![]() |
Nabi Musa Menangis di Hadapan Rasulullah Pada Malam Mi’raj, Ini Alasannya |
Oleh: Tgk. Musliadi Budiman
I sra’ dan Mi’raj merupakan salah satu kejadian yang sangat spesial bagi Rasulullah SAW.
Di samping untuk menjemput kewajiban ibadah yang paling agung yaitu shalat lima
waktu, juga untuk menghibur Rasulullah SAW setelah banyak mendapatkan siksaan
dan penganiayaan dari kaum Jahiliyah kota Makkah dan Thaif.
Pada malam itu Rasulullah SAW sedang tidur pulas. Tiba-tiba beliau dibangunkan dan di-isra’-kan (dijalankan dari Makkah al-Mukarramah ke Baitul Maqdis) dengan binatang yang dinamakan dengan Buraq.
Kemudian Rasulullah SAW di-mi’raj-kan (perjalanan dari Baitul Maqdis menuju Sidratul Muntaha) ke langit satu persatu.
Baca Juga: Nabi Adam cemburu kepada umat Nabi Muhammad SAW, ada apa?
Pada langit pertama Rasulullah SAW bertemu dengan Nabi Adam AS.
Pada langit kedua bertemu dengan Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS, langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf AS, pada langit keempat bertemu dengan Nabi Idris AS.
Pada langit kelima beliau bertemu dengan Nabi Harun AS, pada langit keenam bertemu dengan Nabi Musa AS dan pada langit ke tujuh beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim AS.
Di antara para Nabi yang ditemui oleh Rasulullah SAW adalah Nabi Musa AS yang merupakan Nabi yang paling banyak ditemui oleh Rasulullah SAW.
Hal ini terjadi karena melihat kewajiban 50 waktu shalat merupakan suatu hal yang sangat sukar untuk dikerjakan oleh umat Nabi Muhammad SAW.
Sehingga beliau menyarankan kepada Rasulullah SAW
untuk meminta keringanan kepada Allah SWT.
Akhirnya
setelah Rasulullah SAW mendengarkan
saran dari Nabi Musa AS serta bolak-balik menghadap Allah SWT sehingga sisalah lima
shalat yang dikerjakan dalam lima waktu sehari semalam.
Namun ada kejadian yang menarik antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS yaitu menangisnya Nabi Musa AS di hadapan Nabi Muhammad SAW.
Dalam tangisan tersebut beliau mengatakan
perihal menangisnya bahwa:
أَبْكِي لأَنَّ غُلاَمًا بُعِثَ بَعْدِي
يَدْخُلُ الجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِهِ أَكْثَرُ مِمَّنْ يَدْخُلُهَا مِنْ أُمَّتِي.
“Saya
menangis Karena seorang anak yang diutus setelahku ternyata akan masuk surga
bersama-sama umatnya yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pada umatku.” (H.R
Bukhari).
Untuk
mengetahui alasan Nabi Musa AS menangis, maka marilah kita melihat pandangan
para ulama yang dinukil oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab al-Isra’ wa
al-Mi’raj.
Sebagian ulama berkata: Nabi Musa AS menangis bukan karena dengki apalagi beliau merupakan seorang utusan Allah SWT yang mustahil berbuat demikian.
Tetapi beliau menangis karena merasa menyesal atas pahala yang luput dari beliau.
Kok bisa begitu? Jawabannya karena para Nabi diberikan pahala sesuai dengan kondisi umatnya. Baca Juga: 5 Keistimewaan bernama Muhammad
Umat Nabi Musa AS merupakan umat yang paling banyak menyimpang, sehingga ada di antara mereka yang membunuh para Nabi.
Tentu karena ini persoalan akan berimbas kepada mengurangi pahala mereka dan juga akan berefek kepada berkurangnya pahala Nabi Musa AS.
Di samping itu juga dapat menurunkan derajat Nabi Musa AS.
Umat Nabi Musa AS walaupun hidupnya lama tapi
jumlah umat Nabi Muhammad SAW lebih banyak dari pada jumlahnya umat Nabi Musa AS.
Di sini Nabi Musa AS memanggil Rasulullah SAW dengan kata غلامbukan untuk menghina Rasulullah SAW.
Tetapi untuk memuji beliau dengan umurnya yang lebih muda tapi mampu
mendapatkan pangkat yang tinggi.
Abu Jamrah berkata: Allah SWT memberikan rasa kasih sayang kepada para Nabi lebih besar dari pada yang diberikan kepada selain mereka, maka karena itu beliau menangis karena sayang kepada umatnya.
Baca Juga: Spirit cinta Rasulullah kepada kita
Sedangkan menurut Ibnu Hajar sendiri alasan Nabi Musa AS memanggil غلام kepada Rasulullah SAW karena melihat Rasulullah SAW selalu dalam kondisi muda dan kuat walaupun umurnya sudah sangat tua.
Dari ini kita bisa melihat bagaimana derajat kita ketimbang dengan para umat terdahulu.
Oleh karena itu, marilah kita selalu menjaga derajat itu dengan
selalu mengerjakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangkan-Nya.
Sekian.....
Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Isra’ wa al-Mi’raj, Ibnu Hajar al-Asqalani, h: 117.
Posting Komentar