aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Hujan dalam Semangkuk Rindu

Hujan dalam Semangkuk Rindu

P uisi ini lahir dari ruang sunyi yang dipenuhi rindu, saat senja dan hujan bersatu menjadi latar bagi perasaan yang dalam. 

Di tengah keheningan, penulis mengajak pembaca menyelami detik-detik penantian yang sederhana namun sarat makna dari suara rintik hujan yang mengetuk jendela, hingga rebusan mie tumis yang dimasak dengan harap. 

Semua elemen sehari-hari disulap menjadi simbol cinta dan kerinduan yang mengendap dalam diam.

Dalam puisi ini, setiap gerakan kecil adalah ungkapan besar. 

Menanti bukan hanya tentang menunggu kehadiran seseorang, tapi juga tentang menjaga kenangan, merawat harapan, dan percaya bahwa semesta turut bekerja dalam senyap. 

Dengan bahasa yang halus dan penuh perasaan, penyair menyampaikan bahwa rindu tidak selalu menyakitkan; ia bisa menjadi indah ketika disandingkan dengan keyakinan akan pulang.

Melalui larik-lariknya, puisi ini menjadi cermin dari hati yang setia, yang menjadikan keseharian sebagai doa, dan menjadikan keheningan sebagai wadah untuk menyimpan cinta. 

Ini bukan sekadar puisi tentang hujan atau makanan hangat di malam yang sepi, melainkan tentang bagaimana hati belajar mengolah rindu menjadi sesuatu yang utuh meski belum sepenuhnya bertemu.

Berikut puisinya

Di jendela senja yang hening,

hujan mengetuk seperti janji yang lembut

rintiknya adalah salam

yang dikirim langit untuk hati yang menunggu.


Aku merebus harap mie tumis itu

dalam panci kecil yang kau janjikan pulang,

air mendidih adalah degup waktu

yang sabar menjemput bayangmu perlahan.


Sendokku adalah perahu kecil,

mengayuh di danau kenangan

yang tak sabar bersandar pada dermaga matamu.


Aku makan perlahan,

seperti merawat jarak agar tak menjadi luka

kau, adalah bumbu rahasia

yang menjadikan tiap malamku terasa utuh.


Dan hujan terus turun,

seolah langit sengaja mencatat

bahwa rindu bisa tumbuh indah

bukan karena kehilangan,

tapi karena kepulangan yang sedang disiapkan semesta.


Khalidin Aly, (Samalanga, Sab, 10 Mei 25) 


Kandungan Puisi

Puisi ini adalah gambaran puitis tentang rindu yang diolah dengan kelembutan suasana dan simbol-simbol keseharian. 

Dibuka dengan citraan senja dan hujan, penyair membangun nuansa hening dan melankolis, seolah-olah alam turut terlibat dalam proses menanti seseorang yang dicintai. 

Hujan menjadi metafora janji lembut dari langit, menandai bahwa rindu bukanlah semata-mata beban, melainkan bagian dari harapan yang indah dan mendalam.

Melalui adegan sederhana seperti memasak mie tumis dan merebus air, puisi ini mengangkat momen biasa menjadi sarat makna. 

Aktivitas itu dihubungkan dengan degup waktu dan janji kepulangan, menjadikan tiap gerak dan benda di sekitar penuh nilai emosional. 

Sendok menjadi perahu kecil di danau kenangan, mencerminkan bagaimana kenangan hadir begitu hidup dan mengisi ruang antara penantian dan harapan.

Paragraf terakhir dari puisi menunjukkan bahwa rindu tak harus berakar pada kehilangan, melainkan bisa tumbuh dari keyakinan akan pertemuan. 

Kepulangan diposisikan sebagai takdir yang tengah disiapkan oleh semesta, memberi ruang bagi pembaca untuk memahami bahwa kesabaran dan cinta yang dalam bisa mengubah rasa rindu menjadi sesuatu yang utuh dan menenangkan. 

Kekuatan puisi ini terletak pada kelembutannya dalam memaknai penantian, dengan menghadirkan keseharian sebagai bentuk doa yang puitis.



Posting Komentar

Posting Komentar

-->