aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Sejarah Pemeliharaan Al-Qur'an Pada Masa Khalifah Utsman Bin ‘Affan

Sejarah Pemeliharaan Al-Qur'an Pada Masa Khalifah Utsman Bin ‘Affan

Oleh: Ilham (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh)*

Kata Pengantar 

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sejarah Pemeliharaan Al-Qur'an pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan”. 

Shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw. karena berkat perjuangan beliau telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yang kita rasakan sekarang ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam. Penulis telah berupaya semaksimal mungkin dalam menyelesaikan makalah yang masih jauh dari kata sempurna. 

Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Terakhir, kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan segala kekurangan hanya milik hamba-Nya.

1.  Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang paling agung yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, Nabi Muhammad merupakan seorang rasul yang ummi lam yaqra` wa lam yaktub” (tidak bisa membaca dan menulis). 

Kondisi Rasulullah yang demikian senantiasa ketika wahyu Allah turunkan memalui Malaikat Jibril maka Rasulullah hanya memperdengarkannya kepada para sahabat ketika itu.

Para sahabat Rasulullah yang memiliki jumlah yang banyak, di samping itu proses turunnya wahyu juga tidak secara menyeluruh dalam sekali turun, kan tetapi berangsur-angsur berdampak terhadap adanya tinggi rendah dan banyak serta kurang sedikit di antara kalangan sahabat yang menghafal dan menguasai Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh.

Bermula ketika kekhalifahan Abu Bakar yang memberi suatu ketegasan dengan mewajibkan agar terkumpulnya Al-Qur’an secara utuh dalam satu mushaf kepada Umar bin Khathab serta diteruskan kepada Zaid bin Tsabit, karena beliau khawatir keberadaan perang al-Yamamah akan menimpa banyak banyak kalangan sahabat yang menghafal Al-Qur’an.[1]

Hal ini juga dikisahkan oleh al-Suyuth bahwa al-Bukhari dalam Sahihnya meriwayatkan: [Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu] salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar di sampingnya. 

Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; “Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an.” 

Abu Bakar berkata kepada Umar; “Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?” Umar menjawab; “Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik.” Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. 

Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu di sampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- “Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama).” 

Zaid berkata; “Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?” Abu Bakar menjawab; “Demi Allah hal itu adalah baik.” 

Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur’an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun.[2]

Berdasarkan riwayat di atas dapat terpahami bahwasanya, begitu antusias para sahabat Rasulullah dalam men-satu-kan Al-Qur’an yang ketika itu masih bertebaran ke dalam satu mushaf yang utuh, selanjutnya proses pemeliharaan Al-Qur’an itu berlanjut hingga masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan.

Oleh karena itu, ini suatu yang urgen untuk dikaji tentang latar belakang dan ide pengumpulan al-Qur’an, proses penulisan al-Qur’an, dan hasil penulisan dan penyebarluasan al-Qur’an pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan. 

Maka dari itu penulis ingin mengkaji terkait hal tersebut dengan judul “Sejarah Pemeliharaan Al-Qur'an pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan”.

2.  Pembahasan

A.   Latar Belakang dan Ide

Muhammad Al-Hadhari di dalam karyanya menyebutkan bahwa; al-Haris al-Muhasibi berkata: Rasulullah bukan hanya menyampaikan wahyu semata untuk diperdengarkan pada para sahabat melainkan Rasulullah juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskan wahyu tersebut, akan tetapi tulisan-tulisan tersebut bertebaran pada pelapah kurma, tulang dan kulit-kulit. Pengumpulan yang dilakukan oleh Abu Bakar hanya menyalinkannya pada beberapa temuan yang ada dan menyimpannya di rumah Rasulullah.[3] 

Di sinilah awal mula muncul suatu kesan khalifah Utsman bin ‘Affan untuk mengumpulkan Al-Qur’an secara untuk dan menghilangkan apa saja yang dianggap tidak akurat dijadikan sebagai temuan salah satu dari ayat Al-Qur’an.

Penyebaran Islam semakin meluas dan para qurra pun tersebar diberbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira`at. Cara pembacaan (qira`at) Al-Qur’an mereka berbeda-beda, sejalan dengan perbedaan huruf. 

Di masa khalifah Utsman bin Affan ra, pemerintahan Islam telah sampai hingga ke Armenia dan Azerbaijan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. 

Maka dengan itu, kaum Muslimin telah tersebar ke seluruh wilayah Islam seperti ke Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. 

Ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal, Al-Qur’an tetap menjadi imam mereka, dan di antara mereka itu banyak yang hafal Al-Qur’an. Dan di antara mereka juga mempunyai naskah-naskah Al-Qur’an. Namun naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama dari segi susunan surah-surahnya.[4]

Ketika terjadi perang Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Iraq, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia melihat banyak sekali perbedaan dalam cara-cara mereka membaca Al-Qur’an. 

Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, namun masing-masing dari mereka mempertahankan bacaannya dan bahkan saling mengkafirkan.

Melihat hal itu Huzaifah langsung menghadap kepada khalifah Utsman dan melaporkan apa-apa yang dilihatnya. Mendengar kenyataan itu para sahabat pun  amat memprihatinkan hal itu. 

Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya. 

Lalu Utsman meminta pada sahabat-sahabatnya untuk menyalin dan memperbanyak mushaf dan menyuruh mereka menulisnya ke dalam bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an turun dalam logat mereka.

Lalu Utsman menyuruh orang untuk mengirimkan mushaf yang telah selesai disalin ke berbagai daerah dan memerintahkan untuk membakar mushaf  lainnya.  

Seperti yang dikatakan Abu Qalabah dari Annas bin Malik, Utsman berkata “Aku telah melakukan demikian dan demikian. Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu”. 

Alasan Utsman memerintahkan membakar mushaf lain adalah untuk menghindari timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Al-Quran dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.[5]

Utsman bin Affan tidak melakukan penghimpunan Al Qur’an ini berdasarkan kemauannya sendiri, melainkan setelah mengadakan musyawarah dengan para sahabat lainnya. Seperti yang dikatakan Al-Haris al-Muhasibi “yang mahsyur di kalangan orang banyak ialah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman. ”

Kata Mush’ab bin Sa’d: “Saya melihat manusia jumlahnya banyak sekali ketika Utsman membakar mushaf-mushaf (selain satu mushaf yang telah disatukan). Mereka dikagumkan oleh keputusan Utsman”. 

Atau dengan kata lain: Tidak ada yang mengingkari hal itu, walaupun satu orang (dari kalangan sahabat). 

Keputusan ini merupakan kebajikan Amirul Mukminin Utsman bin Affan yang disepakati oleh kaum muslimin, serta penyempurnaan atas penghimpunan yang telah dilakukan oleh khalifah Abu Bakar.

Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: “Demi AllAh, tidaklah Utsman berbuat ini kecuali di hadapan kami (kalangan sahabat). 

Beliau berkata: “Saya bermaksud menyatukan manusia (umat Islam) dalam satu mushaf, hingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perbedaan”. 

Kami menjawab: “Alangkah bagusnya yang kau usulkan itu”. Dengan adanya langkan yang diambil oleh khalifah Utsman bin ‘Affan tidak ada lagi perbedaan yang terjadi dalam segala konteks mengenai Al-Qur’an.[6]

  B.   Proses Penulisan Al-Qur’an

Proses penulisan Al-Qur’an di masa khalifah Utsman bin Affan melahirkan produk Al-Qur’an beberapa mushaf yang sangat terbatas. Sejumlah mushaf versi resmi ini kemudian terkenal dengan sebutan Mushaf Utsmani atau Al-Imam.[7] Mushaf Utsmani atau Al-Imam merupakan fase ketiga dalam sejarah penulisan Al-Qur’an.

Pada masa khalifah Abu Bakar ra, Sayyidina Umar ra tercatat sebagai orang yang mengusulkan penulisan Al-Qur’an kepada pemerintah. 

Sedangkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan ra, sahabat Hudzaifah ibnul Yaman adalah orang yang mengusulkan penulisan Al-Qur’an kepada pemerintah dengan sebab yang berbeda. 

Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menceritakan dari sahabat Anas bin Malik ra, sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman datang menemui Utsman bin Affan ra. 

Hudzaifah yang bertugas dalam ekspedisi penaklukan Armenia dan Azirbaijan melaporkan kepada Utsman ra betapa terkejutnya ia atas keragaman versi bacaan Al-Qur’an (di mana mereka saling mengafirkan karena perbedaan versi bacaan). “Selamatkanlah umat ini

 sebelum mereka terpecah perihal bacaan seperti Yahudi dan Nasrani”.[8] kata Hudzaifah kepada Utsman.

Keresahan ini tidak hanya dirasakan oleh sahabat Hudzaifah. Riwayat Ibnu Jarir menunjukkan betapa banyaknya sahabat yang mengalami keresahan yang sama di mana banyak masyarakat membaca Al-Qur’an dengan berbagai versi dan bahkan sebagian membaca dengan salah. 

Satu sama lain saling mengafirkan karenanya. Kodifikasi Al-Qur’an era khalifah Utsman didorong oleh situasi yang berbeda dari situasi yang dihadapi khalifah Abu Bakar, yaitu banyaknya penaklukan kota-kota dan sebaran umat Islam di berbagai kota-kota yang jauh.[9]

Selain itu, kebutuhan umat Islam yang telah menyebar di berbagai penjuru negeri terhadap kajian Al-Qur’an mengharuskan kerja-kerja dalam proses penulisan Al-Qur’an di era Utsman bin Affan ra. Sedangkan setiap penduduk mengambil qiraah dari sahabat Rasul yang cukup terkenal di daerah tersebut dan sering kali telah mengalami kekeliruan karena faktor geografis. 

Penduduk Syam membaca Al-Qur’an dengan qiraah Ubay bin Ka’ab. Penduduk Kufah membaca Al-Qur’an dengan qiraah Abdullah bin Mas’ud. Selain mereka membaca Al-Qur’an dengan qiraah Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan versi ini membawa konflik di tengah masyarakat.[10]

Kondisi darurat mendorong Khalifah Utsman bin Affan ra untuk mengatasi situasi sosial yang semakin memburuk. Dengan Mushaf Utsmani, khalifah Utsman ra mengatasi konflik sosial, menyudahi pertikaian, dan melakukan perlindungan terhadap orisinalitas dan otentisitas Al-Qur’an dari penambahan dan penyimpangan seiring dengan peralihan zaman dan pergantian waktu. Adapun konflik sosial ini harus dicarikan solusinya.[11]

Solusi yang diambil Sayyidina Utsman ra berangkat dari kecerdasan pikiran dan keluasan pandangannya untuk mengatasi konflik sosial sebelum memuncak. Sayyidina Utsman kemudian memanggil para sahabat terkemuka ahli Al-Qur’an untuk mencari akar masalah dan mencoba mengatasinya.[12] 

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, proses penulisan Al-Qur’an yang dilakukan khalifah Utsman bin Affan ra terjadi pada tahun 25 H meski ada sebagian orang yang menduga tanpa sanad bahwa hal itu terjadi pada tahun 30 H.[13]

Ibnu Asytah dari Abu Qilabah meriwayatkan bahwa Anas bin Malik meriwayatkan, merebaknya perpecahan di tengah masyarakat perihal versi bacaan Al-Qur’an sehingga anak-anak remaja pelajar dan para guru Al-Qur’an terlibat pertikaian karenanya. 

Merebaknya gejolak sosial yang mengarah pada konflik ini sampai juga telinga Sayyidina Utsman ra. “Di depanku kalian berani berdusta dan salah membaca. Niscaya orang yang jauh dari jangkauanku akan lebih berdusta dan lebih salah baca lagi tentunya. Wahai para sahabat Rasul, bersatulah kalian. Catatlah satu mushaf sebagai imam atau pedoman bagi masyarakat,” kata Sayyidina Utsman ra.[14]

Proses penulisan Al-Qur’an yang melahirkan Mushaf Utsmani atau Al-Imam di era sahabat Utsman bin Affan ini menarik simpati dan apresiasi dari kalangan sahabat. Berikut ini pengakuan Sayyidina Ali ra atas kerja penulisan Al-Qur’an yang dilakukan Utsman bin Affan ra.  “Kalau aku penguasanya, niscaya aku akan melakukan hal yang sama dengan Sayyidina Utsman ra,” kata Sayyidina Ali ra mengapresiasi kerja penulisan Al-Qur’an Utsman melalui Mushaf Utsmani.[15]

C.  Hasil Penulisan dan Penyebarluasan

Setelah penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah Utsman bin ‘Affan ra. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. 

Langkah-langkah penting itu adalah membacakan naskah tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.[16] 

Selanjutnya membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 25 H dan Mushaf yang telah dituliskan tersebut lalu disebarkan ke Kufah, Bashrah, Dimsyiq, Mekkah dan Madinah.[17]

 

3.  Penutup

Adanya kekhawatiran terhadap syahidnya para huffazd al-Qur’an Abu bakar berinisiatif untuk mengumpulkan Al-Qur’an hingga masa kekhalifahan Utsman bin Affan, namun Utsman bin Affan tidak melakukan penghimpunan Al Qur’an ini berdasarkan kemauannya sendiri, melainkan setelah mengadakan musyawarah dengan sahabat lainnya. Seperti yang dikatakan Al-Haris al-Muhasibi “yang mahsyur dikalangan orang banyak ialah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman”.

Proses penulisan Al-Qur’an di masa khalifah Utsman bin Affan melahirkan produk Al-Qur’an beberapa mushaf yang sangat terbatas. Sejumlah mushaf versi resmi ini kemudian terkenal dengan sebutan Mushaf Utsmani atau Al-Imam. Mushaf Utsmani atau Al-Imam merupakan fase ketiga dalam sejarah penulisan Al-Qur’an.

Setelah penulisan mushaf al-Qur’an selesai, Utsman bin Affan kemudian
membacakan naskah tersebut di hadapan para sahabat sebagai langkah verifikasi, selanjutnya membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. 

Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 25 H dan Mushaf yang telah dituliskan tersebut lalu disebarkan ke Kufah, Bashrah, Dimsyiq, Mekkah dan Madinah.

 DAFTAR PUSTAKA

Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an, Bogor: Litera Antar Nusa, 2011.

Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, Kairo, Darul Hadits, 2017.

Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Jakarta: Darul Mawahib Al-Islamiyyah, 2016.

Al-Suyuth, al-Itqan fi al-‘Ulum al-Qur’am, Qahirah: al-Hijaz, t. t.

Khair al-Din al-Zarakly, al-A’lam, cet. III, Lebanon: Dar al-Malayin, t. t.

Muhammad Al-Hadhari, Tarikh al-tasyri’, Jeddah; Al-Haramain, t. t.

Muhammad Husain Haekal, Utsman bin ‘Affan (antara Kekhalifahan dengan kerajaan), Jakarta: Lentera Nusa , 2007.

 FOOTNOTE 


[1]Muhammad Al-Hadhari, Tarikh al-tasyri’, (Jeddah; Al-Haramain, t. t), h. 105.

[2]Al-Suyuth, al-Itqan fi al-‘Ulum al-Qur’am, (Qahirah: al-Hijaz, t. t), h. 59.

[3]Muhammad Al-Hadhari, Tarikh al-tasyri’…, h. 106-107.

[4]Muhammad Husain Haekal, Utsman bin ‘Affan (antara Kekhalifahan dengan kerajaan), (Jakarta: Lentera Nusa , 2007), h. 53.

[5]Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2011), h. 199.

[6]Muhammad Al-Hadhari, Tarikh al-tasyri’…, h. 108.

[7]Muhammad Al-Hadhari, Tarikh al-tasyri’…, h. 108.

[8]Muhammad Al-Hadhari, Tarikh al-tasyri’…, h. 108.

[9]Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, (Jakarta: Darul Mawahib Al-Islamiyyah, 2016), h. 60.

[10]Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, (Kairo, Darul Hadits, 2017), h. 205.

[11]Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an.., h. 123. 

[12]Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an…, h. 61.

[13]Al-Suyuth, al-Itqan fi al-‘Ulum al-Qur’am…, h. 191.

[14]Al-Suyuth, al-Itqan fi al-‘Ulum al-Qur’am…, h. 191.

[15]Suyuth, al-Itqan fi al-‘Ulum al-Qur’am…, h. 192.

[16]Khair al-Din al-Zarakly, al-A’lam, cet. III, (Lebanon: Dar al-Malayin, t. t), h. 21. 

        [17]Muhammad Al-Hadhari, Tarikh al-tasyri’…, h. 108 


*Makalah dengan Mata Kuliah Studi Al-Quran Bersama Dosen Pengampu: Dr. Samsul Bahri, S. Ag., M. Ag oleh Ilham (221009020)

Posting Komentar

Posting Komentar