![]() |
Seorang pelari mengikat tali sepatu di lintasan lari, mencerminkan semangat gaya hidup sehat antara tren media sosial dan realitas keseharian. |
Oleh: Muhammad Khalidin
H ari ini, istilah gaya hidup sehat telah mengalami pergeseran makna yang mencolok.
Ia bukan lagi sebatas upaya menjaga keseimbangan tubuh dan jiwa, melainkan simbol status baru yang dikurasi dengan sangat visual di media sosial.
Di Instagram dan TikTok, kita disuguhi potret smoothie bowl dengan hiasan chia seed, wajah berseri usai workout di rooftop gedung, atau tubuh ramping hasil lari pagi yang diabadikan dengan kutipan motivasi spiritual.
Namun di balik semua itu, tersimpan pertanyaan yang tak nyaman: benarkah semua ini adalah komitmen nyata terhadap hidup sehat, ataukah hanya bagian dari panggung pencitraan digital yang semakin tak menyentuh realitas kebanyakan orang?
Fenomena gaya hidup sehat kini telah menjadi industri yang digerakkan oleh kapitalisme gaya baru.
Ia dikemas dalam bentuk konten, dipoles sebagai estetika, dan dijual sebagai kebutuhan eksklusif.
Produk-produk dengan label organik, gluten-free (makanan tanpa protein gluten), low carb (rendah karbohidrat), hingga plant-based (makanan yang berasal dari tumbuhan) dipasarkan dengan harga yang tak semua orang bisa jangkau.
Kelas workout virtual hingga sepatu lari edisi terbatas dipatok dengan biaya fantastis.
Sementara itu, masyarakat kelas bawah yang bahkan belum mampu memenuhi gizi dasar, apalagi konsultasi dengan psikolog, justru semakin terasing dari narasi hidup sehat yang kerap digaungkan.
Inilah bentuk ketimpangan baru yang jarang disorot: ketimpangan dalam akses terhadap gaya hidup sehat.
Dalam sebuah masyarakat yang belum merata secara ekonomi dan pendidikan, kampanye hidup sehat yang bersifat individualistik justru menciptakan tekanan tersendiri.
Seseorang bisa merasa bersalah karena tidak rutin workout, tidak bisa beli oat milk, atau tidak sempat lari pagi karena harus berangkat kerja subuh.
Baca juga: Jangan rebahan! Ini doa keberkahan dari Nabi di waktu pagi
Padahal, di balik semua itu, mereka mungkin sedang bekerja dua shift demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya.
Mereka bukan tidak sehat karena malas, tapi karena sistem memaksa mereka bertahan hidup dari satu kelelahan ke kelelahan lain.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat bahwa lebih dari 25 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dan sebagian besar dari mereka tidak punya pilihan makanan selain karbohidrat murah yang mengenyangkan namun tidak bergizi.
Di sisi lain, harga buah dan sayur organik melonjak tajam.
Akses terhadap layanan kesehatan mental juga tidak merata—rasio tenaga kesehatan jiwa di Indonesia hanya 0,3 per 100.000 penduduk, berdasarkan laporan WHO.
Artinya, ketika sebagian orang menyarankan healing dan self-care, jutaan lainnya bahkan tidak punya ruang untuk bernapas tenang.
Ironisnya, gaya hidup sehat yang seharusnya menjadi gerakan perbaikan hidup justru menjadi gaya hidup eksklusif.
Alih-alih membebaskan, ia justru menekan. Alih-alih menyembuhkan, ia menciptakan standar baru yang hanya bisa dicapai mereka yang punya cukup waktu, uang, dan pengetahuan.
Mereka yang tidak bisa mengikutinya akan dianggap “belum sadar”, “belum melek kesehatan”, bahkan “gagal mencintai diri sendiri”.
Bahasa-bahasa semacam ini tampak progresif, tapi diam-diam menyalahkan korban atas situasi yang tidak mereka ciptakan.
Realitasnya, hidup sehat tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial.
Baca juga: 5 cara meningkatkan daya ingat
Kita tidak bisa memisahkan gaya hidup sehat dari isu akses ekonomi, ketimpangan pendidikan, dan kebijakan publik.
Kesehatan bukanlah produk konsumtif yang dijual dalam kemasan cantik, melainkan hak dasar yang harus dijamin negara.
Tapi sayangnya, gaya hidup sehat telah direduksi menjadi tren visual yang dipertontonkan, bukan dipraktikkan secara kolektif.
Media sosial ikut memperparah situasi ini. Dengan algoritma yang mendorong konten visual, gaya hidup sehat menjadi ajang adu estetika.
Tubuh ramping, kulit glowing, gear workout terkini, serta statistik pace lari yang dipamerkan—semua menjadi standar yang diam-diam menetapkan siapa yang sehat dan siapa yang tidak.
Akibatnya, muncul tekanan sosial untuk “tampil sehat” tanpa pernah benar-benar memahami esensinya.
Menurut survei dari Katadata Insight Center, 63% anak muda Indonesia merasa stres akibat tekanan media sosial, termasuk dalam hal standar hidup sehat.
Alih-alih menciptakan budaya perawatan diri yang sehat, kita justru menciptakan perlombaan semu yang melelahkan.
Padahal, hidup sehat tidak perlu mewah. Ia tidak bergantung pada harga smartband atau langganan gym.
Hidup sehat bisa berarti tidur cukup, makan teratur dengan bahan lokal, berjalan kaki setiap pagi, atau sekadar duduk tenang tanpa gawai selama 10 menit.
Tapi gaya hidup sehat yang sederhana ini jarang tampil dalam konten digital.
Baca juga: Cara menghadapi jurus seribu bayangan alasan
Dunia maya lebih suka menampilkan versi yang berkilau, karena di sanalah nilai komersial berada. Ini yang perlu dikritisi.
Sudah saatnya kita mendobrak narasi sempit tentang gaya hidup sehat. Kita butuh definisi baru yang lebih inklusif dan adil.
Gaya hidup sehat harus dimaknai bukan sebagai proyek pribadi, tapi sebagai gerakan sosial.
Ia harus diperjuangkan secara kolektif, agar semua orang—tanpa memandang kelas sosial—bisa merasakannya.
Negara harus hadir, tidak hanya dalam bentuk regulasi makanan, tapi juga dalam memastikan udara bersih, ruang terbuka hijau, transportasi aman, layanan kesehatan mental yang terjangkau, dan edukasi yang membumi.
Selain itu, kita juga harus menyadari bahwa sehat bukan sekadar soal tubuh, tapi juga soal jiwa dan relasi sosial.
Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang tidak saling menekan dengan standar palsu.
Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang saling merawat, saling menyapa, saling menolong.
Sehat adalah ketika seseorang bisa menangis tanpa dihakimi, bisa lelah tanpa dituduh lemah, dan bisa beristirahat tanpa merasa bersalah.
Dalam konteks ini, detoks bukan hanya soal racun makanan, tapi juga racun budaya.
Budaya konsumtif, budaya performatif, dan budaya kompetitif yang dibungkus dalam gaya hidup sehat harus kita bersihkan.
Kita perlu kembali pada kesadaran bahwa tubuh adalah tempat tinggal kita yang paling jujur.
Ia tidak perlu selalu ideal, tapi cukup diberi ruang untuk merasa cukup.
Hidup sehat yang sejati bukanlah produk yang dijual, melainkan kesadaran yang ditanam.
Ia tumbuh dari keberanian menolak standar palsu, dari kepekaan terhadap penderitaan orang lain, dan dari tekad untuk menjadikan kesehatan sebagai perjuangan bersama, bukan privilese segelintir elite digital.
Kita tidak butuh lebih banyak konten workout berlatar kafe minimalis atau foto lari di pagi hari sambil memamerkan sepatu baru.
Kita butuh lebih banyak taman kota, puskesmas gratis, air bersih, dan ruang publik yang aman.
Kita butuh lebih banyak narasi yang menyentuh realitas, bukan hanya mimpi-mimpi editan.
Kita butuh gaya hidup sehat yang berpihak kepada mereka yang paling rentan.
Karena selama hidup sehat hanya bisa diraih oleh mereka yang mampu membeli, maka kita belum pernah benar-benar sehat sebagai bangsa.
Posting Komentar