aNJDzqMa0Kj3po49qxTqapPaQ1OOt1CMotfJqXkz
Bookmark

Cerita di Balik Gubuk Geregetan

Cerita di Balik Gubuk Geregetan
"Kalau kalian tidak mempunyai tampang dan wajah yang tampan, maka jadilah pria yang mapan, niscaya wajah kalian akan termaafkan oleh mereka itu perempuan” sorak Nurullah memberi motivasi yang sarat dengan makna kepada rekan-rekannya seperjuangan yang masih single. Kata-kata yang digunakan pun adalah ciri khas gaya dalam memaknai kitab Arab gundul. 

“Ya ya ya Lah, sepertinya baru sadar kalau kurang tampan” sahut Sabri.

“Bukan itu maksudnya. Itu wasiat turun temurun” timpal Nurullah dengan terkekeh-kekeh.

Siang itu hari sangat terik, panas matahari menjilat setiap sudut gubuk di ladang. Ditemani oleh angin sepoi-sepoi membuat mereka lupa diri dengan suasana saat itu. Lima sahabat jomlo itu masih asyik ngoceh masalah cinta. Saling mengejek satu di antara lainnya. Ini mungkin yang membuat hubungan mereka begitu akrab dan intim bahkan mampu menjalani masa single tersebut lebih lama.

Nyatanya, bila berkumpul dengan kawan sejawat mampu melupakan segala pernak-pernik permasalahan yang sedang dipikul.

“Cinta kepada wanita tidak seindah dengan bersahabat yang akrab”.

Itu merupakan motto yang mereka cetus dan deklarasikan bersama. Sehingga itu menjadi alasan yang terekam di bawah alam sadar yang menjadikan mereka enggan untuk mendahului menuju pelaminan.

Di tengah asyik berbincang-bincang, Yasir melihat ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah Nurullah. Dia kelihatan senyum-senyum sendiri dengan Advannya yan sedikit-sedikit error tetapi masih sabar dan setia dengan Hpnya itu. Yasir membisiki Rahmat dan menyususun rencana untuk memergoki HP Nurullah.

Ketika mereka bersiap-siap melakukan aksinya, Halim terlebih dahulu tanggap dan mengambil HP Nurullah. Seolah-olah dialah yang memiliki rencana tunggal itu untuk memergoki Nurullah.

“Lah, akhirnya ketahuan ya sekarang. Ternyata ada si DOI di Hpnya” ganggu si Halim.

“mana ada. Itu bukan, hanya kebetulan aja tadi lewat di beranda” jawab Nurullah sambil berusaha merebut kembali Hpnya.

“kebetulan apa kebetulan? Ingat Lah wajah tak tampan tapi harus mapan” sahut Rahmat yang mengundang tawa lainnya.

“Lah kawin sana! Wajah sudah berkepala empat masih aja betah sendirian” celetuk Fajri beriringan dengan tawa terbahak-bahak.

“wajahnya aja yang seumur itu, tapi kenyataannya kan ngak” jawab Nurullah polos.

Nurullah yang berperawakan agak tinggi dengan kulit agak gelap sering kali menjadi sasaran ejekan dari kawan-kawannya. Dia menjadi sasaran empuk setiap ada ejekan dan candaan. Karena dia orangnya sangat sabar dan tahan banting perasaan. Mungkin karena ini pula mereka berani mengganggunya bahkan sering kali. Meskipun kadang-kadang terasa pahit juga candaan yang mereka lontarkan sehingga membuatnya tak nyaman.

“Apa boleh buat, aku memang lahir seperti ini. lihatlah nanti siapa di antara kita yang akan mendapatkan kekasih yang paling cantik” uangkap Nurullah pada suatu kali dengan nada yang serius. Meskipun demikian perlakuan yang didapatinya tetap geledek dan candaan dari kawan-kawannya.

Di tengah keasyikan itu, tiba-tiba keadaan berubah. Halim menyadari ada sesuatu yang janggal dan tidak beres dengan kawannya yang selalu menjadi objek sasaran ejekan mereka. Dia memperhatikannya tidak seceria seperti hari-hari sebelumnya.

“Apa gerangan yang terjadi dengan si Nurullah ini” gumam Halim dalam hatinya.

Halim memberanikan diri untuk menanyakan apa yang sedang dirasakannya tersebut. “Lah, kenapa hari ini sepertinya kami menangkap ada hal yang berbeda dengan kamu?” tanya Halim dengan suara penuh simpati sehingga perhatian kawan-kawan lainnya tertuju kepada Nurullah.

“Ngak ada apa-apa, apanya yang berbeda?” jawab Nurullah sambil berusaha keras menyembunyikan rasa kegelisahan yang menghampirinya.

“Jujur ajalah, kalau ada masalah bilang aja! Kami siap membantu dengan segenap kemampuan kami meskipun gunung harus didaki, lautan diseberangi dan jangan main-main dengan hati kami” sahut Yasir dengan serius meskipun mengundang tawa dari kawan-kawan lainnya.

Yasir emang dikenal sebagai orang yang suka mengeluarkan kata-kata bijak. Setiap omongannya kalau diperhatikan pasti menampilkan wajah yang serius meskipun itu candaan. Begitu juga kondisi ketika dia menawarkan diri untuk membantu kawannya yang sedang bermasalah.

“iya, ngak ada apa-apa” jawab Nurullah yang teguh dengan pendiriannya.”

“Lah, kita kan sahabat sejati. Dengan menyampaikan masalah akan kita cari solusi bersama. Apa kamu ngak yakin lagi dengan kami?” tanya Sabri dengan suara yang agak meninggi untuk meyakinkan Nurullah.

“Aku malu menceritakannya” jawab Nurullah singkat dan padat.

“Malu? Ayolah kami siap menampung permasalahan kita bersama” sahut Halim untuk lebih meyakinkan lagi Nurullah.

“Ok baiklah, tetapi ada syaratnya. Setelah aku ceritakan jangan ada yang mengejekku setelah itu ya?” pinta Nurullah kepada sahabat-sahabat karibnya.

“Siap bos laksanakan” jawab mereka serentak seperti baru mendapatkan intruksi misi rahasia dari komandan.

“Aku merasakan gerakan cinta dalam nadiku. Mengalir getaran rasa yang sedang cenat-cenut” Nurullah mulai mengawali ceritanya. Sebenarnya dia ingin menceritakan dengan susunan kata-kata yang indah seperti dalam sinetron-sinetron tetapi malah mengundang tawa terbahak-bahak dari kawannya.

Dia melanjutkan “aku telah lama memimpikan agar hadir seseorang dalam hidupku yang bisa menghiasi hari-hariku dan dapat melaluinya dengan penuh canda tawa. Kalau keadaan seperti ini terus menerus, bangkrut aku karena harus ngeluarin uang untuk beli paket agar bisa chatingan dengan orang yang belum jelas lagi” cerita Nurullah panjang lebar dengan ekspresi yang meluluhkan hati.

“cinta itu tidak semudah itu dek” gerutu Halim dalam hati tidak berani mengungkapkannya takut terkesan tidak serius ingin membantu kawannya. Dia tidak tau apa yang lain juga merasakan hal yang sama.

“oooh itu permasalahannya? Kirain apa?” celetuk Halim membuyarkan suasana yang sunyi seketika ketika Nurullah bercerita. Seolah-olah alam pun ikut mendengarkannnya dengan terkesima.

“kalau begitu kami siap menyusun strategi dan menyediakan amunisi serta perlengkapan lainnya. Kami juga siap untuk berpatroli dan kamu tinggal menembaknya saja. Kalau rencana A ini gagal maka kita kerahkan amunisi yang lebih besar yaitu kalau cinta tertolak maka bom yang bertindak” sahut Sabri dengan nada tegas dan penuh semangat yang membuat kawan-kawan lainnya tertawa terpingkal-pingkal.

“Kalian ini ngak pernah serius makanya aku males ceritainnya sama kalian” jawab Nurullah dengan ekspresi kesal. Dia tidak ikut tertawa dan hanya melototin mereka satu persatu tanda keseriusannya sekaligus kekecewaannya.

“Ngak Lah, itu hanya untuk mencairkan suasana. Walaupun sambil ketawa kami juga tetap serius” sahut Rahmat untuk menghiburkan dan menjelaskan kondisi saat itu.

“tetapi sasarannya sudah ada kan?” tanya Rahmat spontan ke Nurullah.

“kalau ada kita susun strategi dan posisi sekarang juga, nanti malam kita bereaksi” sambung Rahmat lagi.

“he-he-he.... masalahnya sasarannya masih abstrak alias belum ada. Maklum lah aku kurang tampan dan mapan juga kurang” jawab Nurullah dengan senyum-senyum malu.

“alaaah hai Lah, cet langet (menghayal). Tapi ngak apa-apa Lah, kita akan memasang perangkap cinta. Yang penting sekarang jangan sedih lagi, kami siap membantu Anda seikhlas hati”. Sahut Sabri dengan mantap.

“boom, booom, boooom” Samsul datang dari belakang sambil mengetuk papan triplex di belakang gubuk sehingga membuat mereka terkejut dan siap siaga.

“Sibuk dengan cinta, belajar di pondok baru kelas tiga sudah mikirin keu ma sinyak (Ibu dari anak maksudnya istri)” Samsul buka suara sambil tertawa terkekeh. Sebelum dia mengejutkan mereka ternyata sudah mendengar sekilas di belakang gubuk.

“Lihat aku aja yang lebih tua dari kalian, ngak ada mikirin si DOI” lanjut Samsul membela diri dan berlagak seolah-olah dia patut dijadikan contoh.

“ya maklumlah, kau tampan juga mapan. Beda dengan kami-kami ini” Jawab Nurullah membela diri.

“loo aja kalii, Lah” sahut Halim dengan ketawa terbahak-bahak.

“boleh juga kalau begitu, emang gua pikirin” jawab ketus Nurullah.

“betul Lah, Samsul beda dia. Dia sudah punya calon, tinggal pulang kampung, melamar dan nikah deh. Makanya wajar kalau di pondok ngak mikirin itu lagi. Emangnya kalian ngak tau anak siapa dia?” sambung Sabri lagi yang membuat lainnya juga ikut tertawa.

“entah apa yang kalian bicarakan, ngak ada manfaatnya sama sekali. Ayoo minum kopi dulu, ada kue roti keramik juga tu” sahut Samsul sambil mencoba untuk mengalih pembicaraan agar dia tidak menjadi sasarannya.

“ayoklah, inilah yang kita tunggu-tunggu dari tadi” celetuk Rahmat sambil mencoba menuangkan kopi dalam gelas.

Siang itu terasa sangat singkat. Gubuk di ladang itulah tempat mereka saling mencurahkan perasaan atau curhat. Ketika kelompok mereka sedang tidak ada di pondok, berarti mereka pasti berada di gubuk tersebut. Siang dan malam sama saja bagi mereka tidak ada bedanya. Kalau lagi frustasi dan stress dengan keadaan dan beban, mereka pasti akan mengunjungi gubuk tersebut dan di sanalah mereka melepaskannya semua. Sehingga gubuk ini mereka namakan dengan “gubuk geregetan”. Penamaan ini tidak terlepas dari banyaknya topik masalah cinta yang sering dibicarakan di sini.

Setelah azan Ashar, mereka kembali menuju ke pondok yang berjarak sekitar satu kilometer melalui jalur selokan yang airnya sangat bersih dan jernih. Di tengah perjalanan menuju pondok, Nurullah kembali bertanya tentang keseriusan mereka untuk mencarikan pujaan hati untuknya.

“Oke Lah, kami siap mencarikan kekasih untukmu. Besok kita gotong royong dekat jalan, pantau aja satu kadang ada yang pas. Kalau tidak berhasil, lebaran puasa pun sudah dekat nanti kita carikan dan langsung akad. Pokoknya tenang lah” Halim mencoba meyakinkan Nurullah.

“Iya Lah, gampang tu ngak usah dibawa beban pikiran dan perasaan” celetuk Rahmat.

“Adik Yasir juga ada Lah, ngapain susah-susah” sambung Samsul sambil mencoba menghindar jauh dari Yasir.

“yayayaya, kalau sudah buntu semuanya pasti kenak aku” sahut Yasir dengan nada agak kesal.

“ngak da Sir, cuma canda” jawab Samsul polos agar tidak emosi lagi.

“canda ya canda sih, tapi jangan begitu juga lah” sahut Yasir dengan cuek.

“sorry sorry Sir” Samsul minta maaf karena kawan yang satu ini cepat naik darah dan emosi. Tetapi kalau sudah mulai ngoceh banyak kata bijak yang keluar dari mulutnya.

Tanpa terasa mereka hampir tiba di gerbang belakang pondok. “cepat kali sampai ya?” Tanya Sabri untuk meleraikan suasana yang agak memanas.

“ya maklumlah, kalau bicaranya soal cinta, yang jauh terasa dekat, yang dekat pun semakin akrab dan merapat. Hahahaha” sahut Halim seperti tanpa dosa padahal sedang mengeledek Nurullah.

“Lah, berarti ekspedisi akan kita lanjutkan beberapa hari ke depan ya. Jadi sekarang kita siap-siap untuk mandi agar tidak ada nanti yang terlambat berjamaah” Sabri menutup pembahasan special mereka. Setelah itu mereka semuanya bubar menuju kamarnya masing-masing.

 

Posting Komentar

Posting Komentar