aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Alih-Alih Menjadi Tentara Nasional Indonesia Justru Tentara Allah Part #1

Menikmati Suasana Malam (penulis)

Suasana siang saat itu sangat bersahabat. Suasana desa yang penuh keheningan dan jauh dari hiruk-pikuk, memberi kesan yang luar biasa. Simponi alami alam akan membuat candu siapa saja yang menikmatinya.

Kondisi dan suasananya sangat jauh berbeda ketika aku berada di dayah yang sangat bergemuruh dengan lantunan para penghafal dan murajaah kitab. Namun, hati mengakui bahwa suara ini ternyata lebih indah dan memukau. Setiap alunan nada menghembuskan nafas pahala.

Simponi alami dari kicauan burung dan binatang lainnya, kaset memori masa lalu kembali terputar dan terlintas dalam kepala, tepatnya di tahun 2013 silam. Aku, istri paman beserta anak lelakinya, sedang duduk di depan sebuah rumah yang telah mengukir dan menyulam banyak sejarah pada masa kecil.

Di rumah yang bergaya klasik itu, aku banyak menghabiskan waktu untuk bermain. Bahkan di situlah pertama kali aku mengeja dan belajar Al-Qur’an bersama paman dan bibi.

Di sela-sela aku menikmati suasana dhuhur bersama mereka, sembari angin sepoi-sepoi yang berhembus terlalu lembut, Bibi aku tanpa angin tanpa hujan menawari aku untuk masuk pondok saja dan menemani anaknya di pondok pesantren Ma’hadal ‘Ulum Diniyyah Islamiyyah Mesjid Raya Samalanga atau lebih populer dengan sebutan dayah MUDI Mesra.

Tawaran beliau tersebut tidak mentah-mentah kuterima, karena saat itu aku punya keinginan untuk melanjutkan sekolah impian di tingkat jenjang SMA. Yaitu sekolah MAN Unggul di kota Tapaktuan (Ibu kota Kabupaten Aceh Selatan).

Akan tetapi semua impian itu sirna seketika. Aku tidak tahu dan sadar begitu menggoncang hatiku ketika mendengar nasehat dari bibiku. Cahaya hidayah yang terlalu indah tersebut menembus titik terdalam hatiku dan luluh.

“Kalau kamu jadi guru, kamu akan di panggil Bapak Nandi (nama kecil aku), kamu akan disebut nama dan itu hal yang tidak mulia. Kalau kamu masuk pondok, kamu tidak akan dipanggil dengan namamu, kamu akan disapa dengan sebutan Tengku”. Pesan bibiku dengan wajah penuh senyuman. Kekuatan ucapan bibik itulah yang bergema sehingga tulisan ini aku tuliskan.

Beliau menawari aku untuk masuk pondok pesantren terbesar di Aceh yaitu MUDI Mesjid Raya Samalanga, selepas anak beliau yang bernama Muhammad Fadli menyelesaikan sekolah dasarnya.

Walaupun cita-citaku untuk masuk pondok pada saat itu sudah bulat, namun karena masih sekolah maka aku menolak untuk berhenti sekolah. Saat itu aku beralasan bahwa aku akan masuk pondok nanti selesai tamat SMP.  Apalagi ketika itu sedang duduk di bangku kelas delapan.

Setelah impian aku pupus dan hilang dari hati untuk menempuh pendidikan formal, aku memantapkan diri untuk masuk pondok saja menemani adik sepupuku pada saat itu sudah memasuki semester akhir di Sekolah Dasar.

Sekolah Dasar tersebut adalah sekolah sederhana yang berdiri kokoh di desa kelahiran aku dan juga itu merupakan tempat pertama aku mulai menempuh pendidikaan formal.

Hari-hari pun berlalu seperti apa adanya. Tanpa kusadari sudah memasuki kelas delapan di sebuah SMP yang terletak di pusat kecamatan. Yaitu SMPN 1 Kluet Tengah. Nama sekolah tersebut tertulis pada pamplet yang terpampang di depan pekarangan sekolah.

Keinginan yang begitu menggebu-gebu, tanpa sadar hasrat dan cita-citaku ingin masuk pondok sudah aku utarakan kepada orang-orang terdekat dan sanak famili. Tentunya juga tidak lupa terlebih dahulu aku mengamininya kepada dua Malaikat yang telah merawat dan mengasuhku yaitu orang tua.

Sangking semangatnya, hampir semua orang mengetahui tentang keinginan aku masuk pondok. Tetangga, sanak saudara, hingga semua teman. Mereka semuanya tau bahwa aku akan melanjutkan pendidikan di pondok pesantren.

Sebelumnya aku juga seorang santri di TPA Raudhah al-Tifliyah Simpang Dua, TPA ini di bawah pimpinan dan asuhan guru aku yang biasa beliau disapa dengan sebutan Gure. (Gure adalah sebutan hormat kepada guru atau pengasuh pondok pesantren. kata-kata gure semakna dengan istilah Guru).

Beliau adalah seorang alumni Dayah Raudhatus Sa’adah, Kuala Ba'u yang sekarang di pimpin oleh Abu Muda Muhammad Waly (Kakak Leting aku di Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng).

Beliaulah sosok yang berpengaruh bagiku dan sering memberikan nasehat dan membangkitkan gairah dalam belajar agama Allah. Di samping itu juga, beliau yang menjadi mentor privat sewaktu-waktu aku pulang ke kampung halaman.

Nama asli beliau adalah Tgk Zakariya Bin Darussalam. Beliau merupakan abang dari orang yang telah menasehati aku, sehingga cita-citaku berubah 100%.  Di TPA itu aku mengawali belajar ilmu-ilmu dasar untuk bekal masuk pondok yang notabenenya termasuk pondok-pondok besar di Aceh.

Dari beliau Aku belajar dan diajari pengetahuan-pengetahun dasar tentang Al-Qur'an, cara membaca Dalail Khairat, ilmu Nahwu dan Sharaf. Sistem belajar yang diterapkan  saat itu hampir sama dengan sistem yang dipraktikkan pada pondok pesantren umumnya.

Sewaktu belajar di TPA itu, aku tidak sendirian, aku ditemani oleh dua sahabat yaitu Tgk Muhammad dan Tgk Hijri Amani. Keduanya pun juga nantinya mengeyam pendidikan  di pondok pesantren di kemudian hari.

Hari berlalu dan silih berganti dengan sangat cepat sehingga tahun pun memasuki 2014. Karena aku menolak tawaran untuk berhenti sekolah ketika aku masih di kelas delapan, maka Muhammad yaitu sepupu aku terpaksa juga menunguku untuk menyelesaikan belajar di tingkat Sekolah Menengah Pertama.

Dia tidak memiliki pilihan lain selain juga masuk ke sekolah itu, supaya tidak sendirian dan jenuh melewati hari-hari menunguku untuk bisa masuk pondok berbarengan.

Tahun pun berlalu dengan sangat cepat pertanda aku sudah di bangku kelas sembilan dan semangat belajar tentang agama pun sangat bergejolak dengan menghayalkan indahnya kehidupan di pondok pesantren.

Pada suatu hari, langit menjadi gelap dan mendung hitam menggumpal tebal. Mungkin ini pertanda sedang tidak baik-baik saja. Tepatnya dhuhur, aku dikejutkan dengan berita kabar duka bahwa Bibi aku telah menghembuskan nafas terkahirnya. Beliau meningalkan dunia yang fana ini untuk menghadap sang penciptanya.

Saat kejadian duka tersebut, aku pulang lebih cepat dari Muhammad.dengan perasaan dan kondisi yang begitu sedih aku dengan gigih dan seolah-olah tegar menghidupkan motor untuk menjemput sahabat sekaligus adik sepupu aku.

Di penghujung desa, aku menjumpai dia yang masih berpakaian sekolah. Tanpa berbasa-basi aku pun langsung memanggilnya,

"Muhammad ayo cepat pulang! ada sesuatu yang terjadi di rumahmu". Ucapku dengan suara yang berusaha bersikap setegar mungkin.

Dengan rasa penasaran yang kuat dan penuh kebingungan, dia pun mempercepat kendaraannya sehingga sampai di rumah dan melihat sang ibu sudah banyak dikerumuni oleh sanak saudara. Bisingan suara tangisan menggema dalam rumah tersebut. Air mata bercucuran di wajah sanak keluarga dan pelayat mereka begitu merasa kehilangan terhadap sosok bibi.

Di hari-hari selanjutnya meskipun masih diselimuti oleh perasaan duka dan sedih, aku yang dari kecil sudah terbiasa main di rumah Muhammad, pada saat itu aku menemani dan mencoba menghibur Muhammad supaya tidak merasa kesepian dan larut dalam kesedihan atas kepergian malaikatnya dari dunia  ini.

Tepat di hari ketujuh kepulangan Almarhumah bibi menghadap Allah, aku mendapat kabar yang tidak menggembirakan bahwa Muhammad tidak melanjutkan belajarnya di pondok karena beberapa alasan.

Ini adalah sinyal dan tanda bahwa aku akan masuk ke pondok sendirian karena pada tahun itu aku akan selesai sekolah di jenjang SMP. Kabar tentang keinginanku untuk masuk pondok pun sudah terlanjur viral apalagi pilihannya di  pondok yang berada pada bagian Pantai Utara.

Aku pun mulai berfikir bahwa kalau aku batal masuk pondok, pasti orang-orang akan menertawakan aku dan mengejek. Tidak sampai di situ saja aku dan keluarga pun akan mendapatkan pandangan negatif dari orang-orang sekitar.

Di samping itu, kabar yang tidak mengenakkan dan membuat hati begitu terpukul bahwa dayah impian pun tidak akan bisa masuk untuk mengenyam pendidikan dan berjuang di lembaga tersebut yaitu dayah MUDI. Semangat yang dulu pernah menggebu-gebu dan mencuat mulai terkikis dan menurun drastis.

Rasa tidak percaya diri yang menyelimuti hati, membuat keinginan mondok di MUDI-pun akan sirna dan terkikis harapan. Karena itulah segelintir pikiran yang terbayang-bayang setelah mendengar keputusan Paman dan keluarganya.

Ekspektasi aku telah hancur berkeping-keping. Sehigga aku  harus mencari jalan  keluar dari masalah ini. Dibenak dan pikiranku cuma ada kalimat “aku harus masuk pondok, bagaimana pun caranya.

Menghadapi kenyataan tersebut, satu-satunya cara yang terpikirkan waktu itu adalah aku harus bermusyawarah dengan kedua orang tua untuk mencari dan menemukan  solusi.

“Pesantren mana yang akan aku masuk dan mengenyam pendidikan di sana” menjadi  kalimat yang menghantui pikiranku. Mondok di Dayah MUDI harapannya sudah pupus dan aku sudah memutuskan tidak mondok di sana. Sebab saat itu aku hanya berpikir bahwa di MUDI aku tidak mempunyai teman maupun kenalan di sana.

Padahal harapan terbesarku adalah aku akan melanjutkan pendidikan di sini dengan sepupuku Muhammad. Mungkin ini takdir yang terbaik dari skenario Allah terhadapku.


Bersambung Part #2

 

Di tulis di Cot Trueng, 1 November 2022

Oleh : Wandi Ajiruddin (Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif, Cot Trueng).

 

Posting Komentar

Posting Komentar