aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Kitab Syarah Kubra, Karangan Fenomenal Imam Sanusi

kitab syarah kubra karangan imam sanusi

Oleh: Tgk Andrean Maulana, S.Ag (Mahasantri Pascasarjana Ma’had Aly Mudi Mesra Samalanga, Aceh)

Kitab Syarah kubra dikarang oleh seorang pendekar Manhaj Asya’irah yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi w.895 H atau lebih dikenal dengan Imam Sanusi. Kitab tersebut merupakan salah satu kitab yang tidak asing bagi peneliti literatur klasik tauhid.

Pengarangnya memberi nama Umdah Ahli Taufiq Wa Tasdid yang merupakan syarahan dari matan Aqidatul Kubra. Kitab Aqidatul Kubra merupakan kodifikasi Imam Sanusi pertama kali dalam bidang teologi. Redaksi (ibarah) yang dituangkan dalam kitab ini tergolong sulit untuk dipahami sebagaimana keterangan Imam Sanusi dalam syarah 'Aqidah Wustha.

Menurut Syeikh Said Foudah dalam menyusun sistematika pembelajaran atau kurikulum ilmu tauhid mengkategorikan kitab Syarah Kubra ke dalam level ke-2 yaitu (al-Mustawa al-Tsani).

Berikut ini kitab tingkatan kedua dalam mempelajari ilmu tauhid menurut perspektif Syeikh Said Foudah :

1.    Al-Iqtishad fi al-I'tiqad, karya Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali  

2.    Ma'alim Ushul al-Din, karya Imam Fakhruddin al-Razi

3.    Syarh al-Aqidah al-Kubra, karya Imam al-Sanusi

4.    Syarh al-Aqaid al-Nasafiyyah, karya Sa'd al-Din al-Taftazani

Kitab matan Syarah Kubra atau Aqidatul Kubra terdapat silsilah dan revisi oleh Imam Sanusi, hal ini dikarenakan sulit dan sukar dalam memahami redaksinya. Kitab tersebut disyarah oleh beliau sendiri, yang dikenal dengan syarah Aqidatul Kubra.

Motivasi  Imam Sanusi dalam mensyarahnya karena permintaan dari sejumlah  orang yang gemar membacanya, sesuai ungkapan beliau dalam muqaddimah syarah kubra.

Berikutnya beliau merevisinya dengan penjabaran yang tidak begitu panjang dari Aqidatul Kubra yang namanya Aqidatul Wustha. Selanjutnya beliau juga mensyarahnya sendiri dengan nama Syarah Aqidatul Wustha.

Kemudian Imam Sanusi meringkas Aqidatul Wustha dalam bentuk yang lebih ringkas dari sebelumnya yang beliau beri judul Aqidatul Sughra atau lebih dikenal dengan Ummu Barahain.

kitab dusuki

Di samping Ummu Barahain disyarah oleh Imam Sanusi, juga disyarah oleh beberapa ulama seperti Syarah al-Mursyid al-Mu’in karya Ibnu ‘Asyir al-Maliki dan Idhatul al-Dajnah karangan Ahmad bin Muhammad Muqri. Syarahan tersebut juga diberi komentar oleh sejumlah ulama.

Imam Sanusi kembali merevisi Kitab Aqidatul Sughra dengan bentuk yang lebih kecil dari sebelumnya yang diberi nama Sughra Sughra al-Sughra yaitu sebuah kitab yang berisi intisari dan ringkasan dari Aqidatul Sughra.

Kitab tersebut juga direvisi lagi dengan nama al-Mufidah. Terakhir Imam Sanusi membuat ringkasan dari al-Mufidah dengan nama al-Muqaddimah dan juga mensyarahnya sendiri.

Terkait dengan isi kitab Syarah Kubra penulis tidak bisa menjelaskannya secara spesifik, mengingat panjangnya uraian yang disampaikan dalam kitab tersebut. Namun penulis dapat menyampaikan isi kitab Syarah Kubra secara umum yaitu seluruh pembahasan diklasifikasi dalam delapan pembahasan ataupun fasal.

Diawali dengan muqaddimah yang menjelaskan nadhar, taqlid dan kedudukan ilmu kalam. Pada pembahasan nadhar, Imam Sanusi menyebutkan enam pendapat dan memilih pendapat yang menyatakan nadhar adalah awal yang wajib.

Pada masalah taqlid Imam Sanusi menyebutkan beberapa versi pendapat ulama dan menolak pendapat ulama yang menyatakan cukup bertaqlid.

Imam sanusi juga menolak agrumentasi mereka serta menyebut terkait kelebihan para sahabat nabi terhadap ma’rifah dengan Allah yang menjadi dalil penolakan terhadap pendapat yang menyatakan para sahabat nabi tidak mengetahui tentang jauhar dan ‘aradh dan menolak pendapat ulama yang mengharamkan mempelajari ilmu kalam.

Delapan fasal tersebut adalah sebagai berikut:

Fasal pertama terdapat dua muqaddimah. Muqaddimah pertama menjelaskan prinsip atau mabadi’ ilmu kalam. Muqaddimah kedua menjelaskan pembagian metode istidlal yaitu ada empat pembagian.

Kemudian Imam Sanusi menjelaskan cara supaya terlepas dari jalan taqlid yaitu dengan mengenal Allah SWT lewat penciptaan-Nya. Kemudian beliau melanjutkan  dengan menjelaskan sifat qidam dan baqa’ dan beberapa uraian lain yang bersangkutan.

Fasal kedua, pada sifat ma'ani dan ma'nawiyah serta komparasi antara keduanya. Imam Sanusi juga menguraikan esensial dari sifat hal serta menjelaskan bahwa para ulama khilaf pendapat terhadap kedudukan dari sifat hal. Ada yang menafikan dan ada yang menetapkannya.

Bedasarkan pendapat ini sifat terbagi tiga: nafsi, ma’ani, dan ma’nawiyah. Imam Sanusi juga menyebutkan pandangan ahli filsafat dan Mu’tazilah serta membantah pernyataan mereka, begitu juga pendapat Imam Fakhruddin al-Razi.

Fasal ketiga, tentang hukum yang tetap bagi sifat ma’ani. Wajib bagi Allah azza wa jalla wahdah dan qidam.

Fasal keempat, pada menyatakan Wahdaniyah. Imam Sanusi mendahulukan defenisi dari wahdah, pembagiannya, dan metode terbaginya wahdah. Kemudian beliau menyebutkan tiga pembahasan penting beserta dalilnya.

Tiga pembahasan tersebut adalah:

Pembahasan pertama menjabarkan dalil wahdaniyah zat, artinya adalah zat Allah SWT tidak tersusun dengan beberapa bagian.

Pembahasan kedua menjelaskan bahwa zat Allah SWT tidak ada yang sama, sendiri Allah SWT pada menciptakan segala makhluk baik berupa perbuatan ataupun zat, dan tidak memberi efek daripada sesuatu apapun yang selain Allah SWT.

Pembahasan ketiga menyatakan berbeda zat Allah SWT bagi hawadis (makhluk). Yaitu zat Allah tidak ada yang sama bagi sesuatu apapun. Tidak ada lawan bagi zat Allah SWT. Selanjutnya beliau menjelaskan tentang kasbu (usaha) dengan penjabaran yang panjang.

Fasal kelima, menyatakan Ru’yatullah yaitu termasuk pada perkara boleh dengan mata telanjang.

Fasal keenam, menyatakan tidak ada satupun yang wajib terhadap Allah SWT.

Fasal ketujuh, menjelaskan kenabian, di dalamnya diuraikan pembahasan mukjizat, terjaganya para nabi dari perbuatan dosa atau ‘Ismatul Anbiya dan masalah risalah kenabian.

Fasal kedelapan, menjabarkan tentang sam’iyat. Di dalamnya terdapat persoalan wajib beriman dengan apapun yang dibawa oleh nabi serta penjelasan tentang perkara ghaib seperti alam kubur, padang mahsyar, surga, neraka dan sebagainya.

Tidak semua ungkapan Imam Sanusi dalam Syarah Kubra dapat dicerna dan dipahami, kadang-kadang ada ungkapan yang memerlukan pemikiran dan penalaran yang tajam untuk memahaminya bahkan dari satu kata saja dapat membutuhkan waktu lama untuk bisa mengambil kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh Imam Sanusi.

Maka disarankan untuk membuka salah satu hasyiyah dari Syarah Kubra yaitu Hawasyi ‘Ala Syarah Kubra yang dikarang oleh Syaikh Isma’il bin Musa al-Hamidi. Al-Hamdullilah di Aceh tepatnya di Dayah Mudi Mesra Samalanga pada tanggal 30 Desember tahun 2020, Waled Tarmizi al-Yusufi guru kami memulai pengkajian kitab Syarah Kubra setelah khatam kitab Hasyiyah Dusuki Ala Syarah Sughra atau lebih dikenal dengan Ummu Barahain.

Hal ini menunjukan bahwa kitab Syarah Kubra sangat perlu untuk dipelajari dan dikaji dengan seorang guru senior mengingat ibarah dan pemahamannya yang sulit untuk dipahami dan ditangkap. Perlu seorang guru yang senior dan tenggelam dalam lautan ibarah kitab untuk mampu menjelaskan setiap kata-kata yang ditulis oleh Imam Sanusi.

Semoga dengan ada pengajian rutin kitab ini, dapat memperkuat benteng keimanan kita, karena kalau salah dalam perkara duniawi seperti dalam dunia bisnis keuangan dapat kembali menanam modal, kalau pemotong rambut salah dalam memotong rambut pelanggan, dapat dirapikan kembali. tapi jika salah dalam memilih akidah maka dampaknya begitu besar dalam status keimanan seseorang.

Semoga bermanfaat.

 

Posting Komentar

Posting Komentar