saja untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami."
Permintaan polos itu menembus pertahanan hati Bilal.
Ia memandang langit sejenak, lalu mengangguk dengan lirih.
Umar bin Khattab yang ada di tempat itu pun menatapnya haru. Inilah saat yang ditunggu-tunggu.
Simak juga: Buah keteguhan Sayyidah Fatimah mendapat hadiah dari surga untuk cucu Nabi
Adzan Terakhir Bilal: Tangisan Seluruh Madinah
Bilal pun naik ke tempat adzan seperti yang biasa ia lakukan dahulu.
Ia menarik napas panjang, lalu mulai mengumandangkan:
"Allahu Akbar, Allahu Akbar..."
Seisi kota Madinah terdiam. Suara yang telah lama hilang itu kembali menggema. Aktivitas terhenti.
Pedagang menghentikan jual-beli, anak-anak berhenti bermain, bahkan unta-unta pun diam tak bergerak.
"Asyhadu alla ilaha illallah..."
Tangis mulai terdengar dari sudut-sudut kota. Orang-orang berlarian mencari sumber suara.
Mereka yakin, suara itu hanya bisa datang dari satu orang yaitu Bilal bin Rabah, muadzin Rasulullah saw.
"Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah..."
Pada lafadz ini, suara Bilal mulai parau. Tubuhnya gemetar.
Ia terisak saat menyebut nama kekasih yang begitu ia rindukan.
Tangisnya pecah, dan ia tak sanggup melanjutkan adzan.
Tangisan Bilal pun menjadi tangisan semua orang.
Seolah seluruh Madinah kembali menghidupkan kenangan manis bersama Rasulullah.
Hati yang rindu pun meledak dalam air mata.
Pelajaran dari Adzan Terakhir Bilal bin Rabah
Kisah adzan terakhir Bilal bin Rabah bukan hanya tentang suara yang indah, tetapi tentang cinta yang tulus dan keikhlasan hati seorang sahabat.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa:
- Cinta kepada Rasulullah saw. bukan sekadar lisan, tetapi perasaan yang mendalam hingga mengguncang jiwa.
- Bilal bin Rabah adalah simbol kesetiaan, perjuangan, dan kerinduan umat kepada Nabi Muhammad saw.
- Adzan bukan hanya panggilan salat, tapi juga simbol kecintaan dan semangat spiritual umat Islam.
- Kenangan bersama orang yang dicintai bisa hidup kembali lewat suara, tempat, dan momen spiritual.
Akhir Hayat Bilal bin Rabah
Setelah peristiwa itu, Bilal kembali ke Syam dan menetap di sana hingga wafat.
Ia meninggal dalam keadaan tenang, dan umat Islam di seluruh penjuru dunia mengenang namanya sebagai salah satu sahabat agung yang paling setia kepada Rasulullah saw.
Bilal telah mewariskan kepada kita suara-suara yang penuh iman, kisah yang menggetarkan, dan jejak yang tak akan pernah pudar dalam sejarah Islam.
Penutup
Demikianlah kisah mengharukan adzan terakhir Bilal bin Rabah, muadzin setia Rasulullah saw.
Kisah ini tak hanya menginspirasi, tapi juga menyentuh hati siapa saja yang merindukan Rasulullah.
Mari kita terus mengenang dan mengambil pelajaran dari kisah para sahabat, agar cinta kita kepada Nabi Muhammad saw. semakin tumbuh dan kokoh di dalam hati.
Posting Komentar