Melakukan Maksiat, Pilihan atau Takdir? |
Kita banyak mendengar perkataan dari mulut si pelaku maksiat bahwa perbuatan maksiat ini atas paksaan Allah yang telah ditakdirkan.
Beranggapan bahwa Allah telah mengatur dalam skenarionya bahwa saya ahli maksiat dan saya terima atas paksaan takdirnya, tetapi sekarang anda menyalahkan saya tanpa mendalami ilmu tauhid tentang qada dan qadar terlebih dahulu. baca juga cuek dengan kesalahan beresikokah?
Jika anda ingin menyalahkan jangan salahkan saya karena semua perbuatan berasal dari Allah bukan dari saya. Bahkan terbesit dalam dirinya jika Allah tau saya celaka lantas apa faedahnya saya beribadah. Lebih kurang seperti itu perkataannya.
Pelaku maksiat menghalalkan perbuatannya dengan senjata takdir dan fi’lullah (perbuatan Allah) dengan ilmu yang hanya dari buku-buku dan perkataan orang lain tanpa menganalisa terlebih dahulu sehingga berani dengan keras menyalahkan sang pencipta dengan tanpa etika dan adab sedikitpun.
Dengan senjata murah itu ia menjawab berbagai ocehan dan celaan orang lain terhadap maksiatnya.
Jika tidak memiliki benteng keilmuan yang matang sungguh kita akan termakan oleh ideologinya dan dengan mudah mempercayainya. Lantas bagaimana pemahaman yang benar menurut pandangan syariat tanpa menyalahkan Allah?
Makna Qadha dan Qadar
Beriman dengan Qada
dan Qadar hukumnya wajib atas landasan dari hadist Umar bin Khattab :
الايمان
ان تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الاخر تؤمن بقدر خيره وشرّÙ‡
Artinya : “Iman adalah kepercayaan
kita terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya,hari akhir,dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan buruk.” (HR.
Muslim no. 9).
Syekh Ramadhan Al Buthi dalam kitabnya yang berjudul al Insan
Musayyar am Mukhaiyyar berkata :
Sekarang, banyak yang salah memahami hakikat makna Qadha. mereka menyangka bahwa Qadha adalah ketentuan allah terhadap hambanya atas kehendaknya dan
tidak ada hubungannya dengan ikhtiyar hamba.
Imam Khatib berkata :
Banyak sekali manusia menyangka bahwa makna Qadha dan Qadar adalah
paksaan Allah terhadap hambanya.
Ini ideologi yang salah, karena mereka memahami makna Qada dengan menghukumi atau memaksa. Sedangkan tidak satupun dari ulama ahli sunnah yang berfaham seperti ini. Memang paksaan itu ada tetapi hanya beberapa tempat seperti hari, tanggal, tahun dan tempat lahir yang tidak mungkin dari pillihan kita sendiri.
Hakikat Qadha adalah ilmu Allah swt dalam azali atas kejadian yang
akan datang, diantaranya ialah kejadian manusia baik bersifat ihktiyar seperti
perbuatan atau paksaan seperti awal penciptaan.
Pengarang kitab Hasyiah Sarqawi ala syarah hudhudi berkata :
Qadha adalah menentukan dua perkara yang bersifat jaiz (boleh) seperti allah menentukan seorang hamba diantara ada atau tidak, Panjang atau pendek, kurus atau gemuk, kaya atau miskin, selamat atau celaka dll.
Qadar adalah menjadikan perkara yang sudah ditakdirkan (Qada).
Maka Qadar memiliki afiliasi dengan Qada karena disaat Allah menqadakan (menciptakan)
sesuatu berdasarkan Qada (iradah dalam azali), dan Qada Allah
berdasarkan ilmunya.
Lebih rinci bisa di urutkan dengan Ilmu-Qada-Qadar, seperti Allah telah
mengetahui (Ilmu) bahwa si hamba memilih (ikhtiyar) maksiat maka Allah menqadakan
(mentakdirkan) maksiat padanya kemudian berulah Allah menqadarkan (menciptakan)
si hamba kedepannya akan bermaksiat.
Yang perlu digaris bawahi ialah “tidaklah seseorang yang bermaksiat melainkan allah telah terlebih dahulu mengetahui dalam ilmunya sehingga allah mentakdirkan si hamba pada hari tersebut bermaksiat” dan jangan coba-coba salahkan takdir saat anda bermaksiat.
Semoga dengan deskripsi ini kita tidak akan menyalahkan takdir Allah disaat
bermaksiat, karena maksiat tersebut merupakan pilihan kita yang telah allah
ketahui dalam ilmunya.
Semoga bermanfaat.
Ref :
Hasyiah Sarqawi ala syarah hudhudi 22,
al Insan Musayyar am Mukhaiyyar 37,
Hasyiah dusuky ala ummul
barahim 102.
Posting Komentar